Pasca HPH, Bagaimana Hutan Biak akan Dikelola?

Saya hanya bisa tertegun ketika menapak jalan-jalan besar yang membelah kawasan hutan. Ada puluhan ruas yang tidak resmi telah tercipta, bagaikan urat tak beraturan, mengacak-ngacak tutupan hijau atau pula merobek selasar hutan. Warga di wilayah Distrik Biak Timur dan Sipiori menamakannya Barito.

Penamaan dan istilah jalan dalam kawasan hutan sebagai Barito, merujuk pada aktifitas perusahaan PT Barito Putera (PT Barito Pasific). Pada Mei 1990, perusahaan yang bergerak dalam bisnis kayu ini mendatangi wilayah Biak. Di Kampung Makmakerbo, Distrik Spiori, untuk dijadikan basecamp utama. Kendaraan alat berat dan peti kemas disulap menjadi kamar-kamar para karyawan.

Tahun 1992, Barito meninggalkan pulau. Ribuan pohon telah tumbang dan telah diangkut kapal menuju pulau di luar wilayah Papua. Menjelang tahun 2000-an, usaha-usaha perseorangan muncul. Mereka ikut melakukan penebangan pohon.

Iyo, dari atas pesawat, memang semua tampak baik. Kalau masuk hutan, dan lihat langsung itu pasti kecewa,” kata Manase Makmaker, seorang warga Kampung Sauri menjawab pertanyaan saya tentang apakah hutan di pulau Biak masih dalam kondisi baik.

Perkataan Manase bukanlah omong kosong. Sepanjang berjalan memasuki hutan di wilayah Biak Timur selama empat hari di bulan Desember lalu, pohon-pohon berskala besar tak lagi dapat saya temukan. Hanya ada kayu-kayu kelas tiga dalam klasifikasi perdagangan.

Raibnya pohon besar dengan diameter hingga diatas 60 sentimeter, menjadi lonceng yang kemudian menumbuhkan semangat masyarakat setempat untuk menyelamatkan hasil hutan.

Sefnat Rejauw (48) warga kampung Makmakerbo yang berjalan bersama kami mengingat kejadian masa lalu.

“Waktu Barito datang kami tidak tahu. Tiba-tiba ada alat berat ada mobil besar. Waktu itu kami senang ada perusahaan,” ujar Sefnat. “Lalu perusahaan membuka lahan dan meratakan beberapa tempat untuk wilayah pemukiman. Tapi kayunya diambil mereka.”

Ketika Barito memulai kegiatannya Sefnat diangkat menjadi tenaga lokal. Tugasnya bersama tim perusahaan yang akan melakukan penebangan dan menandai mana kayu kualitas terbaik. Upahnya Rp60 ribu per hari. Barito kemudian membuka akses jalan dengan lebar sekitar empat meter, untuk mengangkut hasil hutan. Kesepakatan dengan warga adalah 50 meter dari masing-masing bahu jalan dibuka akan menjadi hak perusahaan.

Kayu-kayu gelondongan yang diangkut pun dikumpulkan di salah satu pesisir di wilayah Biak Timur. Ketika akan dilakukan pengapalan, seluruh karyawan dibawa ke pantai, untuk bantu angkut kayu. Pengeluaran kayu-kayu itu pun tak luput dari kawalan aparat polisi ataupun militer.

Di tahun yang sama, Makmakerbo – lokasi kami saat ini – bukanlah sebuah perkampungan, melainkan hutan lebat. Sebelumnya masyarakat bermukim di kampung Soon, sekitar 5 km dari area ini.

“Waktu itu kami memang agak bodoh, karena tidak tahu apa-apa. Perusahaan juga pergi kami juga tak dapat apa-apa. Tak ada pula pemberitahuan, kegiatan berhenti baru kami tahu juga,” kata Carles Fairio, warga lainnya.

Padahal sebelum perusahaan datang “mengacak-ngacak hutan”, setiap marga di wilayah Biak yang menghuni sekitaran hutan menjadikan hutan itu sebagai “gudang daging”.

Penamaan ini, dianggap tepat karena wilayah hutannya mudah dijangkau dan memiliki tanah landai.

“Kalau masuk hutan, mudah saja. Orang tua kami berburu dengan anjing. Sebentar saja, kami dapat babi. Tidak susah,” kata Carles.

Carles berusia 68 tahun. Dia lahir tahun 1948. Dia ingat betul, bagaimana hutan menjadi tempat yang menyenangkan. Jika bosan makan babi, ada burung dan unggas lain, ada pula kuskus, dan binatang lain setiap waktu dapat ditangkap untuk dijadikan lauk di rumah. Soal sayuran, warga menanam di sekitaran rumah.

Hidup pada masa itu, kata Carles, serba murah. “Sekarang saja, ada kebutuhan lain. Kampung terbuka. Orang-orang datang. Perusahaan datang. Kami terpengaruh, lalu ikut,” katanya.

 

Warga melakukan pemetaan bersama dengan pendampingan dari sebuah yayasan nirlaba. Foto: Eko Rusdianto
Warga melakukan pemetaan bersama dengan pendampingan dari sebuah yayasan nirlaba. Foto: Eko Rusdianto

Coba Mencari Model

Ketika kami beristirahat dalam kawasan hutan. Beberapa warga yang tergabung dalam pemetaan partisipatif didampingi LSM Rumsram, mengingat masa lalu. “Kita tak mau lagi, orang datang, ambil kita punya kayu. Lalu pergi,” kata Manase, wakil ketua koperasi masyarakat.

Untuk itu pada 2011, melalui dukungan pemerintah daerah dalam upaya implementasi PERDASUS 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua dibentuklah Koperasi Masyarakat. Bersamaan dengan peraturan itu, di Biak terbentuklah Koperasi Sup Masi yang  diberikan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA).

Koperasi ini menghimpun sembilan marga dalam komunitas adat. Masing-masing dari marga Makmaker, Fairio, Farwas, Rejawu, Hansek, Rumawak, Sanadi, Kampa dan Warwer. Meskipun demikian, belum setiap marga memiliki perwakilan dalam koperasi ini.

“Pelan-pelan, kami ingin nanti semua marga punya perwakilan dalam pengurus koperasi,” jelas Manase.

Secara jurisdiksi, wilayah kerja Koperasi Sup Masi berada didalam wilayah kerja KPHL Biak Numfor yang berdasarkan aturan yang tertuang dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan diberikan mandat untuk melaksanakan pengelolaan hutan di tingkat tapak.

Secara total, luas kawasan hutan di Biak Numfor mencapai 206.000 hektar, yang kemudian ditetapkan menjadi wilayah kerja KPHL Biak Numfor. Dimana 58 persen adalah kawasan hutan lindung dan 42 persen hutan produksi.

Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) Model Biak Numfor, Aries Totteles menyebut, untuk pengelolaan kawasan hutan dengan mitra masyarakat adat, disiapkan total sebanyak 17.000 hektar, dari yang saat ini dikelola sekitar 5.000 hektar. Dalam kawasan itu, nantinya setiap komunitas adat (marga) akan mengelola bersama.

Jika sistem sudah berjalan, maka warga adat sendiri yang akan menentukan blok tebang. Jika menumbangkan satu pohon, harus diwajibakan lebih awal menanam pohon baru. “Jadi kelangsungan dan keberlanjutan hutan akan dapat direncanakan,” kata Aries Totteles.

Manase Makmaker, berdiri di bawah pohon Merbau yang usianya diperkirakan 7 tahun. Foto: Eko Rusdianto
Pohon Merbau yang ada di area hutan. Foto: Eko Rusdianto

Selama ini, warga yang mengambil kayu di hutan – dan berlangsung hingga saat ini – menjualnya ke pengusaha kayu cukup murah.  Setiap kubik kayu hanya dijual sekitar Rp1 juta. Pada waktu tertentu hanya berkisar Rp800 ribu. Menurut Lukas Makmaker (32), hitung-hitungan ini sangat sedikit sebab biaya operasionalnya cukup tinggi.

Pengambilan kayu yang dilakukan masyarakat selama ini pada dasarnya adalah ilegal. Tak ada ijin. Untuk itu, kehadiran koperasi diharapkan akan menjadi model pemberdayaan kelak di masyarakat. Menurut Manase, setiap marga atau komunitas adat yang bergabung dalam koperasi akan memiliki wilayah masing-masing.

“Kalau koperasi ini jalan, maka masyarakat adatlah yang punya kendali. Jadi masyarakat yang menentukan harga kayunya sendiri,” katanya.

Dalam wilayah yang diklaim Koperasi, terdapat lima kampung yakni Sauri, Makmakerbo, Soon, Sepse dan Imdi. Penduduk kampung ini hampir semua bekerja sebagai petani ladang atau berburu dalam hutan.

Namun, hanya sebagian kecil warga yang saat ini bergabung menjadi anggota koperasi. Sejak tahun 2011, anggota koperasi tetap hanya 25 orang saja. Menurut Manase, masih banyak warga yang masih enggan menjadi anggota koperasi, karena tidak tertarik dan belum tahu keuntungan jika menjadi anggota.

Kendala lainnya hingga sekarang koperasi masih belum memperoleh cara pengorganisasian anggota yang tepat. Iuran untuk menggerakkan sistem koperasi belum berjalan. Mesin somel (sawmill) dari pemerintah Provinsi Papua, pun belum berfungsi karena keterbatasan biaya operasi mesin oleh koperasi.

Setidaknya hal itu pun menjadi perhatian Aries. Dia mengaku bahwa selain masalah kapasitas anggota dan pengurus koperasi, maka praktik pembalakan liar model “Barito-Barito kecil” hingga saat ini terus berlangsung.

Demikian pula jika bicara tentang regulasi yang ada.

“Ini yang sulit. Aturan masih tumpang tindih, selalu berubah. Di lapangan kita tidak tahu mau menerapkan yang mana. Terus terang saja,” kata Aries.

Namun lanjutnya, saat ini sudah tak ada lagi pengiriman kayu keluar Biak, kayu hanya untuk kebutuhan lokal saja. Analoginya, jika setiap tahun jumlah penduduk bertambah, tentu kebutuhan juga meningkat. Disini harusnya koperasi dapat berperan untuk mengatur dan memayungi setiap marga dalam administrasi ijin kayu.

Meski tantangan dan kendala yang dihadapi besar, Aries tetap optimis kedepannya pengelolaan hutan dapat berbasis masyarakat.

Menurutnya, produksi hasil hutan seperti kayu harusnya dinikmati masyarakat, sehingga antar pihak yaitu Koperasi dan KPHL dapat bekerja bersama. “KPHL akan menjadikan Koperasi sebagai mitra. Nanti akan ada koordinasi,” tutupnya.

Informasi terkait inisiatif ini dapat diperoleh dalam blog Samdhana Institute berikut ini. Samdhana adalah organisasi nirlaba yang mendukung pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,