Gubernur Kalimantan Barat Bicara Soal Pembangunan Hijau, Seperti Apa?

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) telah mencanangkan pembangunan hijau (Green Growth) ramah lingkungan berbasis komoditas. Program ini sebagai upaya mendukung Kontribusi Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan deforestasi.

Dalam rancangannya, Kalbar menekankan pembangunan pertanian dan masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. “Mereka adalah tokoh utama yang berperan penting dan berada ditingkat tapak,” jelas Cornelis, Gubernur Kalbar, di Nanga Tayap, Ketapang, belum lama ini.

Cornelis menuturkan, di Maroko, ia sudah menyampaikan hal tersebut dalam kapasitasnya sebagai Gubernur dan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). “Sebagai salah satu anggota Governor’s Climate and Forests Task Force, aksi nyata Kalimantan Barat sudah diketahui dunia internasional.”

Dalam sesi Empowering Innovation and Enhancing Climate Change Action for Sustainable Development di ajang COP22, Cornelis menyatakan, ada beberapa hal yang dilakukan Kalbar dalam upaya menurunkan emisi. Misalnya, memperkuat kesatuan pengelolaan hutan, mengendalikan penggunaan ruang dan tata kelola izin,  serta membangun kemitraan dengan swasta, memastikan rantai pasok komoditas diproduksi berkelanjutan dan ramah lingkungan.  Kalbar juga menjamin pembangunan rendah emisi yang inklusif dengan keterlibatan aktif masyarakat adat dan petani kecil.

Sejak 2010, Kalbar telah membangun lima Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di lima kabupaten, yaitu; Kapuas Hulu, Sintang, Ketapang, Melawi dan, KubuRaya. Luasan total KPH tersebut hampir satu juta hektare.

Untuk Demonstration Activity REDD+ (DA-REDD+) yang dikelola masyarakat di 16 desa, mulai dikembangkan di wilayah KPH Kapuas Hulu sejak 2011, melalui program Kehutanan dan Perubahan Iklim (FORCLIME). “Tujuannya adanya stok karbon hutan dan peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan.”

Hutan Indonesia yang penting sebagai paru-paru dunia. Foto: Rhett Butler
Hutan Indonesia yang penting sebagai paru-paru dunia. Foto: Rhett Butler

Kalimantan Barat juga telah menyusun dokumen tingkat rujukan emisi hutan (Forest Reference Emission Level/FREL) yang melibatkan pihak swasta, NGO, masyarakat, universitas, dan lembaga donor. “FREL yang kami susun mengacu pada FREL Nasional dengan diasistensi Ditjen PPIKLHK,” papar Cornelis.

Selain itu, Kalbar bekerja sama dengan Yayasan Belantara mengembangkan Kemiri Sunan. Komoditi ini digunakan sebagai tanaman penghijauan di lahan kritis. Buahnya, dapat digunakan biofuel. Akademisi dari Universitas Tanjungpura dan Universitas Muhammadiyah, berkontribusi melakukan penelitian terhadap jenis tanaman lokal untuk rehabilitasi lahan kritis. Serta, membentuk koperasi yang diarahkan peduli lingkungan, khusus ditingkat desa secara berkelanjutan.

Terkait kepentingan pendidikan, pada 26 Agustus 2016 lalu, melalui SK Menteri LHKN 0656/Menlhk/Setjen/PLA.O/8/2016, Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura resmi memiliki areal hutan pendidikan dan latihan atau kawasan hutan dengan tujuan khusus. Terletak di tiga kabupaten;  Landak, Kubu Raya, dan Mempawah dengan luasan 19.660 hektare. Dari luasan itu, 5.000 hektar untuk tanaman gaharu dan 5.000 hektar untuk pengembangan energi terbarukan dari tanaman Kemiri Sunan. “Tapi tidak menutup kemungkinan dengan komoditi lain, seperti rumput gajah yang juga bermanfaat bagi masyarakat.”

Namun, Cornelis mengeluhkan dukungan teknis dan pendanaan yang berada di Pemerintah Pusat serta institusi non pemerintah. “Berkaitan pendanaan, kami serius menjajaki opsi penerimaan dan penyaluran seperti donor internasional, yakni melalui pemerintah daerah, bank daerah, dan organisasi independen,” tukasnya.

Terpisah, Gusti Hardiansyah, staf khusus bidang perubahan iklim menambahkan, sinergitas antara birokrat dan akademisi dalam menyusun program pembangunan berwawasan lingkungan sangat lah tepat. Sebagai akademisi, Gusti memberikan apresiasi terhadap penetapan hutan pendidikan dan latihan di Kalimantan Barat. “Adanya hutan pendidikan dan latihan, menjadi wadah pendidikan, latihan, praktik, dan penelitian bagi mahasiwa, dosen, dan lembaga lainnya.”

Katak pohon terbang kalimantan. Foto: Rhett Butler
Katak pohon terbang kalimantan. Foto: Rhett Butler

Tataran program

Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat menyatakan, apa yang dipaparkan Cornelis tersebut hanya menggambarkan kondisi saat ini dan coba menciptakan keseimbangan. Program yang dicanangkan, hanya memberi toleransi dan dukungan kepada komoditas-komoditas utama Kalbar yang berbasis investasi korporasi. “Bukan pada komoditas lokal, komoditas rakyat.”

Menurut Anton, konsep pembangunan hijau berbasis komoditas harusnya berangkat dari kondisi kerusakan lingkungan hidup dan darurat bencana ekologis, akibat beban izin investasi berlebihan di seluruh daerah aliran sungai Kalbar. Hal yang belakangan juga menimbulkan konflik agraria di seluruh wilayah pengembangan investasi, khususnya perkebunan kelapa sawit.

“Seharusnya, semangat yang diadopsi dalam program pembangunan hijau adalah menyelamatkan Kalbar dari bencana ekologis. Juga, menciptakan keadilan akses dan kontrol rakyat atas sumber daya alam yang saat ini dikuasai korporasi.”

Warga Sub-Suku Dayak Suy’uk di Desa Tanjung sedang menyeberangi Sungai Suy’uk usai menjalankan aktivitas sehari-hari, baik menoreh karet maupun berladang. Foto: Andi Fachrizal
Warga Sub-Suku Dayak Suy’uk di Desa Tanjung sedang menyeberangi Sungai Suy’uk usai menjalankan aktivitas sehari-hari, baik menoreh karet maupun berladang. Foto: Andi Fachrizal

Pilar utama konsep pembangunan hijau adalah keseriusan pemerintah melakukan penegakan hukum kepada korporasi yang melanggar dan merusak lingkungan, serta menciutkan izin-izinnya. Pemerintah harus memberikan hak kuasa dan hak kelola kepada rakyat. “Titik tekan program  tidak hanya melindungi ekosistem rawa gambut tetapi memperbaiki seluruh daerah aliran sungai kritis untuk menciptakan keseimbangan ekologis.”

Terakhir, perlindungan dan dukungan kepada masyakat harus direalisasikan dengan regulasi-regulasi lokal. Dengan begitu, seluruh inisiatif penyelamatan kehidupan rakyat bisa diimplementasikan. “Ada regulasi terkait perlindungan masyarakat adat, perlindungan komoditas lokal seperti karet, serta petunjuk teknis perhutanan sosial,” papar Anton.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,