Indonesia Wajibkan Pelaku Industri Perikanan dan Kelautan Miliki Sertifikat HAM

Berkaca pada berbagai kasus kejahatan yang menerpa para pekerja di industri perikanan dan kelautan, Pemerintah Indonesia meminta seluruh pelaku industri tersebut untuk segera melakukan sertifikasi hak asasi manusia (HAM) pada usaha perikanan. Tujuannya, agar profesi pekerja industri perikanan diakui sebagai profesi legal dan dilindungi.

Untuk mendorong para pelaku industri melakuan sertifikasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan. Peraturan tersebut diterbitkan untuk melengkapi Permen No.42 Tahun 2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, dua peraturan yang diterbitkan itu, melengkapi Permen No.35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Peraturan perintis itu, diterbitkan bertepatan dengan hari HAM se-dunia 2015 yang jatuh pada 10 Desember 2015.

“Dengan diterbitkannya Permen, kita ingin para pekerja perikanan diakui keberadaannya. Mereka tidak lagi dianggap sebelah mata. Mereka harus diberi perlindungan penuh seperti para pekerja di industri lain,” ungkap dia di Jakarta, Selasa (24/1/2017).

(baca : Mulai Hari Ini, Nelayan dan ABK Peroleh Perlindungan HAM)

Menurut Susi, para pekerja di industri perikanan sejauh ini masih belum mendapatkan hak yang layak. Bahkan, tidak sedikit di antaranya justru mendapatkan perlakuan tidak pantas dengan dibebani jam kerja yang sangat panjang.

“Ada banyak ribuan orang yang bekerja di industri ini, dari hari ke hari tanpa jaminan yang layak. Dan mereka tidak tahu harus bagaimana. Di laut, mereka juga harus menghadapi resiko kematian dan luka. Itu semua untuk mendapatkan tangkapan ikan,” tutur dia.

Salah satu fakta paling memilukan, kata Susi, adalah terungkapnya jaringan industri perikanan yang beroperasi di Indonesia Timur, khususnya di Benjina dan Ambon (Maluku). Di sana, para pekerja perikanan mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dan sama sekali tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun materi.

“Kita tidak mau apa yang terjadi di Benjina akan terulang lagi. Para pekerja perlu pengakuan secara hukum dan HAM. Mereka juga sama seperti pekerja di industri lain di dunia ini,” sebut dia.

(baca : Pemerintah Bentuk Tim Khusus Tangani Perbudakan di Benjina)

323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP
323 ABK WN Myanmar, Laos dan Kamboja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Sabtu (04/04/2015) dengan menggunakan 6 kapal Antasena milik PT. PBR dan di kawal oleh KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 milik PSDKP, sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Ke Imigrasian. Foto : KKP

Dengan adanya peraturan sertifikasi, Susi mengharapkan semua pelaku industri perikanan bisa mulai menata dirinya secara perlahan. Dengan demikian, para pekerja akan mendapatkan perlindungan penuh secara hukum maupun HAM.

Adapun, menurut Susi, perlindungan yang mendesak untuk diberikan kepada para pekerja perikanan, adalah pemberian asuransi. Menurutnya, bekerja di tengah laut itu harus menanggung resiko sangat tinggi dan penghasilan yang tidak menentu.

Cabut Izin Operasional

Setelah Permen No.2 Tahun 2017 terbit, KKP mendesak pelaku industri perikanan untuk segera mengikuti sertifikasi HAM pekerja perikanan. Jika proses itu tidak segera dilakukan, maka izin operasional untuk kapal dan usaha perikanan tidak akan diberikan dan atau diperpanjang.

Menurut Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja, izin operasional yang tidak akan dikeluarkan itu, mencakup Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Kebijakan itu akan diterapkan tanpa memandang situasi dan kondisi lagi.

“Jika ada perusahaan yang sedang mengajukan izin baru, maka kita tidak akan keluarkan izin. Begitu juga, jika ada yang ingin memperpanjang izin, kita akan tolak perpanjangannya. Jika ingin keluar, wajib ikuti sertifikasi HAM pekerja perikanan,” urai dia.

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP
Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Karena dinilai sangat mendesak, Sjarief mengingatkan kepada semua perusahaan untuk segera mengurus proses sertifikasi. Hal itu, karena Indonesia adalah negara yang menyumbangkan tenaga pekerja perikanan dalam jumlah besar.

(baca : Tekad Indonesia Hapuskan Praktek Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan)

Sjarief menyebutkan, dari data terakhir yang dimiliki BNP2TKI, tenaga pekerja perikanan Indonesia jumlahnya mencapai 210.000 orang. Jumlah itu, kata dia, dipastikan akan bertambah lagi, mengingat pekerja perikanan yang tidak terdata oleh Pemerintah jumlahnya masih sangat banyak.

Untuk perusahaan yang wajib melakukan sertifikasi sendiri, Sjarief memaparkan, adalah perusahaan yang mengoperasikan kapal berukuran minimal 30 gros ton (GT). Jika memenuhi kriteria tersebut, maka perusahaan wajib memenuhi syarat untuk sertifikasi seperti asuransi untuk pekerja perikanan.

“Saat ini, kapal berukuran 30 GT ke atas jumlahnya ada 3.900 unit. Jumlahnya bertambah lagi, karena ada tambahan 2.600 unit hasil dari pengukuran ulang,” jelas dia.

Uji Tuntas Sertifikasi

Meski sudah memenuhi kriteria, sebuah perusahaan belum dipastikan akan mendapatkan izin baru atau perpanjangan dari KKP. Menurut Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar, perusahaan harus mengikuti proses uji tuntas (due dilligence) sertifikasi HAM pekerja perikanan.

Selain perusahaan, menurut Zulficar, pihak yang harus mengikuti uji tuntas adalah unit pengolahan ikan (UPI), pemilik kapal, penyewa kapal, dan pelaku industri perikanan lainnya yang aktif. Semua pihak tersebut, akan dinilai sejauh mana komitmen terhadap penegakan HAM pekerja perikanan.

“Untuk yang melakukan uji tuntas itu adalah tim independen yang diambil dari Pemerintah, Non Pemerintah, dan akademisi,” jelas dia.

Agar pihak yang berkaitan bisa mengikuti sertifikasi dengan baik, Zulficar mengingatkan agar mereka mulai menyusun mekanisme seperti apa HAM pekerja perikanan. Dengan mempersiapkan diri, maka proses uji tuntas akan bisa dilewati dengan baik.

Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar
Nelayan bersiap dalam kapal yang sedang merapat di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Nelayan merupakan profesi yang riskan akan kecelakaan dan kematian, sehingga pemerintah berupaya memberikan asuransi nelayan. Foto : Jay Fajar

Setelah uji tuntas dilewati, kata Zulficar, proses berikutnya adalah Pemerintah akan mengeluarkan sertifikat yang menyatakan perusahaan sudah lulus uji sertifikasi. Sertifikat tersebut, sekaligus juga sebagai dokumen resmi untuk mendapatkan izin baru atau perpanjangan dari KKP.

“Sertifikat tersebut berlaku untuk waktu tiga tahun. Jika tidak ada sertifikat, maka tidak akan ada izin baru atau perpanjangan lagi,” sebut dia.

Anggota Satgas 115 Mas Achmad Santosa, menjelaskan bahwa dalam proses uji tuntas, akan dinilai sejauh mana perusahaan memberikan asuransi kepada pekerja perikanan, bagaimana standar upah yang diterapkan, dan kebijakan HAM lain.

Policy HAM adalah hak dan kewajiban dan mengacu pada perlindungan HAM,” ucap dia.

Untuk memulai proses, KKP saat ini sedang membuat daftar perusahaan yang memenuhi syarat untuk mendapatkan sertifikat HAM. Dari pendataan sementara, sudah ada tujuh perusahaan yang masuk dalam daftar positif layak mendapatkan sertifikat HAM, namun KKP masih terus melakukan pendataan.

Terendah Komitmen HAM

Di sisi lain, Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono mengakui bahwa pekerja perikanan adalah profesi yang paling rendah komitmen HAM-nya. Karena itu, banyak sekali kejadian yang menimpa para pekerja, baik itu di Indonesia ataupun di luar negeri.

“Jadi, ada banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal asing. Mereka tidak mendapat perlindungan penuh dan hidup di bawah tekanan dengan jam kerja yang sangat panjang. Ini adalah persoalan tata kelola yang harus dibenahi dalam sektor ini,” ungkap dia.

Dengan diterbitkannya Permen No.2 Tahun 2017, Hermono berharap permasalahan HAM yang menimpa para pekerja perikanan bisa berkurang dan selanjutnya tidak ada lagi.

International Organization of Migration (IOM) merilis laporan bersamaan dengan penerbitan Permen No 2 Tahun 2017. Dalam laporan tersebut, seperti diungkapkan Kepala Misi IOM Indonesia Mark Getchell, diperoleh temuan yang meliputi:

  1. Penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktik rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara;
  2. Berbagai pernyataan dari saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal;
  3. Kasus eksploitasi tenaga kerja (memaksa ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari);
  4. Berbagai bentuk tindakan melawan hukum, di antaranya mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transhipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook;
  5. Tumpang tindih peraturan perundangan yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,