Meski Mulai Ada Penyerahan, Elang Masih Terancam Perburuan

Awal tahun 2017 seperti penanda nasib baik bagi beberapa spesies burung elang dan satwa dilindungi lainnya. Bagaimana tidak dalam kurun waktu yang tidak begitu jauh, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat telah menerima satwa pemuncak rantai makanan tersebut dari hasil penyerahan oleh masayarakat.

Berdasarkan data yang dihimpun, dalam sepekan terakhir Tim Gugus Tugas Evakuasi serta Penyelamatan BBKSDA Jabar telah menerima seekor elang bondol (Haliatus indus), dua ekor elang ular bido (Spilornis cheela) dan dua ekor alap-alap.

Kepala BBKSDA Jabar,  Sustyo Iriyono, menilai adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang keberadaan satwa dilindungi atau terancam punah jika melihat dari salah satu indikatornya yakni menyerahkan kepada pihak berwenang.

“Pemahaman – pemahaman masyarakat sudah ada peningkatan, mereka mau menyerahkan satwa yang mereka pelihara merupakan satwa dilindungi kepada kami dan kami mengapresiasi itikad baik tersebut,” kata dia kepada wartawan,  Jumat (20/01/2017) di Kantor BKSDA Jabar, Jalan Gedebage, Kota Bandung.

Gerakan penyerahan dan akan pentingnya hal itu dilakukan pula oleh pemerintah, melalui UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 dan No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan serta Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan termasuk kaidah pemanfaatan dan kategori pelanggaran yang berkaitan dengan pelestarian keanekaragaman hayati.

Dikatakan Sustyo, sejauh ini perdagangan Tumbuhan Satwa Langka (TSL) angkanya tertinggi kedua setelah narkoba. Untuk meminimalisir kepunahan, maka BBKSDA bekerjasama dengan Ditkrimsus Polisi Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) berupaya  melakukan penyisiran sekaligus penyelidikan terhadap jual-beli satwa langka di seluruh wilayah Jabar.

“Kami sudah mengamankan pengedar kukang jawa di Cirebon dengan barang bukti 19 ekor kukang. Untuk selanjutnya kami akan mendalami kasus TSL ini mengingat Jabar dan Jakarta menjadi salah satu tujuan perdagangan satwa langka,” papar dia.

Sustyo menerangkan dari hasil operasi yang telah dilakukan pihaknya telah mengamankan satwa dilindungi diantaranya merak jawa (Pavo munticus) 1 ekor kondisi dengan 1 kaki terputus, burung bayan (Lorius roratus) 3 ekor, kakatua jambul kuning (Cacatua galerita) 1 ekor (sayap luka), Kukang (Nictycebus coucang) 1 ekor, kukang jawa (Nycticebus javanicus) 1 ekor, siamang (Symphalangus syndactylus) dan offsetan kepala rusa (Cervus timorensis) 2 buah.

Dari data yang diterima Mongabay, satwa jenis raptor termasuk elang sudah diserahkan ke Pusat Konservasi Elang Kamojang, Kabupaten Garut untuk direhabiitasi sebelum dilepasliarkan. Dan untuk penanganan selanjutnya, beberapa satwa juga telah dititiprawatkan ke pihak Taman Safari, Bogor.

Seekor kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa tersebut akan dititiprawatkan di Taman Safari, Bogor. Foto : Donny Iqbal
Seekor kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa tersebut akan dititiprawatkan di Taman Safari, Bogor. Foto : Donny Iqbal

Elang Harus Tetap Liar

Dilain tempat, Kepala Pengelola Pusat Konservasi Elang Kamojang  Zaini Rakhman mengapresiasi kepedulian masyarakat akan keberadaan elang yang kini sudah jarang ditemui dihabitat alaminya. Tingginya angka perburuan dan pemeliharaan, kata Zaini, menjadi penyebab penurunan populasi elang.

Menurut Zaini, dalam setahunnya sekitar 30 – 40 ekor elang di display untuk diperdagangkan di pasar burung di wilayah Jawa bagian Barat. Belum lagi, para pengedar burung elang memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan menjual via online atau media sosial. Tentu saja, kondisi tersebut sangat mengancam keberadaan elang yang dalam berkembangbiaknya hanya menghasilkan 1 – 2 telur saja.

“Yang saya amati, kasus perdagangan elang ini terus meningkat setiap tahunnya. Banyak elang yang dipelihara karena hobi. Masalahnya elang itu diambil di alam dan sudah jelas aturan hukumnya dilarang dan illegal. Sejauh ini para penghobi itu mengaku elang tersebut hasil penangkaran. Saya tantang apakah di Indonesia ada? Belum ada. Falconry  itu berasal dari timur tengah,” kata Zaini saat dihubungi via telepon.

Dia berujar, disamping sosialisasi yang mesti terus digalakkan untuk kelestarian elang, perlu juga pengetatan upaya penegakan hukum agar ada efek efek jera terhadap pelaku perburuan. Juga sebagai pengendali elang dijadikan satwa peliharaan karena memang sudah jelas – jelas satwa tersebut dilindungi Negara.

Dengan tambahan elang dari BBKSDA, Pusat Konservasi Kamojang kini berupaya merehabilitasi  51 ekor elang. Di tahun 2017, kata Zaini, rencananya akan melepasliarkan 12 elang dengan rincian 1 elang jawa, 1 elang laut, 1 elang bondol, 5 elar ular bido dan 4 elang brontok. 2 elang diantaranya akan dilepasliarkan di wilayah Sumatera sesuai dengan habitat asli si elang.

Seekor elang bondol (Haliastur indus) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa pemangsa tersebut akan dititip untuk direhabilitasi di Pusat Konservasi Elang Kamojang di Kabupaten Garut. Foto : Donny Iqbal
Seekor elang bondol (Haliastur indus) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa pemangsa tersebut akan dititip untuk direhabilitasi di Pusat Konservasi Elang Kamojang di Kabupaten Garut. Foto : Donny Iqbal

Hal senada juga disampaikan Asman Adi, relawan Raptor Indonesia atau RAIN sebuah komunitas jaringan kelompok kerja yang bergerak dalam upaya penelitian dan pelestarian burung pemangsa “raptor” di Indonesia.

Asman mengatakan, kali ini Rain sedang berfokus mengamati persebaran elang jawa (Nisaetus bartelsi) di wilayah Gunung Ungaran, Semarang. Tetapi menurut penuturannya, di Jawa Barat, elang jawa masih bisa dijumpai di Kawasan Gunung Gede – Pangrango, namun keberadaannya masih terancam oleh perburuan.

“Tahun 2004 sekitar 20 ekor elang jawa di Pulau Jawa bagian Barat setiap tahunnya diambil untuk dijual. itu berdasarkan data dari seorang peneliti. Angka tersebut kemungkinan terus bertambah setiap tahunnya, dan menjadi ancaman kepunahan juga,” kata Asman.

Asman menuturkan selain tindakan perburuan dan pemeliharaan yang cukup tinggi ada faktor lain yang juga memperngaruhi keberlangsungan hidup elang di alam bebas yaitu kerusakan hutan. Menurut dia, terjadinya deforestasi atau pembukaan kawasaan hutan berpengaruh pada beberapa spesies elang karena berhubungan dengan daya jelajahnya yang cukup luas untuk mencari mangsa.

Seekor elang bondol (Haliastur indus) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa pemangsa tersebut akan dititip untuk direhabilitasi di Pusat Konservasi Elang Kamojang di Kabupaten Garut. Foto : Donny Iqbal
Seekor elang bondol (Haliastur indus) hasil penyerahan masyarakat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat. Satwa pemangsa tersebut akan dititip untuk direhabilitasi di Pusat Konservasi Elang Kamojang di Kabupaten Garut. Foto : Donny Iqbal

Selain itu, kata Asman, ditemukan adanya pengaruh pestisida terhadap pola perkembangbiakan elang yang berpengaruh terhadap ketebalan cangkang telur hasil perkawinan elang jawa yang menghasilkan 1 telur.

“Di Indonesia belum ada peneltian lebih lanjut soal pengaruh pestisida tetapi di luar negeri sudah banyak penelitian soal itu. Jadi pestisida itu dimakan oleh buruan si elang kemudian dimangsa dan dimakan oleh elang yang tanpa sadar kandungan pestisida dari buruannya itu berpengaruh besar terhadap telur elang,” jelas Asman.

Asman menghimbau kepada masyarakat untuk tidak memelihara elang sebagai hewan peliharaan mengingat elang jawa terus menyusutnya jumlah populasi di alam. Elang jawa yang mirip lambang Negara seharusnya tetap liar dialamnya sebagai pengatur keseimbangan dihutan.

 

Memberikan Reward

Semetara itu, menurut Wakil Ketua Ditkrimsus Polda Jabar Diki Budiman, ada dua modus yang dilakukan oleh beberapa pemelihara satwa langka ini, yang pertama untuk dijual, dengan cara mengumpulkan pemburu, lalu menghimpun satwa liar tersebut untuk kemudian dijual. Kedua, satwa yang dilindungi ini, dimiliki oleh warga untuk dipelihara.

“Satwa itu kami sita dari rumah seorang pejabat di Majalaya, tepatnya di Kampung Rancaenong, Desa Cibodas, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung,” kata dia, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (24/1/2017).

Elang brontok. Foto: Raptor Club Indonesia
Elang brontok. Foto: Raptor Club Indonesia

Selain itu, kata dia, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang jenis-jenis hewan yang dilindungi oleh negara, bahkan mereka tidak mengetahui akan terjerat tindak pidana apabila memelihara dan memburunya. Untuk itu pihaknya terus melakukan soslisasi, baik melalui rekan-rekan media maupun bekerjasama dengan organisasi atau komunitas yang fokus pada isu lingkungan hidup.

“Kami juga bekerjasama dengan WCS (wildlife conservation society), sebuah organisasi diluar pemerintahan,  untuk terus memberikan pengetahuan tentang hal ini, sekaligus melaporkan apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat,” ucapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,