Saat Pengakuan Hak Wilayah Adat Jadi Kebutuhan di Lembah Baliem

Pagi itu Linus Lokobal tampak necis. Kemeja batik bermotif burung cendrawasih dan tifa berpadu dengan senyumnya yang mengembang. Tas noken berukuran sedang selalu tak pernah alpa menggantung di lengannya.

Linus adalah seorang kepala suku Asolokobal. Usianya 55 tahun. Saat dijumpai, bapak tujuh orang anak ini berdiri tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Selain sebagai kepala suku, dia menjabat sebagai ketua komite sekolah dasar di salah satu kampung di Distrik Asolokobal.

Tugas sebagai ketua komite itulah yang membuat ia sering ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya.

Baca juga: Pemetaan Wilayah, Upaya Membuat Pagar Adat di Atap Indonesia

“Selain ke Dinas Pendidikan, belakangan juga saya biasa sering ke Dinas Kehutanan untuk koordinasi terkait pemetaan wilayah adat,” ungkapnya lagi.

Menurut tuturan Linus, masyarakat adat Asolokobal atau sebutan lainnya O’ukul Asolokobal memiliki luas wilayah adat 9.042,42 hektar. Linus menyebut bahwa wilayah tersebut sudah didaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan saat ini tinggal menunggu pengesahan.

Berbagai macam unsur pemerintahan, katanya, hadir dalam proses pemetaan wilayah adat. Seperti Dinas Kehutanan dan dinas terkait lainnya, anggota DPRD, wakil bupati, dan juga organisasi non pemerintah (NGO).

“Setelah ada peta adat, harapannya kami bisa menjaga wilayah adat kami sendiri untuk kepentingan semua masyarakat di sini,” ujarnya.

Menurut Linus, sebelum adanya pemetaan ia sempat mengkhawatirkan jika tanah adat perlahan-lahan akan hilang dan diambil oleh orang yang mempunyai modal besar.

Saat ini, dia dan sukunya semakin menyadari betapa pentingnya melakukan pemetaan wilayah adat, termasuk didalamnya mulai mengetahui potensi-potensi yang bisa dimanfaatkan.

“Apalagi di Lembah Baliem ini, tanah itu tidak ada milik perseorangan. Semuanya milik bersama, milik suku, milik marga atau milik klan. Tanah tidak boleh diperjualbelikan. Jadi dengan pemetaan kami merasa terlindungi.”

Kondisi jual beli tanah adat tersebut menurutnya dilakukan di Wamena kota, sehingga akhirnya banyak warga yang tersingkir. Meski demikian ia sadar bahwa untuk pembangunan kota, tanah adalah kebutuhan yang mendesak.

Namun dalam adat juga diatur agar tanah bisa diberi untuk kepentingan umum, misalkan pembangunan rumah ibadah, kantor pemerintahan atau fasilitas publik, asalkan disesuaikan dengan kesepakatan bersama.

Rumah adat tradisional atau honai yang berbentuk bulat. Foto: Wahyu Mulyono
Rumah adat tradisional atau honai yang berbentuk bulat. Dilihat dari luar pagar. Foto: Wahyu Mulyono

 Struktur Adat

Menurut Linus, dalam satu wilayah adat dipimpin oleh kepala suku wilayah. Sementara kepala suku wilayah membawahi beberapa kepala suku. Sedang kepala suku juga membawahi kepala suku klan atau marga.

Setiap kepala suku mempunyai honai-honai adat sendiri-sendiri. Lalu kepala suku dibagi lagi menjadi dua; yaitu kepala suku ekonomi, yang berkaitan dengan kesuburan (Hurek/Yaman), dan kepala suku perang (Metek/Aikmali).

Tugas dan tanggung jawab setiap kepala suku menurutnya sakral. Kepala suku tidak boleh memonopoli atau bertindak sepihak, harus adil, dan tidak boleh diwakilkan.

“Jika terjadi pelanggaran dari semua aturan atau ketentuan yang ada maka akan menimbulkan dampak yang serius, seperti sakit dan honai-nya bisa rusak,” ungkap Linus.

Dalam sejarahnya, masyarakat adat Asolokobal percaya bahwa semua orang Papua berasal atau keluar dari sebuah tempat semacam telaga yang disebut Maima dan Seima, yang artinya mata air. Kemudian terpencar ke berbagai arah di pulau Papua.

Lalu sebagian memilih menetap di Lembah Baliem dan membentuk honai-honai adat serta menetap sampai sekarang di berbagai wilayah, seperti Asolokobal, Asukdogima, Elagaima, Hubikosi, Inyairek, Itlaimo, Mbarlima, Muliama, Musatfak, Omarekma, Weo, Witawaya, dan Wolo.

“Jadi kalau berbicara mengenai wilayah adat Asolokobal tentu bicara soal identitas dan jati diri kami. Kami berharap wilayah adat Asolokobal mendapat pengesahan dan juga pengakuan dari pemerintah.”

Para petani tradisional dataran tinggi di Lembah Baliem, tampak sedang mengerjakan tanah. Satu tradisi yang telah dilakukan sejak ribuan tahun secara bergenerasi. Foto: Wahyu Mulyono
Para petani tradisional dataran tinggi di Lembah Baliem, tampak sedang mengerjakan tanah. Satu tradisi yang telah dilakukan sejak ribuan tahun secara bergenerasi. Foto: Wahyu Mulyono

 

Perang Suku

Linus membenarkan, meski setiap kepala-kepala suku yang ada di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya sudah tahu betul mengenai batas-batas wilayahnya, namun tetap saja sering terjadi percekcokan akibat batas wilayah dan sering diselesaikan dengan cara perang antar suku.

“Ada memang musuh sejak nenek moyang, Misalkan suku Asolokobal itu bermusuhan sejak lama dengan suku di Kurima. Biasanya juga perang itu disebabkan oleh tanah, babi, atau perempuan,” cerita Linus yang mengaku sebagai salah satu pelaku perang antar suku.

Linus bersyukur, untuk suku Asolokobal sendiri kini tidak lagi perang dengan suku di wilayah Kurima, karena mereka sudah membuat perjanjian damai. Dan itu menurutnya semakin jelas dengan adanya pemetaan wilayah adat, sehingga batas yang diakui sejak turun temurun itu semakin kuat.

Namun demikian, perang akan tetap ada jika terkait dengan ada perampasan hak yang dilakukan oleh marga yang satu kepada marga lainnya.

“Pentingnya pemetaan wilayah adat ini salah satunya adalah tidak terjadi lagi perang. Meski perang bagi sebagian kami itu sudah menjadi kebudayaan karena dilakukan sejak nenek moyang.”

Laurensius Lani, Direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), sebuah lembaga yang memperjuangkan hak kelola masyarakat adat, menjelaskan bahwa sebelum masuknya pemerintah dan gereja ke wilayah mereka, ada istilah satu kesatuan adat perang.

Ini merupakan salah satu pendekatan untuk menyelesaikan konflik, karena dengan demikian akan diketahui dimana batas wilayah adat setiap suku, klan atau marga.

Menurut Laurens, setiap suku mempunyai batas-batas wilayah tapi tidak ditulis. Hal ini bisa menyebabkan perang jika siapa yang kuat akan merebut wilayah suku lain. Perang ini saling baku bunuh antar suku. Meski demikian ada wilayah yang memiliki hubungan konfederasi dan saling mengakui hak ulayat satu sama lain.

“Dengan adanya pemetaan wilayah adat, dirasakan sangat penting oleh masyarakat dan berharap tidak ada lagi perang,” tuturnya

Pemetaan adat penting untuk menegaskan batas wilayah adat. Cornelis Oagay (LSPK), Kepala Suku Witawaya, Deppabubang (Dinas Kehutanan), Laurensius Lani (YBAW) saat sedang memeriksa batas-batas wilayah adat di Desa Witawaya, Jayawijaya. Foto: Wahyu Mulyono
Pemetaan adat penting untuk menegaskan batas wilayah adat. Cornelis Oagay (LSPK), Kepala Suku Witawaya, Deppabubang (Dinas Kehutanan Kab Jayawijaya), Laurensius Lani (YBAW) saat sedang memeriksa batas-batas wilayah adat di Desa Witawaya, Jayawijaya. Foto: Wahyu Mulyono

Pemetaan adalah Jalan Keluar

Pemetaan wilayah adat bisa menjadi jalan keluar agar tidak terjadi lagi perang. Pendapat ini diungkapkan oleh Deppabubbang, Kepala Seksi Pengembangan Hutan pada Dinas Kehutanan Kabupaten Jayawijaya.

Bubbang, panggilannya, merupakan salah satu orang yang terlibat sejak awal dalam melakukan pemetaan batas adat di Kabupaten Jayawijaya.

“Pemerintah bekerjasama dengan masyarakat adat atas dukungan dari Samdhana Institute membuat pemetaan. Hasilnya sangat bagus untuk meminimalkan konflik, karena disini sering terjadi perang suku,” katanya.

Ia menjelaskan pemicu utama perang suku adalah batas wilayah dan hal ini bisa menyebabkan korban. Sesungguhnya masyarakat tahu batas wilayah, tapi karena perang bisa menyebabkan pendudukan. Dan akhirnya yang kalah bisa diambil wilayahnya oleh yang kuat.

“Perang suku juga ada macam-macam. Misalkan ada yang hanya untuk menduduki saja,” jelasnya.

Dengan adanya pemetaan, kata Bubbang, semakin meneguhkan batas wilayah adat masing-masing suku, sehingga tidak lagi terjadi perang dan perebutan hak ulayat. Pemetaan juga sangat membantu pemerintah, khususnya kerja-kerja Dinas Kehutanan dalam hal memetakan kawasan hutan. Perihal kelola wilayah, dia menyatakan jika suku-suku telah memiliki kearifan sendiri dalam memanfaatkan hutan.

“Merujuk pada konflik ini kita membuat pemetaan hak ulayat agar masyarakat bisa mengelola sesuai dengan zona-zona yang sudah diatur,” tambah Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Jayawijaya, Yunus Matuan kepada Mongabay Indonesia.

Menurutnya, untuk sementara ini ada 19 wilayah adat yang sudah dipetakan di Kabupaten Jayawijaya. Sisanya tinggal tiga wilayah adat yang belum dan tiga wilayah adat tersebut berada dalam lima distrik.

“Kalau pemetaan seluruhnya sudah selesai, maka pemerintah harus mengakui wilayah adat ini, dan akan didorong untuk dibuat Perda (Peraturan Daerah),” ungkap Yunus.

Sambil menunggu proses pemetaan selesai di tiga wilayah adat itu, pihaknya sudah membuat Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah), dan juga menyiapkan naskah akademik dari Universitas Cendrawasih.

“Targetnya selesai tahun 2017. Tapi kami juga tetap berharap ini bisa dilakukan dengan kerja-kerja kolaboratif seperti yang selama ini sudah dilakukan. Misalkan kerjasama dengan Bappeda, NGO, Masyarakat, serta tiga lembaga lainnya seperti Balai Taman Nasional Lorenz, UPT Pengawasan dan Pengamanan Hutan, dan juga KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan-Lindung),” tutup Yunus.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,