Dimulai sejak tahun 1970-an, berangkat dari sebuah hobi pribadi memelihara dalam akuarium air laut, yang merupakan bentuk replika hidupan lautan, karang hias sekarang berkembang menjadi sebuah bisnis besar. Tidak saja di dalam negeri, tetapi di mancanegara.
Namun tak urung, pemanfaatan karang hias ini menjadi tantangan tersendiri dalam bidang konservasi. Apalagi jenis-jenis karang hias telah termasuk dalam daftar Appendix 2 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), sehingga perdagangannya harus merujuk pada syarat-syarat yang menjamin safe environmentally.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi pun perlu mengikuti perjanjian internasional ini. Hal ini berarti pihak manajemen otoritas di Indonesia perlu memastikan adanya prosedur bagi perusahaan eksportir yang menjamin bahwa pemanfaatan karang dari perdagangan tidak akan menjadi ancaman kepunahan bagi spesies.
Berita terkait: Kenapa Masih Ada Perdagangan Koral Hias di Indonesia?
Sejak tahun 1998, di Indonesia usaha budidaya karang hias mulai dirintis dalam skala penelitian. Saat itu, lembaga SA (Scientific Authority) yang diperankan oleh LIPI menyarankan kepada para eksportir untuk melakukan ujicoba budidaya karang hias.
Sesuai dengan prosedur budidaya maka pengambilan induk tidak boleh bebas dari alam, tetapi harus berada sesuai dengan bagian kuota alam di masing-masing lokasi perusahaan.
Budidaya Karang Hias
Pada prinsipnya, seperti halnya budidaya ikan atau satwa lainnya, budidaya karang hias bertujuan untuk memperbanyak jumlah individu dan mereproduksinya.
Pada karang, terdapat dua cara perkembangbiakan yang diikuti. Pertama dilakukan secara seksual yang membutuhkan gamet jantan dan gamet betina, ini biasanya terjadi secara alamiah di alam atau modifikasi di ruang terkontrol disaat penelitian.
Kedua lewat cara aseksual yaitu dengan melakukan pemotongan bagian induk sehingga menjadi individu baru. Satu induk dapat menghasilkan 4-5 individu baru tergantung ukuran induknya. Cara kedua ini lebih dipilih untuk pengembangan budidaya karang hias.
Secara alami pun, perkembangan aseksual ini sering terjadi pada karang bercabang secara alamiah, yaitu pada saat terjadi ombak atau topan yang menimpa suatu kawasan terumbu karang. Karang yang selamat akan membentuk koloni baru.
Namun, biasanya tingkat kematiannya aseksual sangat tinggi karena patahan karang tersebut akan terus mengelinding hingga mencapai substrat dan posisi yang nyaman hingga menempel ke substrat alam.
Berbeda dengan di alam, pada substrat artificial diperlukan bantuan pelaku budidaya untuk memotong karang induk serta menempelkan ke substrat yang telah tersedia, yaitu diatas rak serupa meja.
Karang yang telah diadaptasikan di lokasi budidaya tersebut, lalu diberi label (tagging). Pada tagging terangkum informasi tentang nama jenis, kode perusahaan dan bulan penanaman.
Koloni hasil fragmen ini disebut anakan yang perlu dipelihara hingga 6 bulan, 12 bulan atau 24 bulan sesuai laju pertumbuhan karang tersebut. Masing-masing jenis karang memiliki laju pertumbuhan yang berbeda-beda.
Pengawasan Budidaya Karang di Indonesia
Dalam prakteknya, diperlukan upaya pengawasan usaha agar pelaku budidaya bertindak secara serius.
Pengawasan diawali melakukan studi kelayakan usulan budidaya oleh SA (Scientific Authority) yang dikawal oleh lembaga independen yaitu ICRWG (Indonesian Coral Reefs Working Group) yang terbentuk sejak tahun 2001.
Pengawasan dilakukan lewat audit rutin semua pelaku yang sudah dapat izin budidaya dan sudah dilakukan studi kelayakan yang auditnya dilakukan setiap 2 tahun sekali.
Pengawasan ini meliputi kewajaran jumlah induk dan anakan yang dilihat dari proporsinya, pemisahan waktu fragmentasi induk dan anakan agar jangan sampai bersamaan, penggunaan tagging, perawatan dan kerapian anakan di rak yang mereka gunakan. Demikian pula, rak dan substrat harus bersih dari biota penganggu yang menghambat pertumbuhan anakan karang.
Dari hasil kelayakan ini lalu direkomendasikan kepada MA (Management Authority) sehingga para pelaku atau perusahan budidaya memperoleh jumlah rencana produksi, sesuai persetujuan MA dari usulan SA.
Dalam perkembangannya, sebagian eksportir sudah berhasil dan memperoleh rekomendasi ekspor dari hasil budidaya, terutama jenis yang cepat tumbuh dan sebagian jenis yang lambat tumbuh pun sudah mulai uji coba budidaya.
Bentuk substrat yang berbeda antar perusahaan dan adanya tagging masing anakan akan menjadi ciri tersendiri masing-masing perusahaan, sehingga tidak mudah tertukar.
Pencurian anakan mestinya tidak bisa terjadi apabila tagging sudah diberikan dengan cara yang benar. Kedepan pemberian tagging ini lebih diseriuskan lagi dan perlu kesepakatan bersama semua perusahan untuk tidak menerima anakan ilegal yang jelas berbeda tagging dan bentuk substrat dengan perusahaannya.
Di luar urusan budidaya, perusahaan yang mengajukan usaha ini pun perlu mendapat izin lokasi budidaya dari daerah setempat (lurah), izin penangkaran (budidaya), izin SATDN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) dan Luar Negeri bagi yang ekpor ke manca negara.
Dalam urusan ketenagakerjaan, perusahaan pun harus memanfaatkan tenaga kerja lokal dalam kegiatan budidaya karang hias ini. Satu perusahaan bisa memperkerjakan sekitar 10-15 orang tenaga kerja baik tenaga teknis budidaya dan administrasinya.
Audit Perusahaan Budidaya
Agar tidak ada lagi isu negatif tentang budidaya karang hias, dalam kesepakatan audit tahun 2017 maka dalam waktu tiga tahun kedepan perusahaan yang tidak serius dalam melakukan perawatan, proporsi induk dan anakan tidak wajar, tidak ada tagging dan yang tidak sesuai dengan buku panduan, akan disanksi lewat pencabutan izin transplantasi.
Apabila izin transplantasi dicabut, maka perpanjangan kuota alam otomatis tidak akan diberikan dan selesai pada saat izin penangkapan alam habis masa berlakunya.
Lokasi audit tahun 2017 ini direncanakan akan meliputi lokasi di Binuangeun, Banten (12 perusahaan), Kepulauan Seribu (8), Karimun, Jawa Jawa Tengah (1), Banyuwangi, Jawa Timur (12), Kendari, Sulawesi Tenggara (3) dan Bali yang terdiri dari beberapa lokasi, yaitu 4 perusahaan di Gilimanuk, Sumber Kima, Gondol, Sambirenteng, Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Candidasa masing-masing 1 perusahaan, serta 21 perusahaan di Serangan.
Pada akhirnya usaha budidaya karang hias harus dapat diikuti oleh semua perusahaan ekspor sehingga kecukupan pemanfaatan karang hias dapat dipenuhi dari hasil budidaya, tanpa ada lagi pengambilan dari alam.
Mengingat perkembangan usaha budidaya ini yang cukup pesat, pun perlu dilakukan dukungan riset dan pengembangan untuk memperoleh dan mengetahui kondisi lingkungan yang cocok, laju pertumbuhan, dan penempatan jenis karang yang sesuai. Juga terobosan perlu dilakukan untuk mencari warna karang eksotik yang disukai oleh pasar. Kerjasama antara instansi peneliti dan pengusaha budidaya karang hias dan ikan hias laut lainnya perlu ditingkatkan lagi.
Semoga budidaya karang hias di Indonesia semakin maju, sehingga Indonesia dapat menjadi negara pengekspor karang dan ikan hias terbesar di dunia dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.
* Dr. Ofri Johan, M.Si, penulis merupakan peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya ikan Hias, Depok. Kementerian Kelautan dan Perikanan.