Buntut Menolak PLTA, Warga Adat Seko Mendekam di Balik Jeruji Besi

Ruangan kecil memanjang itu, berada di bagian belakang Kantor Pengadilan Negeri Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Sebanyak 13 warga Seko duduk berjejer. Ada kipas angis, tetapi kepulan asap membuat udara gerah. Pintu ruangan terbuat dari terali besi. Tergembok. Seorang polisi berjaga dengan senjata.

Warga ini tahanan yang menunggu sidang karena berkonflik dengan PT Seko Power Prima. Warga didakwa merusak fasilitas perusahaan yang akan membangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Betue, Kecamatan Seko.

Rabu (18/1/17), adalah sidang kedua mendengar saksi Jaksa Penuntut Umum. Jadwal pukul 09.00 molor ke pukul 10.00 dan tertunda, karena delapan saksi tak hadir.

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Saya menyapa Andri Karyo, dari balik terali besi. Kami bersalaman. “Apa kabar,” kata saya.

“Sehat. Seperti yang terlihat. Terkurung, tapi semangat masih tetap meluap,” jawabnya.

Kami bercerita banyak hal. “Bagaimana di tahanan? Semua baik-baik saja kah,” kata saya.

“Iya baik-baik. Awalnya susah. Apalagi harus terpisah keluarga. Yang anak muda mungkin baik, tapi yang berkeluarga…tak ketemu anak dan istri itu susah juga,” ucap Andri.

Meskipun begitu, katanya, penangkapan ini tak akan melemahkan perjuangan mereka. “Sampai sekarang, keluarga di Seko, semangatnya malah tambah meningkat”

Dalam pandangan warga Seko ini pembangunan PLTA dan rumah turbin berjarak 18 km dalam garis lurus menggunakan pipa ini akan membelah kampung dan bersisihan dengan pemukiman.

“Kami tak dapat skenario bagaimana kelangsungan hidup kami kelak. Apakah pipa itu tidak masalah. Apakah kami akan dipindahkan. Kalau kami dipindahkan, saat ini tak ingin itu,” katanya.

Baca juga: Ketika PLTA Datang, Ketenteraman Warga Seko Hilang

Sepekan kemudian, Rabu (25/1/17), sidang lanjutan mendengarkan saksi. Ada empat orang dari perusahaan hadir. Sidang berlangsung sekitar tiga jam.

“Saya tahu, dua orang pekerja lapangan. Waktu unjuk rasa di Ratte – rencana tempat membangun rumah turbin–mereka ada. Satu orang lagi di basecamp perusahaan, jauh dari tempat kejadian. Seorang lagi, tak di Seko waktu itu,” kata Andri.

Keempat saksi memberatkan ke-13 warga Seko ini. “Iya, kami mengerti. Waktu itu, unjuk rasa berjalan panas. Ada ratusan orang, ada yang merusak. Itu terjadi.”

Unjuk rasa itu pada Agustus 2016. Warga penolak PLTA di Seko,  membongkar paksa peralatan dan memberhentikan pekerja. Suasana memanas tetapi tak terjadi bentrokan.

Akhir Oktober 2016, warga yang diduga dalang demonstrasi ditangkap. Sebanyak 12 orang ditangkap pada 20 Oktober 2016 hingga masa perpanjangan 7 Januari 2017.

Andri Karyo ditangkap belakangan dan menghuni sel tahanan 29 Oktober 2016 hingga 7 Januari 2017.

Pelimpahan penyidik Kepolisian ke Kejaksaan untuk 13 warga Seko ini bersamaan pada 7 Januari 2017. Sidang pertama dalam pembacaan dakwaan Rabu 11 Januari 2017.

Sidang kedua 18 Januari 2017, seyogyanya pembacaan eksepsi tak ada, langsung agenda mendengarkan saksi dari JPU.

Pada sidang ketiga, 25 Januari 2017, mendengarkan empat saksi. Agenda sidang keempat Rabu 1 Februari 2017, mendengarkan saksi.

Saya menemui Syafriadi pengacara warga, ketika usai sidang kedua di ruang belakang pengadilan. Dia pakai kemeja lengan panjang berdasi. Rekannya Yusri Yunus, mendampaingi. “Mengapa tak eksepsi?” tanya saya.

“Kami tak eksepsi karena kami menganggap semua sudah baik. Kita ingin mempercepat proses persidangan, dan mengajukan tuntutan perdata,” kata Syafriadi.

“Tanpa eksepsi, apakah itu berarti kita sudah menerima semua unsur dakwaan?” kata saya.

“Tidak. Itulah yang akan kita buktikan di proses persidangan ini.”

Dia bilang, penangkapan warga Seko ini bentuk kriminalisasi. Mereka ini warga adat, sudah ada surat keputusan dan perda labupaten soal pengakuan komunitas adat.

“Jadi apa yang dilakukan warga Seko, kepada perusahaan karena mereka masuk tanpa izin. Alas hukumnya SK dan perda itu. Kami membawa ke ranah perdata,” ucap Syafriadi.

Suasana pertemuan keluarga dengan warga Seko yang ditahan buntut berkonflik dengan PT Seko Power Prima. Mereka hanya berusaha mempertahankan tempat hidup, wilayah adat mereka. Foto: Eko Rusdianto
Suasana pertemuan keluarga dengan warga Seko yang ditahan buntut berkonflik dengan PT Seko Power Prima. Mereka hanya berusaha mempertahankan tempat hidup, wilayah adat mereka. Foto: Eko Rusdianto

Pada 2004, pemerintah kabupaten menerbitkan SK Bupati Luwu Utara No.300 tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko dan Perda No.12 Tahun 2004 tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara.

“Seharusnya semua pihak menjalankan amanat ini. Pemerintah, perusahaan dan warga harusnya duduk bersama. Selama ini, unsur ini tak berjalan baik,” katanya.

 

 

 

 

 

Ganti pengacara

Pada 23 Oktober 2016, sebelum Andri Karyo ditangkap, bersama pengacara menuju Mapolda Sulawesi Selatan di Makassar. Mereka hendak mengadukan kelakukan aparat kepolisian yang dinilai menangkap warga dengan kekerasan.

Hasilnya, nihil. “Jadi waktu itu, laporan kami tak diterima. Menurut Polda, berkas administrasi kami tak lengkap dan pengacara tak tahu soal itu,” katanya.

Sebelumnya, konflik masyarakat adat Seko dengan PT Seko Power Prima mendapatkan pendampingan dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tana Luwu, Perkumpulan Wallacea dan konsorsium bersama Aliansi Seko Menggugat.

Malah, pengacara warga tak memberikan akses pada lembaga pendamping. “Kami tak bisa lagi masuk. Untuk menemui warga Seko di tahanan, kami harus dapat mandat pengacara. Singkat kata, akses kami tertutup,” kata Sartika, dari AMAN Tana Luwu.

Syafriadi adalah pengacara kedua yang ditunjuk warga untuk menggantikan pengacara sebelumnya. Dia lebih terbuka.

Saya menyaksikan ketika seorang mahasiswa Seko yang kuliah di Tana Toraja ingin menyuarakan kasus ini. “Iya. Seko harus kita kawal bersama,” katanya.

Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto

***

Semangat juang warga Seko tak kendor. Pada 28 Desember 2016, ketika belasan mendekam di penjara, warga membuat konsolidasi dan menggelar unjuk rasa. Tuntutan mereka sama, menghentikan pembangunan PLTA. Hasilnya, seorang warga Seko ditangkap lagi. Total tahanan 14 orang.

“Saya tak tahu, kenapa kami yang menginginkan kedamaian dan memperjuangkan hak ulayat, dan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi selalu ditangkap,” kata Dominggus C. Paonganan, warga Seko yang kini mendekam di penjara.

“Sepertinya, apapun yang kami lakukan di Seko, selalu membuat kami bermasalah dengan hukum.”

Malam hari, Rabu (25/1/17), seorang warga Seko menelpon saya. Dia memberi kabar tiga siswa SMAN I Seko, dipukul di sekolahnya. Tiga siswa itu, ditempeleng. “Siswa ini ikut demontrasi 28 Desember. Mereka masih anak sekolah. Buat apa dipukul. Toh mereka ikut, karena peduli tanah leluhur,” ucap Dominggus.

Kabar lain berhembus bilang aparat mulai menuju Seko. “Keluarga bilang akan ada lagi penangkapan. Kami selalu diteror seperti ini. Keluarga khawatir. Kami akan terus melawan. Ini tak akan melemahkan perjuangan.”

Sungai di wilayah Palondoang dengan hulu masuk ke Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Sungai di wilayah Palondoang dengan hulu masuk ke Sungai Betue. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,