Aturan Baru Minerba Tuai Kritik, Begini Penjelasan Pemerintah

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Pemerintah No.1/2017 soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Aturan yang diikuti beberapa peraturan menteri ini mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan.

Adapun beberapa peraturan turunan itu, seperti Permen No.5/2017 soal peningkatan nilai tambah mineral dan Permen No.6/2017 tentang penjualan mineral ke luar negeri.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah (KESDM) menyadari ada gap antara cita-cita ideal agar pengolahan, pendanaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan mineral belum berjalan maksimal.

“Idealnya,  kita punya smelter sendiri, siapa yang berinvestasi? Bangsa Indonesia, hingga seluruh pemanfaatan untuk bangsa. Apakah kondisi ini tercipta sekarang? Belum,” katanya dalam diksusi di Jakarta, baru-baru ini.

Baca juga: Longgarkan Ekspor Mineral Mentah, Begini Sikap Pakar dan Pegiat Lingkungan

Sesuai amanat UU Minerba, dalam lima tahun sejak diterbitkan, atau 2014, idealnya perusahaan tambang sudah punya smelter untuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang.

“Sekarang, apakah mereka membangun? Apakah kita akan mengarah ke sana? Nah, gap ini coba kita tutup dengan menerbitkan PP ini.”

PP ini, katanya,  solusi terbaik dari pemerintah saat ini. Dia sadar, PP berpotensi memiliki kelemahan hingga, tak heran jika ada yang ingin uji materi.

“PP sudah diterbitkan. Permen sudah terbit. Ini produk manusia, kalau mau mencari celah akan ketemu, saya yakin. Apakah energi kita akan fokus mencari celah atau mencari yang positif hingga gap bisa ditutupi?”

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono mengatakan,  ada empat substansi PP No 1/2017 ini. Pertama, izin perpanjangan usaha sebelumnya diatur dua tahun sebelum habis masa berlaku, jadi lima tahun.

Pertimbangannya, masa dua tahun belum cukup untuk membuat keputusan mengeluarkan izin perpanjangan.

“Karena kita melihat investasi, apalagi investasi besar keputusan tak cukup dua tahun. Ada beberapa kontrak perpanjangan. Ada 10 tahun, 15 tahun, ada anytime bisa minta perpanjangan. Intinya,  kita memang menggeser waktu itu guna mencukupi waktu pertimbangan untuk menetapkan investasi ke depan,” katanya.

KeduaPP mengatur harga penjualan mineral harus mengikuti harga patokan yang ditentukan pemerintah setiap bulan dengan mengacu standar internasional. “Artinya pasar diperhatikan. Tak pada market tertentu.”

Ketiga, pemerintah menetapkan divestasi (pengembalian saham ke pemerintah) maksimum 51% sejak 10 tahun berproduksi, bertahap.

Keempat, PP ini memerintahkan menteri mengatur hilirisasi sesuai komoditas sekeligus bagaimana boleh jual ke luar negeri. “Permen No 5, isinya apa saja boleh dijual ke luar negeri untuk peningkatan nilai tambah. Di lampiran disebutkan semua. Terbaru, misal, kadar nikel ada turun jadi dua persen, dulu empat persen, dengan catatan harus logam karena ekspor harus bentuk logam.”

Permen juga mengatur komoditi atau mineral tertentu yang bisa ekspor. Dia mencontohkan, nikel bisa ekspor hanya low grade– di dalam negeri tak dipakai.

Perusahaan tambang harus menyerap minimal 30%  hasil tambang. “Jadi yang dijual ke luar negeri itu bukan semua, hanya low grade. Kuota harus dibatasi sesuai cadangan dan kapasitas smelter.”

Bambang bilang, kembali pada cita-cita pemerintah untuk hilirisasi, hak ekspor hanya untuk perusahaan bangun smelter.

Bagi perusahaan yang belum atau berencana membangun smelter, menurut PP dan turunan, akan diawasi pemerintah secara berkala dan evaluasi sekali enam bulan.

“Bahkan dalam kondisi tertentu bisa tidak enam bulan. Dengan target tertentu. Artinya, 2022,  pemerintah harus berkeyakinan tak ada lagi ekspor mentah tapi harus pemurnian dan pengolahan.”

Dalam rancangan Permen selanjutnya telah dibahas, pemerintah akan mencabut izin ekspor perusahaan yang bangun smelter tak sesuai target. Pengawasan, KESDM akan menggunakan verifikator independen melalui proses lelang.

“Lima tahun terakhir pemikirannya begini, apakah pemerintah harus menghentikan, hingga bahan galian tetap dalam tanah sementara, dijual tak bisa juga. Atau pemerintah mempertimbangkan beri kesempatan waktu lagi untuk bangun smelter.”

Cara lain, katanya,  pemerintah merangsang percepatan pembangunan smelter, dengan bea keluar (BK) 10% untuk royalti dan 10% ekspor mentah.

“Sangat menderita kalau perusahaan tak percepat pembangunan smelter akan kena BK 20% setiap penjualan ke luar negeri. Yang dikatakan ekspor itu tak bebas seperti yang dibayangkan. Kuota dibatasi, persyaratan ketat, pengawasan ketat. Tujuan kita smelter itu jadi,” katanya.

Inilah pemandangan miris yang terlihat saat memasuki Kabupaten Morowali Utara. Posisi Kota Kolonodale, ibu kota kabupaten, berada di bawah lokasi tambang PT. Mulia Pasific Resources, anak perusahaan PT. Central Omega Resources Tbk. Foto: Wardi Bania
Inilah pemandangan miris yang terlihat saat memasuki Kabupaten Morowali Utara. Posisi Kota Kolonodale, ibu kota kabupaten, berada di bawah lokasi tambang PT. Mulia Pasific Resources, anak perusahaan PT. Central Omega Resources Tbk. Foto: Wardi Bania

Mengenai perusahaan status Kontrak Karya, seperti PT. Freeport , dalam permen ini disebutkan, perusahaan pemegang kontrak karya harus mengubah diri menjadi perusahaan dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) jika tetap ingin ekspor. Sesuai UU Minerba, pemegang KK harus ekspor hasil pemurnian.

“Sesuai Pasal 170 sudah dikunci lima tahun, harusnya 2014. Kenyataan tak terwujud.  Karena itu diberi kesempatan tapi mereka harus jadi IUPK. Jadi IUPK tak segampang yang dipikirkan.”

“Kalau ada mengatakan ini untuk menaklukkan Freeport, karena luar biasa mereka harus membangun smelter, mengubah diri jadi IUPK, harus divestasi. PP jangan dilihat negatif, positifnya juga luar biasa.”

Mengenai kekhawatiran kesanggupan pemerintah membeli saham divestasi, kata Wamen,  dalam permen turunan tentang evaluasi divestasi, pemerintah akan mengeluarkan hitungan nilai cadangan dalam penawaran harga saham. Pertimbangannya,  nilai cadangan itu milik negara. Jadi, tawaran harga saham lebih rendah.

Menabrak hukum?

Kritikan lain setelah PP No1 terkait sudut pandang hukum. Sejumlah pihak menilai PP ini menabrak UU Minerba Pasal 102, 103 dan 170, yang memerintahkan pemulihan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana bisa memahami kesulitan pemerintah dalam mengeluarkan PP ini. “Pasal 170 di atas kertas sih bisa, kenyataan di lapangan sangat sulit. Sisi lain pemerintah tak ingin ada anggapan pemerintah takut perusahaan besar.”

Untuk itu, ada Karena beberapa pilihan, misal, pemegang KK jika ingin tetap ekspor harus mengubah diri jadi IUP. Kalau ingin tetap KK, harus bangun smelter.

Dia menilai,  hal mendasar membedakan PP No.1/2017 dengan Permen No.1/2014, terkait pengawasan, jadi enam bulan sekali dan ada verifikator independen. Verifikator ini sewaktu-waktu bisa cabut izin ekspor perusahaan jika tak punya progres pembangunan smelter.

“Memang ada pertanyaan kenapa pemerintah memberikan (perhatian) pada (perusahaan) besar sementara yang kecil-kecil tak diakomodasi?”

Pilihan mengeluarkan PP ini, katanya, langkah paling efektif dibanding peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) atau revisi UU Minerba. UU Minerba, bukan domain pemerintah, tetapi DPR.

Perpu, katanya, tak ada kondisi genting yang membenarkan pemerintah mengeluarkan itu. “Belum tentu disetujui DPR.”

Merujuk Pasal 103 ayat 3, akhirnya KESDM mengambil jalan mengeluarkan PP dinilai sebagai jalan tengah.

“Jika tak ada aturan KK jadi IUPK, pemegang KK juga akan berteriak, biasa melakukan arbitrase.  Dengan ini ada pilihan, tak mematikan tapi kalau berubah ikuti aturan.”

Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT Freeport Indonesia
Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT Freeport Indonesia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,