Panen Raya Padi di Lereng Pegunungan Karst Pati, Bukti Kesuburan Lahan Pertanian

Hamparan padi menguning begitu indah dengan latar belakang pepohonan hijau. Hari itu, Kamis, (26/1/17), pukul 08.00, ratusan petani turun ke sawah di Desa Brati, Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Warga akan panen raya. Mereka mengawali panen dengan doa bersama di pematang sawah lalu membentangkan bendera merah putih.

Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dihubungi Mongabay mengatakan, panen raya ini membuktikan anggapan karst kering, tak subur, dan petani dianggap miskin itu keliru.

Petani pakai caping tolak pabrik semen sembari memanen, dan nembang lagu-lagu untuk kelestarian bumi. Panen raya ini sekaligus bentuk syukur dan doa mereka terhadap proses kasasi izin lingkungan pendirian pabrik semen PT. Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT. Indocement Tbk.

Saat ini,  Mahkamah Agung (MA) sudah menetapkan hakim majelis yang akan memeriksa perkara gugatan, yakni Yosran selaku hakim pertama, Is Sudaryono, hakim kedua dan Yulius, hakim ketiga.

“Kami berharap majelis hakim melihat bukti, penambangan berdampak bagi banyak orang, terlebih petani,” kata Gunretno.

Ada 180 hektar tapak pabrik semen merupakan lahan produktif di Desa Larangan, Mojomulyo, Karangawen dan Tambakromo.  Adapun rencana penambangan batu kapur di lahan Perhutani, yang selama ini digarap masyarakat.

Izin lingkungan keluar setelah ada siasat perubahan Perda Tata Ruang Wilayah yang berakhir 2007,  di mana kecamatan-kecamatan yang sebelumnya lahan pertanian, jadi pertambangan dan industri.

Keputusan Bupati Pati mengeluarkan izin lingkungan bertentangan dengan UU Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Amdal.

Di persidangan PTUN Semarang, Bappeda Pati tak bisa menjelaskan penyusunan tata ruang Pati. Mereka tak bisa menjelaskan soal perubahan lahan pertanian jadi pertambangan. Perubahan juga tak libatkan masyarakat.

“Selama ini,  warga terdampak pertambangan semen tak didengarkan. Ada 65% lebih warga tolak pabrik semen,” katanya.

Hartoyo, warga Desa Brati mengatakan, di lereng karst Kendeng Pati warga bisa tanam jagung, kacang tanah, padi, terong, ubi, cabai dan tanaman lain.

Ketika di persidangan, Bappeda Pati jelas mengatakan, pendapatan Pati 54% dari pertanian, 35% dari Kayen dan Tambakromo yang akan jadi pertambangan.

“Jika pertambangan berlanjut, artinya pemerintah sengaja mematikan kehidupan petani,” katanya.

Kehadiran tambang semen, katanya,  akan berdampak pada air warga sehari-hari, air buat hewan ternak dan lahan pertanian. Dampak sosial masyarakat juga terpecah-pecah antara pro dan menolak pabrik semen.

Mereka tak mau lingkungan tercemar dan rusak dengan kehadiran tambang semen. “Kami sudah lihat langsung warga di Tuban, mereka menderita menyakit sesak nafas, susah air, lahan pertanian rusak. Hanya 0,01% warga diterima kerja. Lebih terhormat dan sejahtera jadi petani.”

Dari data, usia produktif Kayen dan Tambakromo 20. 677 jiwa. Janji lapangan kerja perusahaan hanya 600 orang, atau 0,2%.  Untuk itu, penolakan kami terhadap pabrik semen di Pati wujud konkrit mendukung Nawacita Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

“Putusan PTUN Semarang gamblang membuktikan kebohongan data Amdal (Analisis mengenai dampak lingkungan-red) dan mencabut izin lingkungan. Harapan kami, majelis hakim memutus dengan hati nurani demi menjaga kehidupan petani Kendeng,” harap Hartoyo.

 

 

Berdoa bersama sebelum panen raya. Foto: JMPPK

 

Rusak tata air karst

Eko Teguh Paripurno, dosen Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan, pertambangan SMS akan berdampak pada kerusakan tata air karst.

“Pertambangan akan merusak morfologi karst. Ada ribuan petani dan berhektar-hektar sawah menggantungkan air dari sungai bawah tanah karst,” katanya.

Dalam kajian kajian Semarang Caver Association (SCA) dan JMPPK, dengan dukungan Acintyacunyata Speleological Club (ASC) dan Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) UPN “Veteran” Yogyakarta pada Oktober 2013 menunjukkan, karst Pegunungan Kendeng ada jejak ponor, gua dan mata air.

Kajian itu menunjukkan di lokasi tambang batu gamping ada 25 goa dan satu ceruk. Di tanah liat ada dua goa dan satu ceruk dan terdapat 30 mata air. Di batu gamping ada lima sumurdan 11 mata air pada tanah liat. Puluhan lain berada pada jarak kurang dari satu kilometer. Terdapat lima mata air di barat laut di area IUP SMS.

Ada mata air Ronggoboyo juga tempat punden untuk upacara adat, mata air Sumber Agung, Kali Cilik, dan Kali Gede untuk irigasi dengan debit terukur sampai 303.826,5 liter perdetik.

Perusakan ekosistem ini, katanya,  memicu risiko bencana ekologis seperti banjir dan kekeringan. Ada 33 mata air di Grobogan, 79 di Sukolilo Pati dengan debit relatif konstan. Ia sumber air bagi 8.000 keluarga dan lebih 4.000 hektar sawah di Sukolilo.

“Selain itu bisa juga jadi sumber energi mikrohidro di Sukolilo,” ucap Eko.

Perusakan ekosistem karst, katanya, tak bisa dilepaskan dari sistem perpolitikan berbiaya mahal berdampak pada eksploitasi sumber daya alam. Izin industri berbahan batu gamping, seharusnya tak di pemerintah kabupaten atau kota, tetapi pusat, paling tidak provinsi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,