Inilah Harapan dari Pemetaan Wilayah Adat di Jayawijaya

Angin berhembus kencang sore itu. Dingin menusuk tulang. Di halaman depan honai (rumah adat, red), tiga orang anak lelaki asyik bermain. Mereka berebut benda kecil yang terbuat dari kumpulan kresek plastik hitam hingga menyerupai bola. Seorang anak perempuan bermain boneka sendirian.

“Stop bermain sudah. Masuk ke dalam sana,” kata Markus Lani. Sontak anak-anak itu menghentikan permainannya. Mereka langsung menuruti perintah.

Markus Lani adalah ayah dari keempat orang anak itu. Ia adalah kepala suku Lani Tapo, Kampung Jagara, Distrik Welesi, Kabupaten Jayawijaya. Tempat Markus tinggal adalah dataran Wamena yang terkenal dengan nama Lembah Baliem yang berada di ketinggian 1.670 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Baca juga: Saat Pengakuan Hak Wilayah Adat Jadi Kebutuhan di Lembah Baliem

Sebagai kepala suku, Markus tugasnya mengurus soal ekonomi, atau yang terkait dengan kesuburan. Kesuburan yang dimaksud menyangkut tata laksana dalam hal pembagian tanah kepada warganya, menyiapkan acara bakar batu, hingga pembagian makanan seperti babi dan ubi kepada setiap warga.

Disela berbicara, hembusan angin masih saja terdengar. Bahkan pepohonan di sekitar honai bergoyang ikut diterpa angin.

“Kami menyebut ini angin Kurima,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia. Kurima adalah sebuah distrik dan juga wilayah adat yang berada dalam administrasi Kabupaten Yahukimo. Akses ke tempat itu hanya bisa dilalui lewat Wamena.

Wamena sendiri dikelilingi bukit-bukit tinggi yang menjulang. Gunung-gunung tertinggi di Indonesia ada di sini, seperti puncak Trikora (4.750 mdpl), Mandala (4700 mdpl), dan Yamin (4500 mdpl). Inilah yang menyebabkan cuaca Wamena sangat dingin dikala sore hingga malam hari.

Berbicara tentang masyarakat, maka bukit-bukit yang ada diseluruh Lembah Baliem dianggap bertuan. Semua ada pemiliknya. Wilayahnya diatur suku-suku berdasarkan klan. Hal ini telah berlangsung ribuan tahun, jauh sebelum kehadiran gereja atau negara yang mengatur soal batas dan status kawasan, seperti hutan lindung atau taman nasional.

“Kami di adat sudah lebih dulu mengatur wilayah mana yang harus dikelola, mana yang harus dijaga, mana yang dilarang untuk dimasuki. Aturannya sangat jelas ketika ada yang melanggar akan dikenai sanksi adat. Bahkan pelanggarnya akan dikutuk oleh alam, seperti sakit-sakitan,” ungkap Markus.

Menurut pandangannya, program pemerintah dalam menjaga dan memanfaatkan hutan saat ini sudah baik, namun kenyataan lapangan kadang berbeda dan kadang berbentur dengan apa yang telah terlebih dahulu dikelola masyarakat adat.

Dia pun menyambut baik pemetaan wilayah adat yang telah dilakukan pemerintah bekerjasama dengan lembaga non pemerintah serta melibatkan masyarakat adat.

“Pemetaan sangat membantu kami. Batas-batas adat itu kami tahu sejak dulu, tapi tertulis tidak ada. Jika hal ini tidak diatur, maka akan terjadi konflik. Konflik tidak hanya antar suku, seperti perang, tapi juga antara masyarakat dengan pemerintah,” ujarnya.

Markus menjelaskan lagi, jika pemerintah konsisten, ia berharap kampung-kampung adat dapat kembali sesuai dengan hukum nenek moyang. Di dalam adat menurutnya semuanya sudah diatur, termasuk hal-hal yang menyangkut kesopanan dan etika.

“Dengan demikian kami tidak perlu bergantung pada Undang-Undang Desa dan Pemerintahan Desa. Kalau pemerintah mengembalikan ke masyarakat adat, semuanya pasti aman,” kata lelaki berusia 58 tahun ini dengan tegas.

Markus Lani Kepala Suku Lani Tapo berada di depan honainya. Ia bercerita mengenai pentingnya pemetaan wilayah adat. Foto: Christopel Paino

Upaya Menjaga Wilayah Adat

Seperti Lani Tapo, maka suku-suku lain di Lembah Baliem umumnya masih kukuh dengan hidup tradisi, yang diwariskan nenek moyang. Alasan ini yang mendorong seluruh program pembangunan yang dilakukan harus sejalan dengan pola kehidupan masyarakat, agar dapat diterima.

Ditambah, daerah ini kadang distigma sebagai daerah yang sering berkonflik politik dengan pemerintah.

“Situasi politik di sini masih tinggi. Kami tidak ingin terjebak dalam posisi itu,” jelas Laurens Lani, Direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), yang sejak tahun 1996 terus mendampingi masyarakat.

Dia teringat saat awal datang ke kampung, orang-orang selalu meragukan dan mencurigainya mewakili kepentingan siapa.

“Saya ini kan juga orang asli Papua, masyarakat adat juga. Dan saya bicara atas nama lembaga YBAW, tetap saja saya dicurigai,” ungkap Laurens.

Namun demikian Laurens dan rekan-rekannya tetap tak patah arang. Ia terus melakukan pendekatan ke masyarakat sembari melakukan pertemuan-pertemuan dengan kepala suku secara pribadi.

Dia menjelaskan kepada para tetua suku tentang pentingnya wilayah kelola, bersama menggali struktur pemerintahan adat yang dulu, dan pentingnya batas wilayah untuk diperjelas kembali lewat tindak pemetaan partisipatif.

“Pemetaan itu ibaratnya seperti pagar. Setelah itu masyarakat sendiri cari sekop untuk kerjakan wilayahnya sendiri.”

Perjuangan yang dilakukan itu kini sedikit mulai kelihatan hasilnya. Berbekal kerjasama dengan pemerintah daerah, dan juga berbagai lembaga non pemerintah, saat ini sudah dilakukan pemetaan pada 19 wilayah adat di seluruh wilayah Kabupaten Jayawijaya.

“Sisanya tinggal lima distrik yang berada di tiga wilayah adat yang belum terpetakan,” ungkap Laurens.

Menurutnya, alasan utama warga lokal menjual tanah karena perkembangan kemajuan kota yang tidak bisa dihindari. Misalkan karena ada tawaran pembangunan jalan, maka tanah dan hutan dilepas. Alasan berikutnya adalah mereka tidak bisa bersaing dan belum memiliki pengetahuan, sehingga ketika tanah telah terjual mereka akhirnya tersingkir.  Tapi ia bersyukur, hal ini sekarang mulai menurun.

Bagi Laurens, pemetaan wilayah harus dilakukan agar masyarakat adat tidak jadi penonton dari laju pembangunan.

“Kenapa di Bali atau di Jogja adatnya bisa bagus, bisa kuat, sementara orang Papua tidak bisa?” kata Laurens balik bertanya.

Lanskap Lembah Baliem tampak dari sebuah bukit. Lembah Baliem merupakan tempat tinggal banyak suku asli. Foto: Wahyu Mulyono

Perlu Pendekatan Sesuai Budaya Masyarakat

Sebagai daerah dataran tinggi, Wamena dan Lembah Baliem sangat terkenal dengan kopi arabikanya yang amat cocok ditanam di daerah berketinggian 700 sampai 1.700 mdpl. Kopi Baliem juga sangat terkenal diantara kaum pecinta kopi Indonesia.

Namun, bagi sebagian masyarakat adat di Lembah Baliem tanaman kopi belum diberdayakan dengan maksimal. Padahal kopi mulai diperkenalkan kepada masyarakat oleh pemerintah sejak tahun 1986.

Hasil kajian YBAW, menyebutkan meski banyak areal yang ditanami kopi, tetapi bagi masyarakat lokal kopi dianggap bukan hasil kerja pertanian utama.

“Masyarakat adat itu biasa beternak babi, lalu sebagai petani mereka tanam ubi. Jika [proyek pemerintah] dianggap tidak mendukung atau tidak berpihak pada masyarakat, masyarakat akan tinggalkan dan pergi masuk hutan saja,” jelas Laurens.

Selain itu dalam pengelolaan tanaman kopi, katanya, masyarakat tidak maksimal karena beberapa faktor kendala. Seperti ada ketua kelompok yang dianggap tidak jujur, maupun proses produksi kopi, mulai perawatan, pembersihan, hingga pengelolaan pasca panen yang dianggap panjang.

“Sekarang harga 1 kilogram biji kopi Rp55 ribu. Masyarakat anggap kalau ditingkatkan agak sulit, jika dukungan pengelolaan dan perawatan belum maksimal. Memang ada bantuan dari dinas terkait, tapi itu tadi, ada problem internal karena ketidakpercayaan anggota terhadap ketua kelompok,” ungkapnya.

Laurens menjelaskan, jika masyarakat menanam ubi, ada beberapa fungsinya, seperti untuk makan, untuk dijual, untuk ternak babi, hingga sayur-sayuran. Sistem yang digunakan dalam pertanian ubi juga memakai tumpang sari. Misalkan disela-sela ubi ditanami sayur kol, jagung, atau buah merah.

Menurut Laurens, bekerja dengan masyarakat harus sabar dan mengedepankan dialog berbasis budaya Butuh waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan berbagai kemajuan zaman. Tetapi yang terpenting, masyarakat masih mau mempertahankan berbagai kearifan tradisional yang ada.

“Sebenarnya prinsip mereka lahan dan hutan dikelola dan ambil sesuai kebutuhan, karena itu untuk anak cucu. Sebab bagi orang Wamena, tanah itu ibarat “mama” yang bisa memberikan makan, minum, dan kehidupan,” tutup Laurens.

Lebih lanjut informasi terkait inisiatif ini dapat diperoleh dalam blog Samdhana Institute berikut ini. Samdhana adalah organisasi nirlaba yang mendukung pelibatan para pihak dalam pengelolaan hutan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,