Kala Amdal Belum Beres Presiden Resmikan Pembangunan Bandara Kulon Progo, Warga Protes

Ada yang tak biasa di Kulon Progo, Yogyakarta, Jumat, (27/1/17). Di setiap persimpangan, sepanjang jalan menuju area peresmian pembangunan bandara tampak aparat keamanan baik TNI maupun Polri. Mereka berjaga-jaga.

Di pertigaan jalan desa, sekitar 500 meter dari tempat acara ke arah barat,–jadi jalan bagi tamu undangan—, setiap orang melintas ditanyai keperluan apa. Seorang penjual mainan anak gagal melintas, setelah petugas dengan sopan tidak mengizinkan lewat.

Pagi itu,  Presiden Joko Widodo meresmikan pembangunan bandara Kulon Progo, atau yang disebut Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Baca juga: Proses Amdal Pembangunan Bandara Kulon Progo Dinilai Cacat Hukum, Mengapa?

Tampaknya, pembangunan ingin mengambil filosofi Jawa. Ada banyak banner yang dipasang di kanan kiri jalan sejak di  luar desa menuju lokasi bertuliskan Babat Alas Nawung Kridha.

“Hari ini bukan groundbreaking. Hari ini namanya Babat Alas Nawung Kridha. Nanti biar terjemahan Pak Sultan yang menyampaikan,” kata Presiden dalam sambutan sebelum peletakan batu pertama.

Sebelumnya, Presiden menyatakan pembangunan bandara sudah direncanakan lebih enam atau tujuh tahun lalu tetapi tak terlaksana karena berbagai kendala.

“Pada saat Bapak Gubernur menyampaikan kepada saya, saya sampaikan segera akan kita mulai bersama-sama. Setiap pekerjaan apapun, setiap keputusan apapun pasti ada risikonya,” katanya.

Bakal lokasi Bandara Kulon Progo di Temon. Foto: Nuswantoro

Jokowi menyitir ramalan para leluhur tentang perkembangan Kulon Progo di masa depan. Ramalan itu beliau catat dari penjelasan Direktur Utama Angkasa Pura I Danang S Baskoro, yang menyambut Presiden dan sejumlah menteri di pintu masuk utama.

Sesuk ning tlatah Temon kene bakal ono wong dodolan camcao nang awang-awang. Tlatah Temon kene bakal dadi susuhe kinjeng wesi,” kata Presiden. “Tlatah sak lor gunung Lanang lan kidul gunung Jeruk bakal dadi kutho.”

Artinya, kurang lebih “kelak di daerah Temon akan ada orang jualan camcao di angkasa. Temon akan jadi rumah bagi capung besi. “Kawasan utara gunung Lanang dan selatan gunung Jeruk akan jadi kota.”

Semua tempat yang disebut itu merujuk pada lokasi bandara yang akan dibangun.

Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam sambutan mengatakan, pembangunan Bandara di Kulon Progo adalah babat alas yang menandai peradaban baru, peradaban Mataram abad 21. Peradaban baru itu dimulai dari Kulon Progo lewat pembangunan bandara internasional.

Hal kurang lebih sama dilakukan Kyai Ageng Pemanahan, Kyai Ageng Penjawi, pada abad-abad sebelumnya, membuka hutan mendirikan kerajaan Mataram, cikal bakal Kota Yogyakarta. “Adapun arti nawung kridha adalah transformasi diri, revolusi mental,” ujar Sultan.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Bandara Adisutjipto luas 15.000 meter persegi dan melayani sekitar 1,2 juta penumpang per tahun. Padahal, pada 2016 penumpang di bandara itu sampai 7,2 juta jadi pembangunan bandara baru mutlak.

Tahap I, katanya, akan dibangun terminal 130.000 meter persegi. Selain itu akan dibangun landasan pacu 3.250 meter. Tahap II,  akan dikembangkan jadi 195.000 meter persegi, dengan landasan pacu 3.600 meter. Kapasitas penumpang dari 15 juta orang jadi 20 juta pertahun.  Tahap I, target selesai Maret 2019.

Spanduk penolakan Bandara Kulon Progo di Jalan Daendels. Foto: Nuswantoro

 

 

Tetap menolak

Berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi, sekitar 300 orang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT), dan sejumlah elemen didukung LBH Yogyakarta, aksi longmarch di Jalan Daendels, Kulon Progo. Aksi mulai dari Dukuh Kragon, Desa Palihan,  menyusuri Jalan Daendels.

Sambil membawa spanduk dan poster berisi penolakan, mereka bergerak mendekat ke lokasi peletakan batu pertama bandara. Penjagaan ketat aparat menghentikan langkah mereka.

Gagal menembus barikade, akhirnya mereka menggelar mujahadah di persimpangan Palihan. Orasi dan doa mereka lakukan di tempat ini dengan pengawalan ketat petugas. Sejumlah tuntutan mereka bacakan.

Mereka antara lain menuntut penghentian pembangunan bandara NYIA segera, cabut izin penetapan lokasi (IPL), hentikan rencana airport city, dan wujudkan reforma agraria.

Martono, Ketua WTT ditemui Mongabay usai aksi, mengatakan, meski Presiden meresmikan pembangunan, mereka tetap menolak proyek itu.

“Peletakan batu pertama bukan segala-galanya. Dalam rencana pembangunan bandara ini banyak kesalahan mereka lakukan.”

Selain ditolak warga, katanya, mereka juga melanggar tata ruang, Amdal belum terbit, terus alih fungsi lahan belum jelas. “Daerah ini rawan tsunami yang tak mungkin ada infrastruktur atau bangunan,” katanya.

Warga berkeyakinan, pembangunan bandara tak bisa berlanjut karena banyak kesalahan.

Sebelum ada rencana pembangunan bandara, katanya,  mereka hidup tenteram dengan bertani. Mereka berharap bisa tetap jadi petani, mempertahankan hak milik, menjaga keturunan, dan melestarikan sejarah hidup mereka di sana.

“Jadi kalau bangun bandara batal warga akan tenteram dan hidup normal seperti sedia kala.”

Menurut Martono, sejumlah tekanan dan intimidasi mereka dapatkan selama menentang pembangunan bandara. Mulai mengecilkan jumlah warga penolak padahal lebih besar, hingga ancaman kehilangan sejumlah hak.

“Nanti kalau nggak boleh jadi bandara tanahnya hilang, atau anaknya nggak bisa sekolah. Nanti anak yang sudah diterima bisa dikeluarkan. Macam-macam yang mereka lakukan, tergantung tingkat kekuatan warga. Kalau warga kuat ya intimidasi keras, kalau warga kelihatan lemah mental, intimidasi ringan-ringan,” katanya.

Mereka, katanya,  tetap memperjuangkan tuntutan lewat jalur hukum karena memberi peluang kemenangan.

“Kami juga berjuang dengan berdoa. Selama ini tak ada yang mau mendengar harapan dan permintaan kami. Kami minta kepada yang punya dunia ini,  yaitu Tuhan Yang Maha Esa.”

Pada 2012, WTT berdiri. Kelompok ini beranggotakan warga penolak pembangunan bandara dari Desa Palihan, Glagah, Sindutan, Temon Kulon, Jangkaran, dan Kebonrejo.

Jumlah yangpenolak, kata Martono, ada 300 keluarga, meliputi 350 lahan, terdiri 1300-an jiwa. Sebanyak 90% dari mereka petani, sisanya pensiunan. Kebanyakan mereka petani sawah, semangka, melon, cabai, sayuran, jati, sengon laut, dan kelapa. Beberapa juga mengusahakan tambak.

Tambak warga di dekat lokasi peresmian. Foto: Nuswantoro

Halik Sandra, Direktur Walhi Yogyakarta, ketika dihubungi menjelaskan ada pelanggaran atau ketidaktaatan tahapan peraturan perundangan atas pembangunan bandara NYIA. Dia menyebut, soal Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) belum jelas. Juga izin lingkungan.

“Saat peletakan batu pertama kan bagian tahapan konstruksi, seharusnya menunggu apakah dokumen lingkungan sudah layak atau tidak. Kalau tidak, seharusnya izin lingkungan tak akan keluar, dan izin lingkungan jadi syarat keluar IMB (izin mendirikan bangunan-red),” katanya. Tanpa IMB,  peletakan batu pertama seharusnya tak bisa.

Pemerintah, katanya,  tampak memaksakan kehendak terlebih saat ini masih ada warga di tapak lokasi bandara konsisten menolak pembangunan itu.

Mengenai kebutuhan melayani penumpang yang terus meningkat, kata Halik, pertama, pengembangan Bandara Adisutjipto belum maksimal. Kedua, pemerintah sebenarnya bisa mengintegrasikan pelayanan Bandara Adisutjipto dengan Bandara Adi Soemarmo di Solo.

“Jarak hampir sama dengan ke Kulon Progo, akses tak jauh, secara infrastruktur tersedia. Jalan raya tersambung, rel kereta api Jogja Solo, ada.”

Selain itu, rencana bangun keretaapi bandara sampai Stasiun Balapan. “Saat Adisutjipto, tak bisa menampung penumpang yang harus dilakukan mengintegrasikan dengan Adi Soemarmo dulu.”

Soal wacana relokasi, dia berpendapat belum pasti dan menyisakan problem. Warga diberi uang ganti rugi lalu diminta mencari lahan sendiri atau menempati lahan kas desa.

“Problem ke depan kalau tanah kas desa prosesnya sangat panjang. Apa bisa itu menjadi hak milik setiap warga yang menerima, karena tanah kas desa secara UU Desa menjadi aset desa. Di Jogja, UU Keistimewaan menyebut semua tanah kas desa akan jadi tanah sultan atau Sultan Ground dan Pakualaman Ground.”

Menurut Halik, tak ada jaminan warga penerima ganti rugi bisa mendapatkan tanah sesuai kesejahteraan saat ini.

“Pesisir Kulon Progo kawasan rawan tsunami dan gempa. Artinya ada potensi kerusakan cukup luar biasa. Dari kerusakan itu akan ada pencemaran dari air limbah, baik biasa maupun bahan berbahaya dan beracun.”

Belum lagi pekerjaan dan hasil pertanian dari Pesisir Kulon Progo, hilang.

Dari infografis yang disebarkan koalisi masyarakat sipil, ada 60.000 pekerjaan pertanian yang terkait produksi semangka, dan 90 ton semangka per hektar per tahun akan hilang jika pembangunan bandara jalan. Kawasan itu juga penghasil cabai, melon, gambas, dan terong.

Di sekitar lokasi itu, juga ada situs kebudayaan harus dilindungi. Ada dua situs, Gunung Lanang dan Gunung Putri. Ada stupa.

“Kedua wilayah itu juga terancam dengan ada pembangunan. Bagaimana perlindungan situs budaya yang selama ini sudah dirawat dan dilestarikan masyarakat. Waktu tertentu tempat itu sangat ramai dipakai warga ritual budaya.”

Di sepanjang Jalan Daendels terutama di Palihan, spanduk-spanduk penolakan pembangunan terpasang di kanan kiri jalan. Masih di jalan sama namun ke luar wilayah Palihan, spanduk atau papan yang menginformasikan tanah, rumah atau ruko dijual juga bertebaran.

Lokasi peresmian pembangunan Bandara Kulon Progo. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,