Jaga Kelestarian Tumbuhan Endemik, Desa-desa Ini Bikin Aturan Khusus

Pada Desember 2016, Pemerintah Desa Matano dan Nuha di tepian Danau Matano, Kabupaten Luwu Timur,  Sulawesi Selatan, mengesahkan peraturan desa (perdes) untuk melindungi tiga tumbuhan endemik kawasan itu.

Tumbuhan-tumbuhan itu masing-masing, Vatica flavovirens/celebica (rode), Vatica rassak (dama’dere), dan Hopea celebica (mata kucing).

Hadijah Azis, peneliti kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Andi Djemma Kota Palopo, menjumpai saya pertengahan Januari 2017 menceritakan ini. “Ini langkah awal penyelamatan keragamanhayati kawasan,” katanya.

Status tiga jenis tumbuhan itu terus berkurang karena pembukaan lahan perkebunan, atau industri skala besar. Hopea spp. dan Vatica spp. adalah tanaman marga suku Dipoterocarpaceae hanya tersebar di Wallacea.

Dalam skala perdagangan marga Hopea disebut mata kucing. Marga Vatica dalam penamaan lokal disebut dama’dere atau hulo dere.

Dua tanaman ini sebagai bahan konstruksi bangunan, baik ringan dan berat. Ia menghasilkan resin, buah nut, tanin dan minyak tengkawang sebagai campuran kosmetik dan coklat.

Atas dasar itu, Hopea spp, masuk Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2007 tentang hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Pada skala internasional (IUCN, 2015), Hopea celebica, tumbuhan endemik Sulawesi dalam kategori genting (endangered). Vatica flavovirens status kritis (critically endangered), Vatica rassak Appendix II CITES atau perdagangan yang diatur.

Penelitian Hadijah, pada Februari-April 2016, menemukan eksploitasi kawasan berlebihan membuat pertumbuhan ketiga tanaman ini lambat (slow growing species).

“Sekarang, di sepanjang pesisir Danau Matano, pembukaan lahan untuk perkebunan merica masif. Cara membuka lahan dengan membakar,” katanya. “Akibatnya,  sejak 2010 sampai sekarang, kebakaran lahan seringkali terjadi.”

Pembukaan lahan dengan membakar, katanya, tak hanya merusak tanaman, juga mengganggu ekosistem hutan keseluruhan. Ada puluhan atau bahkan ratusan serangga, dan satwa bisa musnah.

 

Biji Vatica flavovirens. Foto: Hadijah

 

 

Jaga keseimbangan

Matano bersama kombinasi tiga danau lain–kemudian dikenal Kompleks Danau Malili–menyimpan beragam keunikan. Jadi laboratorium pendidikan alam, dari spesies flora, fauna, mineral dalam perut bumi, hingga tempat merekonstruksi iklim purba sekitar 6000 tahun lalu.

Kekayaan alam dari di atas dan perut bumi, memberi banyak cerita. Stau contoh, di Sorowako, saya menyaksikan sendiri begitu banyak ketimpangan. Tempat subur nan sejuk perlahan jadi wilayah pengab dan sesak.

Lonjakan penduduk, ketika PT Inco–sekarang PT Vale–eksplorasi tahun 1970-an menyeret ribuan orang mendiami Sorowako.

Pembangunan pabrik pengolahan menutup kolam alami, mengubah aliran sungai, dan mengupas ratusan hektar lahan. Proses penghijauan dan pembibitan perusahaan jauh dari kata cukup.

Tambang nikel membawa keuntungan dan perubahan besar dalam skala ekonomi global, tetapi tak begitu menyentuh masyarakat kecil.

Tegakan-tegakan pohon raksasa menghilang cepat. Burung julang Sulawesi yang begitu menawan, sulit dijumpai. Kepulan asap pabrik saban waktu terbawa angin, serupa hantu terhirup warga sekitar tambang. Hingga tanaman impor sebagai rumput Malaysia yang disebar perusahaan tumbuh subur tak terkendali.

Alhasil, beberapa tanaman endemik bernasib naas. Salah satu, Macadamia hildebrandii. Tumbuhan kacang-kacangan yang membuktikan hubungan sistem ekologi dengan benua Australia. “Kita tak ingin berpasrah-pasrah melihat keadaan ini. Tanaman salah satu sumber kekayaan hayati, harus tetap dilestarikan,” kata Hadijah.

Peneliti Kehutanan Universitas Andi Djemma dan Lembaga Burung Indonesia, akhirnya bersama masyarakat menginisiasi sebuah herbarium sederhana di Desa Matano dan Nuha.

“Kami bersama masyarakat mengumpulkan beberapa jenis tumbuhan. Mencari bibit dan berlajar mengklasifikasi. Kami menanam kembali,” katanya.

Dia bilang, Vale datang, banyak orang bergantung dan mengukur keseuksesan dengan ekonomi dan uang.

“Ekosistem dan lingkungan mulai dilupakan. Anak-anak sungai di Desa Nuha dan Matano debit air makin berkurang.”

Tinggi pohon dama’dere bisa sampai 25 meter. Tinggi bebas cabang 15-20 meter, diameter hingga 32,5 sentimeter. Pohon ini menghasilkan getah, warga masa lalu jadikan bahan perekat untuk kapal menangkap ikan di Danau Matano.

Untuk pohon rode, bisa 40 meter, dengan batang bebas cabang 20 meter, diameter dapat 54 sentimeter. Mata kucing merupakan jenis endemik Sulawesi. Tinggi pohon bisa 30 meter, tinggi bebas cabang hingga 25 meter dan diameter sampai 70 sentimeter.

Di alam, rode, dama’dere dan mata kucing, kian menurun. Untuk melihat pohon-pohon ini, harus mencari dan memasuki hutan.

Di pinggiran-pinggiran kampung mulai tak terlihat. Salah satu alasan pohon ini hilang, karena batang cukup kuat hingga sebagian orang memburu untuk tiang atau tonggak merica.

Padahal, tiga pohon ini, masing-masing dapat ditanam dengan tanaman lain berselang seling. Terlebih, katanya, tanaman ini dapat menjaga pasokan air. Akar menonjol pipih keluar menjaga sekitar selalu basah.

“Jika tanaman dikembangkan di pinggiran-pinggiran danau, dapat mencegah erosi. Sebagai tanaman untuk mitigasi bencana, sangat tepat.”

Sudut perkempungan di Desa Matano, Kecamatan Nuha, Luwu Timur. Foto: Eko Rusdianto
Danau Matano. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,