Harapan Warga Muara Sungsang: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Tidak Gusur Kebun Kelapa (Bagian 2)

“Kami sangat senang adanya proyek KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Api-Api, sebab jalan darat menjadi bagus. Para pembeli kelapa langsung ke sini dan kami tidak perlu mengeluarkan biaya pengiriman ke Palembang melalui Sungai Musi,” kata Daeng Manesa (51), warga Desa Muara Sungsang, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, awal Februari 2017 ini.

Paling penting, lanjut Manesa, kami berharap tidak ada penggusuran kebun kelapa, yang sebagian besar berada di tepi Jalan Tanjung Api-Api. “Tersiar kabar, akan banyak pembangunan pergudangan untuk menunjang pelabuhan tersebut. Dan, kami berharap kebun kami tidak digusur,” kata lelaki asal Sulawesi Selatan yang merantau ke Muara Sungsang tahun 1974 itu.

Dijelaskan Manesa, saat datang bersama keluarga ke Muara Sungsang, daerah rawa gambut dan sebagian kecil kawasan mineral itu dulunya hutan rimba. “Di sini dulu paling banyak pohon nibung. Semua perjalanan menggunakan perahu melalui sungai-sungai atau parit-parit yang kami buat menggunakan teknologi sederhana. Butuh waktu lama menjadikan perkebunan kelapa ini,” kata Manesa yang kini memiliki dua hektare kebun kelapa.

Baca: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dijalankan, Bagaimana Respon Masyarakat Terhadap Lingkungan? (Bagian 1)

Bagaimana jika kebun kelapa yang digusur diganti dengan biaya tinggi? “Kami ini petani. Jika disuruh memilih uang atau kebun, kami tetap memilih kebun. Kami bukan pebisnis yang dapat mengelola uang. Seluruh warga desa sepakat tidak akan melepaskan kebun kepala dengan harga berapa pun,” ujarnya.

Buah kelapa yang banyak manfaatnya bagi manusia. Sumber: Wikipedia

Desa Muara Sungsang yang terbagi empat dusun merupakan sentra produksi kelapa terbesar di Sumatera Selatan. Menurut penelitian yang dilakukan Bioclime, luas desa ini sekitar 10 ribu hektare dengan jumlah penduduk 1.505 jiwa atau 405 kepala keluarga. Desa ini berbatasan dengan Desa Marga Sungsang di sebelah utara, sebelah selatan dengan Desa Teluk Payo, timur berbatasan dengan Sungai Air Telang, dan batas baratnya dengan Sungai Banyuasin.

Sebagian warga Desa Muara Sungsang bersuku Bugis (70 persen), Jawa (20 persen), serta 10 persen bersuku Melayu, Sunda dan lainnya. Sebagian besar warga berprofesi sebagai petani, petambak udang dan ikan, juga buruh.

Dari luasan 10 ribu hektare itu, sekitar 2.187 hektare berupa kebun kelapa, 1.293 hektare kelapa sawit, 25 hektare pemukiman atau perkampungan, 216 hektare persawahan, dan 100 hektare hutan. Sementara kawasan mangrove mencapai 1.813 hektare yang sekitar 490 hektare menjadi pertambakan udang dan ikan.

Terbentuknya Desa Muara Sungsang pada 1965, ketika pesirah Sungsang mengajak warga di Riau untuk membuka lahan di Sungsang. Namun kegiatan merintis itu baru dimulai tahun 1972. Pada 1973 pembukaan lahan dimulai yang setiap lahan yang diapit parit, luasnya sekitar 50 depa atau 12 baris pohon kelapa.

Ada ribuan warga yang mendapatkan pendapatan dari mengupas buah kelapa di Desa Muara Sungsang. Umumnya kaum perempuan. Foto: Taufik Wijaya

65 juta butir kelapa per tahun

Desa Muara Sungsang sangat pantas disebut sebagai sentra kelapa di Sumatera Selatan. Setiap tahun desa ini menghasilkan buah kelapa sekitar 65 juta butir. Angka ini didapatkan dari setiap hektare kebun yang menghasilkan 5.000 butir per bulan atau sebanyak 60 ribu butir per tahun. Jika dikalikan dengan luas kebun kelapa 2.187 hektare di desa tersebut, maka sekitar 65 juta butir kelapa setiap tahunnya dihasilkan.

“Harga kelapa yang sudah dikupas kulitnya saat ini Rp3 ribu per butir,” kata Hasanuddin, seorang petani kelapa. Jadi, dalam setahun peredaran uang yang dikelola petani kelapa di Desa Muara Sungsang sekitar Rp196 miliar.

Dijelaskan Hasanuddin, pendapatan dari buah kelapa yang di eskspor ke Tiongkok, Jepang dan sejumlah negara di Asia Tenggara itu bukan hanya menghidupi sebagian besar warga Desa Muara Sungsang. Tetapi juga warga desa sekitar seperti Marga Sungsang dan Tanjung Lago, yang bekerja sebagai pengambil dan pengupas kelapa.

“Setiap dua hektare ada enam pekerja. Ada ribuan orang yang bekerja. Bayangkan, jika kebun kelapa kami habis digusur untuk kepentingan pelabuhan tersebut, berapa banyak orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Kami mohon nian, pemerintah tidak mengambil kebun kelapa kami untuk pergudangan atau lainnya,” katanya.

Selain itu, ada juga masyarakat yang mendapatkan keuntungan dari menjual sabut dan batok kelapa. “Meskipun hasilnya tidak besar, tapi penghasilan itu, yang dikelola menjadi arang atau lainnya, cukup memberikan pemasukan bagi masyarakat.”

Daeng Manesa: Berapa pun ganti ruginya kami tetap ingin mempertahankan kebun kelapa kami. Foto: Taufik Wijaya

Pembebasan lahan untuk bengkel bor migas

Kecemasan warga Desa Muara Sungsang tersebut dikarenakan sebanyak 64 hektare lahan di Desa Teluk Payo, desa yang lebih jauh dari Pelabuhan Tanjung Api-Api, dibebaskan oleh pemerintah. Pembebasan lahan yang terdiri dari sawah, kebun kelapa, dan pemukiman itu diperuntukan PT. DEX yang akan membangun pabrik bengkel RIG atau alat bor minyak.

Seperti diketahui, pada awalnya ada penolakan pembebasan lahan oleh warga. Namun, akhirnya warga menerima ganti rugi atas pembebasan lahannya.

Selain itu, berdasarkan peta (lampiran) Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api disebutkan lahan seluas 2.030 hektare tersebut berada di wilayah Desa Muara Sungsang dan Desa Teluk Payo.

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK Sumatera Selatan

Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api di Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, itu ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan fasilitas tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2014 tentang KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Api-Api.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,