Sebuah bivak beratap daun woka ((Livistona rotundifolia) tak berdinding di sisi kanan jalan. Kondisi reyot. Bangunan ini merupakan tempat anak-anak Suku Tobelo Dalam Tayawi, belajar.
Kini, Etno School gagasan Syafrudin Abdurahman, dosen Universitas Khairun itu, tinggal kenangan. Tak ada lagi kegiatan belajar mengajar. Hanya bivak nyaris ambruk dan ditutupi ilalang hampir melewati atap. Itulah pemandangan sekitar 250 meter ketika memasuki gerbang Taman Nasional Ake Tajawe, Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Kala saya ke Tayawi, baru-baru ini, tak terlihat ada aktivitas sama sekali. Anak- anak Tobelo Dalam tak satupun bermain di sana.
“Skola ini so tara bajalang so lama kong so bautang ini. (Sekolah ini sudah lama tak ada aktivitas hingga berilalang,” kata Antonius Jumati, Tetua masyarakat Tobelo Dalam Tayawi.
Sebelumnya, sekitar 200 meter ada rumah dan bivak tempat tinggal delapan keluarga Suku Tobelo Dalam yang mendiami hutan Sungai Tayawi, Desa Koli, Kecamatan Tidore Kepulauan.
Kelompok Suku Tobelo Dalam , sudah turun temurun tinggal di hutan ini meskipun tak tahu mulai tahun berapa. Tetua Tobelo Dalam juga tak tahu, sejak kapan neneka moyang mereka mendiami hutan ini.
“Torang tara tau pasti kapan tong pe orang tua- tua datang dan tinggal di sini (kami tak tahu pasti kapan tetua kami datang dan menetap di kawasan hutan ini),” katanya.
Sejak mejadi taman nasional, “orang suku,” begitu warga setempat menyebut, aktivitas agak berbeda dengan kelompok Tobelo Dalam di Halmahera Timur maupun Halmahera Tengah.
Dalam berburu, mereka harus keluar kawasan. Karena berburu dalam kawasan dilarang. “Kalau berburu babi dan rusa di kawasan tak bisa karena dilarang taman nasional,” kata Mesakh Dorome Kepala Suku Tobelo Dalam Tayawi.
Warga Tobelo Dalam Tayawi tak terima jika disebut suku terasing, Togutil, atau “Orang Suku.” Bagi mereka sebutan itu berkonotasi negatif sebagai pembunuh, jahat dan liar dengan memiliki ciri berambut gondrong dan tak berpakaian.
Bagi mereka yang sudah hidup menetap atau masih berpindah- pindah tetap warga kampung. “Mereka marah kalau disebut Orang Suku atau Togutil. Yang mereka tahu “orang suku” itu jahat dan berambut gondrong,” kata Ateng Pondoh, warga Morotai yang menikahi perempuan Tobelo Dalam Tayawi.
Ateng yang menikah hampir lima tahun ini tinggal bersama Suku Tobelo Dalam di hutan Tayawi.
Menurut dia, identitas rambut gondrong membuat warga Tobelo Dalam Tayawi selalu menggunting rambut. Caranya unik, kalau tak ada gunting mereka pakai parang. ”Rambut saya dipotong istri pakai parang kalau sudah panjang,” katanya.
Hubungan dengan hutan
Orang-orang Tobelo Dalam memiliki cara tersendiri menjaga hutan. Mereka hidup sangat tergantung hutan. Sampai-sampai, nama mereka pun berasosisi dengan pohon.
Darmin Hasyim, pegiat lingkungan yang beberapa kali riset tentang Suku Tobelo Dalam mengatakan, saat ini masyarakat telah mengalami perubahan. Perubahan sosial , katanya, hal yang tak terhindarkan bagi manusia termasuk masyarakat Tobelo Dalam.
Perubahan ini, katanya, merupakan cara beradaptasi dengan lingkungan agar tetap bertahan. Jika lingkungan berubah, budaya juga ikut berubah agar manusia bisa tetap hidup.
“Perubahan- perubahan itu membawa dampak positif maupun negatif. Konsekuensi ini harus diketahui pengelola taman nasional.”
Dia bilang, seperti perkembangan masyarakat lain, setelah hidup berpindah–pindah sebagai peladang dan pemburu, masyarakat Tobelo Dalam akhirnya menetap dan memilih hidup bercocok tanam.
Di tempat permukiman baru itulah masyarakat membangun kehidupan. Pola hidup baru melahirkan pranata sosial baru.
“Hal pokok harus diketahui dan dipegang adalah melakukan perubahan-perubahan positif di masyarakat Tobelo Dalam dengan mengenal dan memahami kebudayaan mereka,” katanya.
Untuk itu, katanya, perlu kajian etnografi untuk memahami dan mengenal kebudayaan masyarakat di dalam dan sekitar taman nasional.
Dalam riset Farida, orang Tobelo Dalam menonjolkan pola bertahan hidup dengan mengandalkan ekonomi subsistensi. Lewat pola berburu meramu serta berladang, terlihat langsung kehidupan mereka mengandalkan sumber alam (hutan) yang lestari.
Artinya, sumber alam di hutan harus tersedia dalam jumlah mencukupi hingga kebiasaan berburu, meramu bisa tetap jalan sebagai bagian ciri khas kelompok ini. Keberadaan hutan yang kaya potensi alam, katanya, lebih menjamin kelangsungan hidup komunitas ini.
Hutan Halmahera telah tereksploitasi oleh berbagai kepentingan seperti izin perusahaan kayu maupun pertambangan termasuk taman nasional. Kehidupan warga Tobelo Dalam terpengaruh.
“Secara khusus ini dipahami kelompok Tobelo Dalam. Beralih jadi orang desa (harus meninggalkan hutan) adalah pilihan masuk akal jika hutan di sekitar telah jadi konsesi perusahaan.”
Namun, katanya, bagi kelompok lain, memilih tetap di hutan akan berpindah ke hutan lebih dalam.
Keberadaaan taman nasional tak terlepas dari permasalahan . Jika memaksakan pakai aturan taman nasional, akan berbenturan dengan kebiasaan hidup kelompok ini.
Kelompok Mesakh, mempunyai ladang dan wilayah berburu sekitar tiga sampai lima kilometer di taman nasional. Ini mudah diketahui karena letak palang blok Aketajawe berada di pinggir Aer Tajawi tempat tinggal Mesakh dan kelompoknya.
Mereka punya kebiasaan melintas taman nasional jika harus berburu. “ Memang dorang (mereka) larang berburu binatang atau tebang pohon karena ini masuk taman Nasionan,” kata Mesakh.
Sebelumnya, dari berita Mongabay, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Tayawi , Raduan mengatakan, pengelola taman nasional bisa hidup berdampingan dengan Suku Tobelo Dalam.
Mereka hidup dengan mengambil hasil hutan dan berburu hewan seperlunya. Ada juga yang mengambil batu di DAS Tayawi untuk dijual.
Raduan dari TNAL mengatakan, mereka memberi ruang kepada Suku Tobelo berkebun di dalam hutan asal tak eksploitasi luas.
“Kita biarkan mereka karena itu wilayah jelajah mereka. Apalagi jarang merusak hutan. Mereka mengambil sesuai kebutuhan saja,” katanya.
Dia malah khawatir, ada orang luar memengaruhi mereka dan mengekploitasi kayu maupun kekayaan alam TNAL.
Begitu juga soal ambil batu di DAS Tayawi, Suku Tobelo Dalam mendapatkan kelonggaran asalkan secara tradisional. “Tanpa alat berat. Sepanjang batu-batu itu diambil oleh warga Tobelo Dalam secara manual tak apa.”
Identitas
Orang Tobelo Dalam Tayawi tak punya kartu identitas diri sebagai warga Negara Indonesia. Bukannya mereka tak mau, hanya persyaratan administrasi menyulitkan mereka.
Untuk mengurus kartu tanda penduduk (KTP) harus memiliki kartu keluarga (KK). Mereka juga tak memiliki dokumen ini.
Belum lama ini ada rencana gereja menggelar nikah massal bagi warga Tayawi. Sayangnya, rencana ini berbenturan dengan keyakinan mereka bahwa menikah resmi itu dapat mematikan.
Akhirnya, saat waktu yang ditentukan nikah massal tak satupun warga mau menjalani prosesi secara Kristen.
“Kita sudah berusaha mengumpulkan mereka tetapi tak ada yang mau karena meyakini jika menikah konsekuensi meninggal,” ucap Antonius.
Ada keyakinan warga Tobelo Dalam, menikah itu bagian dari sumpah. Sumpah itu konsekuensi mati. “Jadi mereka takut dimakan sumpah dan mati.”
Jelang Natal, 25 Desember lalu rencana nikah massal di Gereja Tayawi gagal. Tak satupun warga mau dinikahkan meskipun hadir dalam acara Natal bersama.
Begitu juga berhubungan dengan kematian. Untuk mereka yang nomaden, jika ada keluarga meninggal maka jenazah diletakkan di goa dan banir pohon.
Kawasan yang mereka tempati akan ditinggalkan dan berpindah ke tempat lain yang dianggap lebih aman dari penyakit dan kematian.
Bagi warga Tobelo Dalam, sakit dan kematian adalah sesuatu yang sangat dihindari. Karena itu, ketika ada keluarga atau kerabat dalam kelompok itu sakit dan meninggal akan dicari tempat baru.
“Tempat yang ditinggali sudah dipastikan agak jauh. Jarak tempat lama dengan tempat baru bisa sampai lima kilometer,” ujar Antonius.
Mereka menganggap tempat lama itu sudah ada roh jahat jadi harus dihindari.
Lalu bagaimana dengan kondisi warga Tayawi kini? Seiring waktu, praktik semacam ini mulai hilang. Agama sudah masuk ke komunitas mereka. Jika ada warga meninggal di hutan, ada kepala keluarga datang menyampaikan kepada mereka yang hidup menetap, kemudian beramai-ramai naik ke hutan dan mayat dimakamkan.
“Dulu jika ada yang meninggal hanya ditaruh di bawah pohon besar atau banir kayu, sekarang sudah tidak lagi,” katanya, seraya menunjuk sejumlah kuburan di samping rumah mereka.
Begitu juga dalam perkawinan, orang Tobelo Dalam Tayawi sama seperti orang Tobelo Dalam lain di Ake Jira Halteng atau Haltim.
Ateng Pondoh menceritakan, dia menikah tanpa proses panjang. “Waktu itu saya olah kopra di Tayawi, datang dia (istri sekarang) dan mau kawin.”
Suku Tobelo Dalam di Taman Nasional Ake Tajawe, masuk kelompok Tobelo Dalam Akejira yang bermigrasi ke Hutan Kali Tayawi. Sejumlah riset beberapa peneliti menemukan, Tobelo Dalam Tayawi sudah dekat dengan masyarakat karena daerah relatif mudah dijangkau.
Blok Taman Aketajawe dan sekitar memang mudah terjangkau pakai transportasi umum seperti mobil dan sepeda motor.
Dari Ternate, bisa terjangkau dengan akses transportasi laut, lalu pakai jalur darat dari Sofifi-Payahe menuju taman nasional. Di sana sudah ada akses ke Taman Nasional, tempat tinggal warga Tobelo Dalam. (Bersambung)