Kehidupan satwa-satwa liar di alam makin terdesak oleh beragam ancaman. Habitat mereka tergerus, menjadi perkebunan sawit, tambang, kebun kayu dan lain-lain. Belum lagi perburuan untuk dipelihara atau diperdagangkan baik dalam dan luar negeri. Dua di antara satwa langka dilindungi ini adalah, baruang madu dan kukang.
Beruang madu juga masuk daftar Appendix I dari Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) sejak 1979.
Bagaimana nasib mereka di Sumatera Utara? Berdasarkan data Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), nasib satwa ini sangat menghawatirkan. Ada yang hidup di kandang sempit di Medan Zoo, dan kebun binatang lain atau peliharaan warga. Ada organ tubuh terpotong-potong dan diperdagangkan.
Seperti terjadi Mei 2016, Mabes Polri membongkar potongan tubuh beruang madu di Medan, hingga kini belum terungkap siapa pelaku. Bulan sama, Polda Sumut menyita dua beruang madu dari kebun binatang mini, Hairos Medan. Tak ada proses hukum buat penyitaan ini.
Kasus lain, Sitorus, warga Desa Lumban Ruhap, Kecamatan Habinsaran, Toba Samosir (Tobasa), memelihara anak beruang madu. Sejak Agustus 2016 diketahui tetapi sampai sekarang BBKSDA Sumut belum berhasil menyita. Sitorus menolak satwa disita.
Hotmauli Sianturi, Kepala BBKSDA Sumut mengatakan, tengah menyusun rencana pelepasliaran beruang madu sitaan jika evaluasi Kebun Binatang Siantar satwa layak kembali ke alam.
Awalnya, kasus Sobasa ingin mengupayakan tindakan persuasif dulu agar warga menyerahkan sukarela. Namun, kabar terakhir warga sekitar, anak beruang madu tak ada lagi. Ada warga luar kota membeli, dan membawa ke Kota Tanjung Balai. Kemungkinan akan dikirim ke Malaysia melalui perairan Tanjung Balai.
“Sudah tak lagi ada di kandang. Aku tanya kemana? Kata Pak Sitorus ada yang minta, sebagai ganti biaya dikasih uang urus, ” kata Pangabean, warga yang dihubungi.
Noviar Andayani, Director Indonesia Program at Wildlife Conservation Society (WCS), mengatakan, kunci paling utama konsistem menegakkan hukum, adil dan transparan. Tanpa penegakan hukum, aturan akan terabaikan. “Jika ada upaya pengambilan paksa satwa harus direspon dengan penegakan hukum,” katanya.
Nasib kukang tak jauh beda. Di Sumut, dalam 2016, cukup banyak kasus penyitaan kukang, seperti seorang warga di Patumbak, Deli Serdang diamankan bersama sembilan satwa ini.
Pada Januari 2017, BBKSDA Sumut bersama tim reaksi cepat Indonesia Species Conservation Program (ISCP) menyita tiga kukang Sumatera dari dua lokasi berbeda di Bahorok, Langkat.
Satu kukang Sumatera diamankan dari warga Bukit Lawang, Langkat. Pemelihara mengaku kukang dari kebun dan dipelihara cukup lama.
Dua lagi sitaan dari Timbang Lawang, Langkat.
Dua lokasi ini, katanya, berdekatan dengan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sama seperti penyitaan sebelumnya, pemilik hanya diberikan penyadartahuan. Satwa sitaan dititipkan di karantina ISCP di Sibolangit, Deli Serdang.
Hotmauli mengatakan, penegakan hukum dilakukan jika dari penyidikan ternyata pemilik berniat atau sengaja memperdagangkan satwa. Meskipun begitu, mereka mengutamakan penyadartahuan kepada warga.
Rudianto Sembiring, Direktur ISCP mengatakan, bentuk satwa menarik jadi salah satu penyebab masih banyak membeli dari pemburu.
Menekan perburuan sampai perdagangan ini, katanya, harus ada penegakan hukum agar jera. “Kami yakin banyak sudah tahu kalau kukang dilindungi. Karena gak ditangkap ya mereka santai saja. Paling menyerahkan pada kita bersama BBKSDA Sumut yang datang menyita.”
Data ISCP, dalam 2016 kukang sitaan bersama BBKSDA Sumut ada 21, 15 sudah kembali ke alam. Selai itu, ada enam sitaan pada September 2016 titip ke Karantina SOCP di Batu Mbelin, Sibolangit.