Mongabay.co.id

Pelaku Kejahatan Satwa Liar Dilindungi Bakal Dijerat Undang-Undang Pencucian Uang

Harimau sumatera jantan yang tertangkap kamera jebak di Tesso Nilo. Foto: WWF-Kementerian LHK

 

 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong penggunaan undang-undang terkait tindak pidana pencucian uang untuk menjerat pelaku kejahatan satwa. Tujuannya, hukuman para pemburu dan pedagang satwa liar dilindungi lebih berat.

Selama ini upaya penegakkan hukum terhadap pelaku perdagangan satwa liar di Indonesia masih menggunakan cara konvensional, menangkap pelaku di tingkat lapangan seperti pemburu dan pedagang pengumpul (follow the suspect). Hampir tidak pernah terungkap, siapa pemain besarnya.

Tahun 2014, Interpol Australia menghubungi Kepolisian, melaporkan adanya pengiriman  ular sanca hijau dari Papua ke negara tersebut. Mereka curiga karena pengiriman sudah dilakukan berulang kali.

PPATK yang mendapatkan laporan, melakukan investigasi aliran uang yang mencurigakan itu. Yang terlibat, perusahaan kargo ekspor impor, pengusaha, pemilik petshop, serta oknum pegawai negeri sipil dan TNI/Polri.

“Jika menggunakan metode follow the suspect, begitu ribet. Tapi dengan mengikuti aliran uang (follow the money) kita bisa menemukan pemain di tingkat menengah ke atas,” kata Beren Rukur Ginting dari PPATK pada pemaparannya di Workshop Penegakkan Hukum Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar se-Sumatera, di Medan, 2-3 Februari 2016.

Pendekatan tindak pidana pencucian uang sudah menjadi rekomendasi internasional dalam menjerat pelaku perdagangan satwa liar ilegal. Saat ini, perdagangan ilegal satwa liar menduduki posisi nomor lima sebagai kejahatan di dunia setelah narkotika, pemalsuan, perdagangan manusia, dan penyelundupan minyak. Menurut Global Financial Integrity nilai uang yang beredar mencapai 7.8 miliar USD sampai 10 miliar USD. Hasil penelitian Jaringan Pendidikan Lingkungan 2014 menunjukkan, kerugian Indonesia yang ditimbulkan akibat perdagangan lia tersebut mencapai Rp9 triliun per tahun.

“Kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup merupakan tindak pidana sumber pendanaan pencucian uang. Kejahatan ini sering ditemukan berbarengan dengan penipuan, pemalsuan, kekerasan, korupsi dan pencucian uang,” kata Beren.

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat menjerat pelaku dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar. Selain itu, dana dan aset kejahatan dapat dibekukan dan dikembalikan ke negara.

 

Barung bukti satwa liar dilindungi, termasuk harimau sumatera yang disita Mabes Polri dari para penjual di penghujung 2015 lalu. Foto: Paul Hilton/WCS

 

Vonis rendah

Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum), Kemal Amas mengatakan, kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dihukum rata-rata paling berat 2 tahun penjara, masih di bawah ketentuan hukuman maksimal UU No 5 Tahun 1990.

Hukum ini tidak memberikan efek jera karena sering ditangkap pelaku yang sama kembali. “Pemerintah saat ini sedang merevisi UU No 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya agar hukuman pidana pelaku kejahatan satwa lebih dari 5 tahun penjara dan denda di atas Rp100 juta.”

 

Pedangan dan pemburu harimau yang ditangkap polisi di Aceh. Foto: Chik Rini

 

Direktorat V Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri AKBP Sugeng Irianto, mengatakan Indonesia bukan saja sebagai negara pemasok satwa, tapi menjadi transit perdagangan ilegal satwa liar dunia.

Dalam operasi di Pasar Jatinegara, polisi menemukan gading gajah Afrika utuh yang sudah diukir menjadi souvenir. “Ini membuat kami terkejut. Hukum di Indonesia tidak menjangkau satwa yang bukan endemik Indonesia. Celah ini dipakai jaringan internasional.”

Menurut Sugeng, data dari persatuan pabean seluruh dunia 2015 menyebutkan, pengangkutan satwa liar di seluruh dunia mencapai 10 ton per tahun. Tahun 2012 – 2016, Polri telah menangani 126 kasus kejahatan satwa dan mempidana 219 pelaku, termasuk 9 orang asing asal Kuwait, Jerman, Tiongkok, dan Rusia.

Dalam kasus penggagalan penyelundupan enam ribu kilogram daging trenggiling dan 100 kilogram sisik tringgiling di Medan, Sumatera Utara, pemodalnya warga Malaysia yang juga terlibat peyelundupan daging dan sisik trenggling di Jambi. “Kami sudah melaporkannya ke Interpol dan ASEAN Wildlife Enforcement Network,” kata Sugeng.

 

Awetan harimau dan macan dahan yang menjadi barang bukti kejahatan satwa di Aceh. Foto: Chik Rini

 

Laju kepunahan

Anwar Purwoto, Direktur Sumatera WWF Indonesia, mengatakan perburuan dan perdagangan satwa mendorong cepatnya laju kepunahan satwa langka. “Tingginya keuntungan memicu berlangsungnya kejahatan. Banyak pihak mulai terlibat, dari pemburu liar di desa-desa, bandar (toke), penampung, taxidermist (pembuat satwa awetan), exportir illegal, hingga penerima negara tujuan,” kata Anwar.

Data yang dikompilasi WWF Indonesia tentang kejahatan satwa di Indonesia menunjukkan,  ada delapan ton gading gajah beredar di Sumatera selama 10 tahun terakhir. Ada 100 orangutan diperdagangkan dan diselundupkan ke luar negeri tiap tahun, lebih dari 2.000 kukang diperdagangkan di Jawa dan juga diselundupkan ke luar negeri, sekitar 2.000 ekor trenggiling dijual ilegal ke luar negeri setiap bulan, serta setiap tahunnya satu juta telur penyu diperdagangkan di seluruh Indonesia.

“Perdagangan di sosial media juga marak. Tercatat, 74 individu orangutan diperdagangankan secara online dan 15 harimau ditawarkan melalui Facebook,” tandas Anwar.

 

 

Exit mobile version