Reklamasi Tanjung Carat Demi Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api, Apakah Faktor Lingkungan Telah Diperhitungkan? (Bagian 4)

 

Keberadaan dua pelabuhan di Tanjung Api-Api dinilai masih belum cukup untuk menunjang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api (TAA). Pemerintah Sumatera Selatan pun berencana membangun Pelabuhan Tanjung Carat, yang lokasinya di atas atau sekitar 15 kilometer dari Tanjung Api-Api.

Namun, pembangunan pelabuhan international yang masuk wilayah Desa Sungsang IV, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, ini akan mereklamasi laut seluas 2.219 hektare, serta menggunakan lahan di kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang sebagai pinjam pakai. Apakah reklamasi ini tidak mengganggu hutan mangrove dan memungkinkan naiknya air laut karena ada daratan baru?

“Yang harus diketahui, wilayah yang direklamasi bukan kawasan hutan mangrove, tapi kawasan laut yang dangkal, yang kalau dibiarkan secara alami di masa mendatang menjadi daratan. Saat ini kedalamannya sekitar 1 – 3 meter,” kata Regina Ariyanti, ketua Project Management Unit (PMU) KEK TAA (Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api) kepada Mongabay Indonesia di Palembang, Kamis (02/01/2017).

 

Baca: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dijalankan, Bagaimana Respon Masyarakat Terhadap Lingkungan? (Bagian 1)

 

Sementara hutan mangrove yang masuk kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang hanya digunakan sebagai jalan menuju pelabuhan. Panjangnya dari batas kawasan hutan lindung dengan Desa Marga Sungsang sekitar lima kilometer dan lebarnya sekitar 100 meter. Jalan selebar 100 meter bukan hanya digunakan kendaraan bermotor juga rel kereta api menuju  pelabuhan yang berada di laut. “Jarak pelabuhan dengan bibir pantai sekitar 750 meter,” kata Regina.

Terkait lahan di hutan lindung tersebut kita telah mengajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. Selain itu, jalan yang melalui kawasan hutan lindung tidak ditimbun melainkan menggunakan tiang sehingga tidak mengganggu hidrologisnya. Sehingga, tidak memberi peluang adanya perambahan lahan oleh masyarakat di sepanjang jalan. “Biasanya kalau ada jalan di atas timbunan, akan ada bangunan liar di sisi jalan.”

 

Keramaian yang terlihat di tempat pelelangan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Naiknya air laut

Salah satu dampak yang dikhawatirkan adanya reklamasi adalah naiknya air laut yang menyebabkan banjir pada daratan sekitar atau terdekat. Akibatnya, mengganggu habitat tanaman sekitar, serta sumur masyarakat yang sebelumnya payau menjadi asin.

Dijelaskan Regina, semua dampak lingkungan tersebut sudah diperhitungkan dan telah diupayakan langkah antisipasinya.

Pertama, perubahan pola arus dan gelombang yang mengakibatkan turbiditas perairan. Ini kemungkinan terjadi pada saat maupun pasca-konstruksi dan intensitasnya tinggi pada saat konstruksi. Upaya yang dapat dilakukan atau dikelola adalah dengan mengatasi pengaruh timbunan terhadap keseimbangan hidrologi kawasan.

 

 Baca: Harapan Warga Muara Sungsang: Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Tidak Gusur Kebun Kelapa (Bagian 2)

 

Kedua, terganggunya littoral transport yang mengakibatkan adanya erosi di salah satu sisi dan sedimentasi di sisi yang lain. Ini terjadi di sekitar lokasi dan alur Sungai Banyuasin. Upayanya dengan menerapkan sistem transportasi material kawasan.

Ketiga, saat penimbunan reklamasi basah dari laut, air laut yang terperangkap dapat mencemari akuifer air tanah di pesisir. Upayanya pemadatan areal yang direklamasi.

Keempat, bertambah panjangnya lintasan air atau penurunan gradien hidraulik aliran air menurunkan kapasitas drainase dan berpotensi banjir di kawasan daratan. Upayanya dengan melakukan pembuangan lapisan organik yang ada di kawasan.

Kelima, penurunan lahan reklamasi tidak merata karena ketebalan lumpur tidak merata juga, sehingga terjadi luapan lumpur. Upayanya dengan sistem pemadatan areal yang direklamasi secara baik, dan konstruksi bangunan atau dinding yang baik.

 

Ikan dalam kemasan yang tahan lama untuk dikonsumsi. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Bagaimana dampak biologi? Regina menjelaskan juga beserta antisipasinya. Pertama, saat konstruksi kemungkinan berdampak terganggunya ekosistem plankton (kelompok gastropoda, annelida, trichoptera, dan diptera), benthos (142 species ikan), nekton (38 species kepiting dan 13 species udang) serta tumbuhan air. Upayanya dengan pelaksanaan reklamasi sesuai SOP yang berlaku.

Kedua, saat konstruksi kemungkinan terganggunya perkembangan vegetasi mangrove yang berfungsi sebagai habitat biota laut khususnya udang, ikan dan kepiting muara sungai. Upaya yang dilakukan pembuatan saluran atau kanal pemisah antara vegetasi mangrove dengan areal yang direklamasi.

 

Baca juga: Biarkan Sungsang Sebagai Kampung Nelayan, Meski Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api Dikembangkan (Bagian 3)

 

Secara umum apakah reklamasi dan kehadiran pelabuhan tersebut memberikan dampak penurunan pendapatan nelayan di Sungsang? “Tidak. Berdasarkan penelitian, para nelayan itu mencari ikan bukan di sekitar muara Sungai Musi, tapi lebih jauh ke tengah laut, di kawasan Laut Cina Selatan,” kata Regina.

Dari sejumlah desa yang sebagian besar warganya nelayan, seperti Desa Sungsang I, Sungsang II, Sungsang III, Sungsang IV dan Desa Marga Sungsang, kapal nelayan kebanyakan 5 – 10 GT dan di atas 10 GT dibandingkan di bawah 5 GT. Kapal di atas 10 GT sebanyak 167 buah, antara 5 – 10 GT sebanyak 308, sedangkan di bawah 5 GT sebanyak 261 buah. “Ini artinya kapal-kapal nelayan banyak beroperasi di laut dalam, seperti Laut Cina Selatan.”

 

Mangrove yang penting mencegah abrasi pantai dan penting bagi kehidupan biota laut. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Sungsang sentra perikanan

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia pada lokasi sekitar pembangunan KEK Tanjung Api-Api maupun jalan menuju Pelabuhan Tanjung Carat, masyarakat telah melakukan berbagai tindakan yang tidak lestari. Misalnya, mereka telah membuka lahan di kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang, membangun rumah di sepanjang Jalan Palembang-Tanjung Carat, yang masih terhenti di batas kawasan Hutan Lindung Pantai Air Telang. Bahkan, terdapat informasi sejumlah pihak telah membangun lokasi penginapan dan hiburan.

Selain itu, mengenai hadirnya pendatang. Mereka tentunya ingin mengadu nasib terkait pengembangan Sungsang sebagai wilayah industri dan pelabuhan.

“Itu memang reaksi dari masyarakat. Memang perlu diatur tata ruangnya, sehingga tidak kumuh dan merusak kawasan lindung ke depannya,” kata Regina.

Namun, pihaknya tetap berusaha menjadikan Sungsang sebagai sentra ikan di Sumatera Selatan. “Kita akan bangun lokasi pelelangan ikan, sehingga harga ikan jauh lebih baik dari sekarang. Apalagi setelah adanya jalan darat ini, angkutan ikan ke Palembang maupun daerah lain di Sumatera Selatan jauh lebih cepat,” katanya.

Pemerintah Sumatera Selatan pun berharap adanya investor yang mau mengembangkan usaha pengalengan ikan di KEK Tanjung Api-Api. “Jika ada industri pengalengan ikan, maka kesejahteraan nelayan meningkat,” ujarnya.

 

Mampukah proyek KEK TAA dan Pelabuhan Tanjung Carat mengubah nasib warga Desa Marga Sungsang menjadi lebih baik? Foto: Taufik Wijaya

 

Terkait dampak sosial budaya, pihaknya telah menyiapkan berbagai upaya. Misalnya melakukan transparansi kebutuhan tenaga kerja dan persyaratan rekruitmen termasuk upah yang diterima. Gunanya, memberikan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar.

Kemudian setiap masyarakat lokal dapat bekerja sesuai kapasitas dan persyaratan kerja, serta pelaksanaan CSR dari perusahaan yang terlibat. Dengan begitu, adanya konflik sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang terhindar.

Peningkatan keamanan lingkungan kerja dan keamanan lingkungan yang melibatkan masyarakat lokal, guna mengatasi gangguan keamanan dan ketertiban lingkungan pun dilakukan.

Terakhir, terkait munculnya potensi peningkatan gangguan penyakit seperti ISPA, kulit, malaria dan saluran pencernaan, diantisipasi dengan menyediakan sarana dan prasarana kesehatan,  sosialisasi hidup sehat, serta menyediakan tenaga medis dan paramedis mumpuni.

 

Rencana blok reklamasi yang akan dijadikan lokasi Pelabuhan Tanjung Carat. Peta: PMU KEK Sumatera Selatan

 

Alasan pembangunan 

Alasan pembangunan pelabuhan international Tanjung Carat adalah karena lautnya lebih dalam dibandingkan pelabuhan di Tanjung Api-Api, kapal yang bersandar bobotnya mencapai 77.000 DWT (dead weight tonnage) dengan kedalaman laut sekitar 18 – 20 meter. Sementara pelabuhan di Tanjung Api-Api hanya mampu menyandarkan kapal berbobot 5.000 DWT. Selain itu, keberadaan pelabuhan berada di tengah atau mudah diakses dari pusat ekonomi Jakarta dan Singapura. Jarak antara Tanjung Carat dengan Singapura sekitar 420 kilometer dan jarak dengan Jakarta sekitar 450 kilometer.

“Namun yang utama keberadaan Pelabuhan Tanjung Carat sangat dibutuhkan dari aktivitas KEK Tanjung Api-Api,” jelasnya.

Pertimbangan lainnya, keberadan Pelabuhan Boom Baru di Palembang sudah tidak layak lagi dan sulit dikembangkan. Sedimentasi Sungai Musi relatif tinggi sekitar 3 juta kubik per tahun, sehingga membutuhkan pemeliharaan yang sangat mahal. Pelayaran juga relatif dangkal, sangat tergantung pasang surut sehingga operasional hanya berjalan 6 jam sehari. Jarak ke ambang luar dari Palembang juga cukup jauh, sekitar 108 kilometer. Karena berada di wilayah permukiman, Pelabuhan Boom Baru sulit dikembangkan.

“Selain itu, pariwisata di Palembang tidak akan berkembang selama masih ada aktivitas pelabuhan dan industri di sepanjang Sungai Musi,” ujarnya.

 

Masterplan KEK Tanjung Api-Api. Sumber: SIPHIDA – KEK TAA Sumatera Selatan

 

Proyek reklamasi Pelabuhan Tanjung Carat sendiri berlangsung sekitar 5 – 10 tahun, yang dimulai dengan membangun dinding pelindung dari batu alam di sisi barat untuk meminimalisir erosi.

Apakah pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat sebagai upaya pemaknaan program kemaritiman pemerintahan Jokowi? “Bisa jadi ya, sebab pelabuhan ini dapat menjadi pelabuhan penyanggah maupun pelabuhan utama, yang jelas mengembalikan posisi pantai timur seperti era Sriwijaya. Kita pun ingin pembangunan KEK TAA maupun Pelabuhan Tanjung Carat ini berjalan lestari, selain memberikan dampak positif bagi ekonomi Sumatera Selatan dan Indonesia,” tegas Regina.* Selesai

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,