Sejahterakan Pesisir, Negara Gandeng Nelayan untuk Kembangkan Wisata Bahari

Pemerintah Indonesia sepakat untuk menggandeng nelayan sebagai mitra pengembangan pariwisata bahari nasional yang dimulai tahun ini. Untuk itu, akan ada pelatihan kepada para nelayan di sejumlah daerah yang dibimbing langsung oleh dua instansi Negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Pariwisata (Kemenpar).

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, pihaknya mengajak KKP untuk menggandeng nelayan dan masyarakat pesisir sebagai mitra wisata bahari, karena mereka adalah warga lokal yang lebih paham dengan kondisi sekitar. Sehingga, saat wisata bahari dikembangkan, itu akan lebih memudahkan.

“Tetapi, yang lebih penting lagi, adalah kita ingin menyejahterakan masyarakat pesisir. Jika pariwisata bahari dikelola dengan benar, itu akan mendatangkan kesejahteraan bagi warga pesisir,” ujar dia di Jakarta, Selasa (09/02/2017).

 

 

Menurut Arief, digaetnya masyarakat pesisir, tidak lain karena dia melihat selama ini mereka tidak diberdayakan untuk memperoleh nilai tambah. Kata dia, nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia, saat ini masih terfokus pada lingkaran produksi dan perdagangan produk kelautan dan perikanan.

“Padahal, sesungguhnya bisnis itu tidak hanya itu, masih ada juga jasa. Dengan kata lain, produk services harus dibuat di lingkaran masyarakat pesisir,” tutur dia.

Yang dimaksud dengan pelayanan, menurut Arief, adalah bisnis jasa yang diberikan kepada siapa saja yang memerlukan pelayanan. Dan kebetulan, bisnis jasa untuk saat ini paling bagus potensinya di pesisir, adalah pariwisata.

Dengan menggandeng nelayan dan masyarakat pesisir, Arief mengungkapkan, pihaknya secara tak langsung juga akan menggunakan fasilitas yang dikelola dan atau dibangun oleh KKP. Fasilitas tersebut, seperti pelabuhan, dermaga, dan pasar ikan.

Di antara kebutuhan yang mendesak untuk diadakan saat ini, kata Arief, adalah pemandu wisata yang ada di kawasan pesisir. Pemandu tersebut, mencakup juga untuk wisata bahari minat khusus seperti snorkeling dan diving.

“Wisata bahari itu identik dengan pantai, pulau, dan air laut. Salah satunya, adalah wisata menyelam dan snorkeling. Dibutuhkan pemandu yang jumlahnya banyak,” jelas dia.

 

Seorang penyelam di perairan Pulau Pramuka, ibukota Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : Wisuda

 

Untuk tahun ini, Arief memaparkan, pemandu wisata bahari dibutuhkan sebanyak 1.000 orang. Kemudian, untuk 2018, pemandu wisata bahar akan ditingkatkan lagi jumlahnya menjadi 1.500 orang dan 2.000 orang pada 2019 mendatang.

“Kita harus bisa memberi nilai tambah pada masyarakat pesisir. Caranya, yaitu dengan memunculkan services. Ini akan mensejahterakan nelayan juga pada akhirnya,” ucap dia.

Dengan memberdayakan masyarakat pesisir, Arief optimis, wisata bahari akan menyumbang devisa banyak dan akan mengalahkan Malaysia dalam waktu cepat. Tapi, kata dia, untuk bisa mencapai itu, nelayan harus ditransformasi dari berfokus pada komunitas menjadi ke pelayanan.

“Kalau perikanan itu masih menjadi community bagi nelayan, maka kesejahteraan juga tidak akan datang. Harus ada transformasi nelayan ke services,” sebut dia.

Selain pemandu wisata bahari, Arief menyebutkan, pihaknya juga mulai tahun ini akan melakukan sertifikasi jasa layanan wisata bahari yang jumlahnya ditargetkan mencapai 1.000 unit bisnis pada 2017. Kemudian, pada 2019 pihaknya menargetkan sertifikasi bisa mencapai 2.000 unit bisnis.

 

Pulau-pulau Kecil

Berkaitan dengan keberadaan pulau-pulau kecil yang akan dikembangkan oleh KKP mulai 2017 ini, menurut Arief Yahya itu adalah rencana yang bagus. Hal itu, karena dalam pariwisata bahari, keberadaan pulau-pulau kecil menjadi paket yang tak terpisahkan.

Dalam pandangan Arief, paket wisata  bahari yang sedang dijalankan sekarang, biasanya akan melibatkan wisata yang ada di pulau besar dan di pulau kecil. Untuk pulau besar, biasanya itu digunakan sebagai basis utama dan pulau kecil sebagai tujuan wisata.

“Jadi, wisata bahari tanpa pulau (kecil) itu tidak mungkin. Pemasukan paling besar itu, adalah di pulau besar. Namun, jika pulau kecil tidak dimasukkan, wisatawan juga akan mempertanyakannya,” tandas dia.

 

Penyelam diving di perairan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam kesempatan sama menjelaskan, keberadan pulau-pulau kecil memang harus bisa bermanfaat untuk jangka pendek dan panjang. Namun, yang akan dilakukan sekarang adalah bagaimana menertibkan pulau-pulau kecil yang ada.

Arief Yahya menyebutkan, dengan adanya bantuan langsung dari masyarakat pesisir, pengembangan pariwisata bahari bisa lebh bagus lagi seperti yang terjadi di Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Komodo (Nusa Tenggara Timur), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara).

Khusus untuk wisata bahari dengan minat khusus, Arief menyebut, kawasan Indonesia Timur menjadi kawasan yang paling disukai para wisatawan. Hampir 60 persen wisata bahari minat khusus di Indonesia itu berasal dari Indonesia Timur yang diisi oleh Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Nusata Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk wisata bahari, Susi berkomentar bahwa itu juga bagus. Hanya saja, hingga saat ini, komunitas masyarakat pesisir itu harus mendapatkan sentuhan lagi agar mereka paham dan sadar terhadap wisata bahari.

“Kita memang setuju jika nelayan diberdayakan. Tapi, silakan Kemenpar yang beri pelatihan. Fasilitas sudah ada seperti pelabuhan dan pasar ikan. Untuk jadi wisata bahari, tentu saja itu harus dikelola lebih bagus lagi,” ungkap dia.

“Kita juga tak mau produk perikanan dan kelautan ini hanya melakukan produksi dan perdagangan saja. Makanya, kita arahkan juga ke industri pengolahan, kita juga akan minimalkan ekspor raw material. Itu semua, untuk memberi nilai tambah dan kesejahteraan untuk nelayan,” papar dia.

Susi menjelaskan, karena masyarakat pesisir dalam kesehariannya memiliki aktivitas rutin, maka diharapkan itu tidak akan terganggu saat wisata bahari dikembangkan di pesisir. Justru, dengan cara seperti itu, maka wisata bahari bisa bergandengan dengan aktivitas bahari yang dilakukan masyarakat pesisir.

“Seperti di Pangandaran, jika hari biasa, para nelayan menggunakan perahu untuk mencari ikan. Namun, saat hari libur atau akhir pekan, mereka akan menggunakan perahu untuk mengangkut wisatawan. Jadi menguntungkan itu,” ungkap dia.

 

Target Devisa 53 triliun

Sebagai wisata yang sedang naik daun, Ariefyahya menyebut, Pemerintah menargetkan ada peningkatan devisa dari sektor tersebut. Untuk 2019, devisa ditargetkan bisa mencapai Rp53,3 triliun atau meningkat empat kali lipat dari devisa yang disumbangkan sektor tersebut pada tahun ini.

“Saat ini, devisa dari wisata bahari baru mencapai Rp13,3 triliun atau sekitar USD1 miliar. Diharapkan dengan kerja sama ini bisa menaikkan devisa pada 2019 mendatang,” ucap dia.

 

Wisata hutan bakau menjadi salah satu paket wisata di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Nusa Lembongan merupakan salah satu destinasi wisata di selatan Pulau Bali. Foto : Jay Fajar

 

Untuk bisa mewujudkan target tersebut, Arief menyebut, akan ada kurikulum khusus yang diterapkan di sekolah-sekolah yang dikelola KKP sekarang. Dengan intervensi langsung ke lembaga pendidikan, dia berharap kesulitan mendapatkan pemandu wisata bahari yang bagus bisa terpecahkan.

“Selain itu, perlu dilakukan inkubasi dengan lembaga Badan Ekonomi Kreatif yang dinilai bisa mengembangkan inovasi dan kreativitas wisata bahari. Dengan cara tersebut, target 4 juta kunjungan wisman bahari pada 2019 bisa tercapai,” tandas dia.

Diketahui, pada 2017, sektor pariwisata ditargetkan bisa memberikan devisa untuk Negara hingga 13 persen atau mencapai Rp200 triliun. Kemudian, penyerapan tenaga kerja sebanyak 12 juta, jumlah kunjungan wisman 15 juta dan pergerakan wisnus 265 juta serta indek daya saing (WEF) berada di ranking 40, dari posisi saat ini di ranking 50 dunia.

Kemudian, pada 2019, wisata bahari harus bisa memberikan devisa hingga 8 persen atau sekitarRp240 triliun. Kemudian, menciptakan 13 juta lapangan kerja, meraih 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan 275 juta pergerakan wisatawan nusantara (wisnus) di Tanah Air serta indeks daya saing pariwisata Indonesia berada di ranking 30 dunia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,