Edopop, Seniman yang Peduli Lingkungan dan Kaum Perempuan

 

 

Edopop merupakan pelukis Indonesia yang peduli akan lingkungan dan kaum perempuan. Ditemui di kediamannya, Gunungsempuh, Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, akhir Januari 2017, ia bercerita tentang cinta kasih perempuan. Menurut Edopop, kaum hawa tidak hanya mencintai dirinya sendiri, tetapi juga keluarga, lingkungan, dan bumi.

Pelukis yang sejak 1996 melakukan pameran di Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya hingga luar negeri, Denmark dan Singapura, ini dikenal sebagai sosok yang menyuarakan ketertindasan kaum perempuan di Indonesia. Khususnya, budaya patriarki.

Menurut Edo, jika ingin bumi terjaga, sosok perempuan harus dimuliakan. “Makanya kita mengenal ibu bumi (Mother Earth), bukan bapak bumi. Sebab, perempuan lebih memiliki karakter kasih sayang terhadap alam dibandingkan lelaki. Jika kekerasan terhadap perempuan minim, itu tandanya bumi terjaga,” ujarnya.

 

Manejemen Tenggangrasa (2017), berukuran 100 x 75 cm, akrilik di atas kanvas. Sejajarlah perempuan dan laki-laki. Foto: Edopop

 

“Perempuan itu, kasih sayangnya terhadap alam melebihi laki-laki. Cobalah lihat di rumah, perempuan yang dominan merawat tanaman atau menata lingkungan. Meski tidak semuanya seperti itu, karena ada juga lelaki yang peduli alam,” paparnya.

Menurut Edopop, tokoh perempuan di Sumatera Selatan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup pernah hadir di masa Kerajaan Palembang. Perempuan yang bernama Ratu Sinuhun itu, melahirkan kitab Simbur Cahaya, kitab adat masyarakat Sumatera Selatan saat itu.  Dalam kitab, diatur jelas mengenai tata ruang dusun dan cara berladang yang arif terhadap lingkungan.

 

Menyadap karet yang merupakan pekerjaan laki-laki bisa juga dilakukan kaum perempuan. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Dekat alam

Edopop dengan nama asli Eduard, lahir di Dusun Sriguna, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, 21 Agustus 1972. Masa kecilnya dipenuhi kecerian dusun dengan kasih sayang seorang ibu, Saedah. Bungsu dari lima bersaudara ini menjadi yatim sejak kecil. Bapaknya, Syakroni, meninggal dunia saat usia Edo 7 tahun.

Ada dua wilayah main Edo semasa kecil. Di dusun, di sungai -rumah panggung orangtuanya di tepi Sungai Komering – ia bermain perahu, menangkap ikan, dan berenang. Serta, bermain di kebun atau hutan, untuk menikmati buahan seperti pisang, rambutan, duku, durian, atau manggis. Selama di kebun, Edo senang mencari biji karet untuk dipedek -dua biji karet diadu dengan cara dirapatkan kemudian dipukul dengan telapak tangan. Biji yang hancur yang kalah.

Warna-warna dari lingkungan dusunnya, baik dari tanaman, buahan, perahu, dan rumah, dalam ingatan Edo seperti hijau, coklat, merah manggis, kuning, ungu, yang akhirnya mewarnai setiap lukisannya.

 

Durian, buah yang begitu digandrungi masyarakat Indonesia. Sumber: Wikipedia

 

Perempuan, bagi Edo bukan hanya sebagai manusia yang melahirkan dan merawat. Perempuan juga sebagai guru dan pemimpin. Sosok perempuan pemimpin dilihat Edo dari ibunya. Selain hidup single parent, ibunya yang merupakan anak tertua dari lima bersaudara, juga mengurusi adik-adiknya, yang sebagian besar laki-laki. “Bukan hanya sebagai sosok tempat mengadu, juga mengatasi berbagai persoalan keluarga. Keluarga besar kami sangat kehilangan almarhum sejak dia berpulang (meninggal dunia) beberapa tahun lalu,” kata Edo.

Sosok perempuan guru didapatkan Edo dari kakaknya yang bernama Artati, seorang guru. Sampai usia delapan tahun, Edo yang hidup di dusun tidak mau sekolah. Ibunya menitip Edo ke kakaknya yang saat itu menjadi guru honorer di Pagaralam. Dia pun akhirnya mau menuntut ilmu.

 

Melon, buah beragam manfaat untuk kesehatan tubuh. Foto: Rahmadi Rahmad

 

Kebiasaan kakaknya membaca buku membuat Edo juga gemar membaca. Dia terus dididik hingga menyelesaikan sekolah di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) di Palembang. Bukan hanya ilmu pengetahuan yang diterima Edo, cara beretika juga ia pelajari.

“Sampai sekarang saya tidak terima jika perempuan mengalami kekerasan. Saya juga bersedih  jika ada sosok perempuan yang “menghina” dirinya sendiri, padahal perempuan memiliki energi cinta tak bertepi,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,