Cerita Kelam dari Seko Kala Mereka Menolak PLTA

 

 

Kala mengunjungi Seko, Juli 2016, saya menyaksikan warga berdiskusi di rumah panggung. Mereka bicara bergantian soal tanah adat, lahan pertanian. Kebun dan sungai. Mereka khawatir, bila kelak di Batang Sungai Betue, ada pembangkit listrik tenaga air (PLTA), akses terbuka. Jalan bagus, pelan-pelan tambang akan masuk ke tanah mereka.

“Kita tahu semua orang membutuhkan listrik. Tapi benarkah listrik di Seko untuk kebutuhan warga?” kata Andri Karyo, warga Seko.

“Kalau pemerintah benar-benar ingin mengadakan listrik warga, mikrohidro bisa.”

Bukan tanpa sebab warga beranggapan demikian, PLTA yang akan dibangun di Batang Sungai Betue–tahap survei lokasi sejak 2014– oleh PT Seko Power Prima, akan menghasilkan 480 MW. Kekuatan daya listrik itu, kelak ditandem dengan PT Seko Power Prada di Batang Sungai Uro.

 

Baca juga: Buntut Menolak PLTA, Warga Adat Seko Mendekam di Balik Jeruji

 

Menilik data Dinas Petambangan Kabupaten Luwu Utara, wilayah Seko dikepung beberapa konsesi pertambangan. Antara lain PT Kalla Arebamma, masih pembahasan Analisis dampak lingkungan (Andal). Perusahaan penambangan bijih besi di Seko Padang ini luas konsesi 6.812 hektar.

Konsesi lain milik Citra Palu Mineral, berupa penambangan emas luas 36.382 hektar di Seko Padang dan Kecamatan Rampi.

 

***

Beberapa patok lokasi survei pipa, berada di tengah Kampung Longa. Warga resah. Beberapa kali protes. Suara warga terpecah, ada dua kubu, menerima dan menolak.

Pada Agustus 2015,  melalui Simpul Jaringan Aktivis Luwu Utara (Sijalu) aksi di DPRD kabupaten meminta percepatan pembangunan PLTA.

Oktober 2015, perusahaan yang dikawal sekitar 70 Brimob menuju Seko. Masyarakat menolak memblokade jalan masuk desa. Setahun berikutnya, pada Mei 2016, akses jalan kembali ditutup. Perusahaan tak dapat membawa peralatan menuju lokasi survei. Akhirnya, 17 Mei 2016, dua warga Seko ditangkap dan ditahan selama 20 jam.

Pada Oktober 2016, sebanyak 13 warga desa ditangkap. Dituduh merusak fasilitas perusahaan. Mereka ditangkap terpisah. Ada ditahan di Polsek, ada di Polres.

Belasan warga di sel. Pada 11 Januari 2017, sidang pertama mulai. Sidang lajutan kedua 18 Januari, saya mengunjungi mereka.

Sepekan sesudah sidang, pada 25 Januari, di Seko, tiga siswa SMA ditempeleng kelompok yang mengatasnamakan tokoh adat.

Pada 29 Januari, Wakil Bupati Luwu Utara Thahar Rum, bersama Kepala Polres Luwu Utara Dhafi, didampingi Tomakaka Seko Lemo Barnabas, Ketua DRPD Luwu Utaa Mahfud Yunus, Tahir Bethoni Anggota Dewan Luwu Utara, Esra Kepala Desa Hoyane, Kepala Desa Tan Makaleang Topel, perwakilan PT Seko Power Prima Ginanjar, menyambangi Seko. Puluhan aparat kepolisian ikut bersama rombongan.

Pertemuan diadakan di lapangan Desa Pokapa’ang. Berduyun-duyun warga hadir. Di hadapan para pejabat pemerintahan itu, seorang ibu membacakan petisi penolakan PLTA. Tiba-tiba seorang polisi membentak, meminta kertas petisi, namun si ibu memasukkan ke baju.

Pada Rabu malam, (1/2/17), pesan masuk ke telepon saya. “Mt mlm saudara… keadaan msyarakat di Seko mulai hari ini, semakin merasa terancam, krn tindakan petugas keamanan yang semakin menekan masy. Hampir semua laki2 dewasa mengamankan diri ke hutan, krn diancam akn di tangkap pertugas kemanan. Tlg bantuan… Menghentikan tindakan kekerasan terhadap masyarakat Seko. Salam keadilan.”

Keesokan hari, Kamis 2 Februari, “Seko tengah sudah kosong pak, biar anak bayi juga sudah ikut diungsikan gara-gara petugas yang ada di Seko. Mereka betul-betul sudah tidak punya hati nurani. Hanya tinggal wanita, kurang lebih 30 orang yang tetap bertahan.”

Lewat telefon, Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriana mengatakan, kunjungan pejabat ke Seko karena Kapolres Luwu Utara pejabat baru.

Dia ingin mengenal wilayah dan mempelajari konflik antara masyarakat Seko dan Seko Power Prima. Mengenai, pengejaran warga hingga ke hutan, dia bilang informasi yang keliru.

“Adapun penangkapan, atau sebenarnya pemanggilan pada warga yang tak melapor saat perusakan Agustus itu (18 Agustus 2016),” katanya.

Selanjutnya 28 Desember 2016, aksi susulan digelar di Tana Makaleang. Masyarakat bersama perusahaan dan Polsek Limbong, dengar pendapat.

Pada 9 Januari 2017, Ani Sandi, warga Seko yang ikut aksi ditangkap polisi di Sabbang, dibawa ke Polres Masamba. “Inilah prosedur penangkapan yang aneh. Penangkapan dilakukan polisi, karena perusahaan (Seko Power Prima) membuat laporan polisi pagi hari di tanggal sama,” kata Syafriadi, pengacara dari warga Seko.

“Laporan itu pagi, pukul empat sore Ani Sandi ditangkap. Saat interogasi langsung jadi tersangka. Dia dituduh pengancaman. Ini tak masuk akal,” katanya.

Padahal, katanya, dalam aksi itu ada dialog. “Saya kira perusahaan mulai mengada-ngada. Ini sudah begitu syarat kepentingan korporasi. Jika melihat prosedur penangkapan ini, saya kira kemanan mulai tak netral.”

Pada aksi 28 Desember 2016, beberapa warga diberikan surat pemanggilan untuk mengahadap ke kepolisian Luwu Utara, mereka tak bersedia. Buntutnya, lima orang masuk daftar pencarian orang (DPO).

Saya berbicara dengan Ab, warga Seko yang hadir dalam pertemuan 29 Januari. Menurut dia, pertemuan berlangsung tenang. Ada sekitar 60 polisi. Warga menyampaikan aspirasi. “Saya yang membuat petisi aspirasi itu. Intinya ada dua, menolak PLTA dan meminta penjelasan mengapa ada pemukulan anak sekolah,” katanya.

“Polisi tak menerima. Ibu yang baca petisi dibentak, kertas mau diambil. Tapi dimasukkan ke dalam BH (bra-red).”

Sehari setelah itu, beberapa pejabat menuju Seko Padang lalu menuju Masamba pakai pesawat. Tak semua yang datang pulang, sekitar 40 polisi tinggal di Seko. Warga terteror. Warga laki-laki dewasa yang ikut aksi penolakan ditangkap.

Merekapun masuk hutan. Bersembunyi di pinggiran desa. “Ada informasi, lokasi kami sudah ketahuan. Sore hari,  kami jalan meninggalkan lokasi sembunyi, tanpa menggunakan senter. Petugas membuntuti kami didampingi Pak Topel (Kepala Desa Tana Makaleang).”

Ada tujuh orang akhirnya sampai Sulawesi Barat.  “Pertama kami ke Kampung Hoyane. Polisi mencari warga hingga ke hutan-hutan pinggir kampung,” katanya.

“Benarkah ada suara tembakan?”

“Benar. Kami mendengar itu. Maka kami nekat jalan ke menembus hutan hingga ke Mamuju, di Sulawesi Barat,”  katanya.

Kapolres Luwu Utara, Ajun Komisaris Besar Dhafi, Jumat (10/2/17), mengatakan, sosialisasi di Pokapa’ang murni membangun komunikasi dengan masyarakat. “Awalnya, tak ada niat penangkapan. Karena informasi dari intel kami bilang ada provokator bernama Idris Abdullah, orang luar, saya perintahkan mencari,” katanya.

Selama pertemuan, katanya,  masyarakat diberi pemahaman pentingnya membangun daerah. “Hadir kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Laki-laki yang hadir kurang. Dari situ saya yakin, ada provokator yang menggerakkan.”

Ketika anggota kepolisian mencari Idris, ternyata sudah bersembunyi. “Laki-laki dewasa sudah bersembunyi. Saya dapat informasi dari orang inilah (Idris Abdullah) menyebarkan cerita kalau semua masyarakat menolak PLTA akan ditangkap. Itu kan tidak benar. Saya juga bingung, kenapa pemberitaan jadi kebolak balik?”

Di Seko, katanya, dia menyampaikan kepada masyarakat dari aspek hukum, kepolisian akan bersama masyarakat. “Kalau perusahaan melakukan tindakan di luar kerangka hukum, kepolisian akan jadi garda terdepan.”

“Bayangkan, dari tuturan masyarakat, saya mendapat kabar kalau si orang ini (Idris) membawa lari uang Rp153 juta.”

Kepolisian bekerjasama dengan Koramil menempatkan anggota di Seko untuk memberikan keamanan bagi warga dan investor.

Saat ini, katanya, ada 15 anggota polisi dan lima Koramil bersiaga di Seko. “PLTA kan program nasional. Tentulah kita akan kawal. Utama kita ingin memberikan kenyamanan pada warga. Itu salah satu permintaan warga juga agar tak ada orang lain atau semacam provokator mendatangi warga,” katanya.

Saya menghubungi Si, warga Tana Makaleang, warga yang lari ke hutan. Menurut dia, uang Rp153 juta itu tak ada.

“Tidak mungkin. Pasti omong kosong. Bagaimana mungkin, saya selalu bersama Idris. Kami warga tak pernah menyumbang uang,” katanya.

Di Seko, warga penolak PLTA bikin wadah Gerakan Masyarakat Adat Seko Salombengang (Gemas) yang merangkul masyarakat PLTA dalam lingkup adat Pohoneang.

Dari lembaga ini, masyarakat menyumbang dengan ikhlas untuk mengangkat kuasa hukum. “Sampai sekarang, kami belum membicarakan berapa honor pengacara. Kami hanya memberi uang transportasi untuk keperluan sidang. Tak lebih,” kata Desmawati warga Seko lain.

Idris Abdullah adalah salah satu tim pengacara warga yang terlibat di Seko dalam memberi pemahaman hukum tentang alur sengketa dan alur persidangan.

“Dia tim kami. Jadi saya meminta untuk ke Seko, bersama masyarakat. Bukan jadi provokator. Intinya,  seperti sekolah lapangan, bagaimana warga mengerti aturan hukum. Bahwa persidangan misal, butuh proses lama,” kata Syafriadi, pengacara warga.

 

Suasana pertemuan keluarga dengan warga Seko yang ditahan buntut berkonflik dengan PT Seko Power Prima. Mereka hanya berusaha mempertahankan tempat hidup, wilayah adat mereka. Foto: Eko Rusdianto

 

Langgar tata ruang dan izin daluarsa?

Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Luwu Utara 2011-2031, Pasal 13 tentang sistem jaringan energi. Poi 2 ayat b menyatakan, PLTA Rongkong di Sabbang, PLTA Baliase, PLTA Patikala di Masamba dan PLTA Kanjiro di Kecamatan Sukamaju. Ayat e, pembangkit listrik geotermal (panas bumi) di Kecamatan Sabbang, Limbong, Rampi, Seko dan Masamba.

Dalam perda itu tak menyebutkan, PLTA di Seko. Dalam perda disebutkan, bagi pelanggar tata ruang bisa kena sanksi. Bagi yang tak menaati rencana tata ruang mengakibatkan perubahan fungsi ruang adalah penjara paling lama tiga tahun dan denda Rp500 juta. Kala mengakibatkan kerugian harta benda atau kerusakan barang, pidana paling lama delapan tahun, denda maksimal Rp1,5 miliar. Jika mengakibatkan kematian, kurungan paling lama 15 tahun dan denda Rp5 miliar.

Aturan tertera jelas. Fakta lapangan berbeda jauh. “Tak ada rencana PLTA akan dibangun di Seko. Yang ada geotermal. Pemerintah memilih kampung kami. Jika kami meminta kejalasan, dianggap melawan hukum,” kata Andri.

Fakta persidangan menyatakan izin prinsip Seko Power Prima berakhir 23 Juni 2015, belum ada perpanjangan. “Jadi perusahaan hanya memiliki izin survei. Padahal payung hukum izin prinsip. Saya mau bilang, menilik aturan, maka pembangunan PLTA di Seko ilegal,” kata Syafriadi.

Bupati Indah mengatakan, izin pembangunan PLTA Seko Power Prima sudah ada sebelum masa kepemimpinnya. Indah bupati terpilih Luwu Utara 17 Februari 2016 sampai lima tahun mendatang.

Dia juga petahana periode 2010-2015,  sebagai Wakil Bupati. “Setahu saya izin sejak 2013. Saya belum pernah liat, apakah sudah perpanjangan atau tidak. Nanti itu teknis ya. Sekarang masih tahapan survei,” katanya.

Pembangunan itu, katanya, paling utama harus bermanfaat bagi masyarakat setempat. “Soal ada masyarakat menerima dan menolak, itu hal wajar. Terlepas sebarapa besar menerima dan menolak, itu soal lain.”

Soal Perda RTRW, dia bilang tak mungkin menyebutkan Seko bukan untuk PLTA. Pemerintah,  tak akan membangun jika tak sesuai rancangan tata kelola ruang dan wilayah.

“Setahu saya, geotermal itu di Kanandede–sekarang Kecamatan Limbong–dan Seko potensi PLTA. Apa benar? Itu Perda dari kami?” katanya.

Saya mendapatkan Perda RTRW Kabupaten Luwu Utara dari Aliansi Seko Menggugat, jaringan lembaga peduli Seko. “Kecuali jika perda sudah revisi. Memang ada evaluasi. Itu Perda RTRW asli,” kata Nasrum, dari Kontras.

Revisi Perda RTRW Luwu Utara masih tahap penyesuaian. “Kita ada rencana evaluasi RTRW, usulannya sejak 2014. Kebetulan RTRW penyesuaian masih menunggu di provinsi,” ucap Indah.

“Nah, artinya itu menjawab dong. Jadi belum ada evaluasi,” kata Nasrum.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,