Nenek Fatma (67) tertatih-tatih menuruni jalan agak licin.Dengan sepotong kayu kering kurang lebih satu meter, dia jadikan tongkat, kuda- kuda agar tak sampai terpeleset.
Sabtu (7/1/17), nenek Fatma turun dari Kampung Talaga ke Kelurahan Maftutu dan ke pasar untuk berbelanja. Dia diantar tiga cucunya sampai kilometer II menuju Maftutu.
Tiga cucu mengantar hingga dekat ke kelurahan itu untuk memastikan nenek aman. Meskipun jalan sangat sulit, menurun dan hancur, nenek Fatma tak patah semangat.
Dia turun pagi, sore naik lagi melalui jalan tanah yang dibuka sekitar 2010. Jalan ini satu- satunya akses mereka setiap hari. Kondisi jalan, merupakan gambaran kehidupan warga Kampung Talaga. Akses jalan mereka sangat sulit.
Apa yang membuat warga Kampung Talaga bertahan? Mereka bertahan turun temurun karena memiliki kebun cengkih dan pala sebagai andalan.
“Orang tua kami, sampai anak-anaknya yang sudah berkeluarga memilih bertahan hidup di kampung ini karena ada lahan pertanian untuk berkebun menanam pala dan cengkih serta sayur mayur untuk dijual ke Kota Tidore. Kalau kami turun (Tidore,red) jangankan lahan kebun, kapling rumah saja sulit kami punyai,” kata Madjid Abdullah, Ketua RT Talaga.
Itu alasan umum warga Lingkungan Talaga Tidore Timur yang berkampung dalam Kaldera Gunung Kie Matubu Tidore Kepulauan Maluku Utara ini.
Kampung ini terisolir, bahkan, nyaris ditutup pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, sebelum pemekaran 2000. Meski ada ancaman ditutup, warga bergeming.
Mereka bertahan di tengah kesulitan itu. Bagi mereka, pilihan paling bahagia berada di tempat jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota.
Sesuai namanya, kampung mungil ini terletak dalam cerukan raksasa dan berdekatan dengan sebuah telaga. Selama bertahun-tahun, Talaga jadi salah satu daerah penghasil utama pala dan cengkih serta pemasok sayur-mayur di Tidore.
Kampung Talaga memiliki sejarah cukup panjang. Warga yang mendiami kampung ini sebenarnya gabungan dari dua desa yang ditempatkan kesultanan ke Puncak Gunung Kie Matubu.
Mereka adalah warga Mareku dan Gamtufkange Pulau Tidore. Sebelumnya, disana ada nama Talaga Gamtufkange dan Talaga Mareku.
Untuk menjangkau Talaga, harus menjadi “pendaki.” Akses jalan masuk sampai Talaga cukup sulit. Saat ini, jalan beraspal baru sepanjang 1,6 kilometer dari Kelurahan Maftutu. Jalanan mendaki itu, sudah dibuka tujuh tahun lalu hanya belum beraspal hingga kini. Kondisi rusak karena terkikis air maupun longsor. Tersisa seperti jalan setapak yang setiap hari dilalui warga.
Untuk sampai ke Talaga, ada dua jalan. Melalui rute Kelurahan Rum, Kecamatan Tidore Utara, atau melalui Mafututu, Kecamatan Tidore Timur. Lewat rute Rum, jarak harus ditempuh sekitar tujuh kilometer, melalui jalan kebun penuh batuan. Kalau lewat Mafututu, hanya 3,5 kilometer. Saya memilih jalur Mafututu.

Meski hanya 3,5 kilometer, pendakian memakan waktu nyaris dua jam. Jalan dengan tanah terjal menanjak-menurun, amat merepotkan pendaki amatir seperti saya.
Beruntung, semilir angin sepanjang perjalanan sangat membantu. selama mendaki. Pemandangan pulau-pulau di sekitar Tidore juga terlihat menawan. Dari kejauhan, Ternate, Halmahera, Maitara, dan Hiri seakan berada di bawah saya.
Begitu tiba di tepi kaldera, perjalanan masih harus dilanjutkan menuju Kampung Talaga. Kaldera Talaga sudah lama mengering, menyisakan lahan nan subur. Sumber air di dalam cerukan raksasa itu adalah sebuah rawa yang dipenuhi tanaman sagu.
Tebing-tebing kaldera penuh kebun warga berisi durian, cengkih, pala, pinang, hingga sayur-mayur. Meski kebun-kebun itu terletak pada kontur bumi amat terjal, warga tampaknya begitu terbiasa.
Siang itu (7/1/17), bukan musim panen. Kampung begitu sepi, karena sebagian besar penduduk di kebun. Talaga hanya berpenduduk 32 keluarga dengan jiwa berkisar 160 orang.
Secara administratif, Talaga, masuk dalam RT/RW 10/03 Kelurahan Rum. ”Banyak warga kami sudah turun kampung. Sebagian masih punya kebun di sini, tapi tidak tinggal di sini lagi,” kata Madjid.
Turun kampung berarti meninggalkan Talaga dan berpindah ke kampung lain di pesisir Tidore. Fenomena ini, katanya, marak terjadi pada 1980-an.
Kala itu, pemerintah menutup satu-satunya sekolah dasar yang ada. ”Padahal dulu warga di sini mencapai 1.000 orang.”
Penutupan sekolah membuat sebagian besar warga memilih pergi. Bukan tanpa alasan pula pemerintah menutup sekolah. Menurut cerita, kala itu ada gerakan terstruktur dan masif merelokasi warga Talaga.
”Tapi orangtua kami tetap bertahan hingga kini, kami yang meneruskan,” kata suami Sarifa Salama itu.
Upaya penutupan membuat Talaga yang dulu ada dua kampong—Kampung Talaga Gamtufkange dan Talaga Mareku— kehilangan penduduk. Saat ini, hanya Talaga Mareku tersisa. ”Orang-orang Talaga Gamtufkange turun ke Lobi, Dowora,” ujar Madjid.
Mengapa Madjid dan penduduk lain memilih bertahan? Menurut ayah lima anak itu, pemerintah pernah “merayu” mereka pindah dengan iming-iming rumah. Madjid cs menolak lantaran Kaldera Talaga dipandang menyediakan lahan amat subur untuk berkebun.
”Kalau pindah, paling cuma punya rumah. Lahan kiri-kanan sudah milik orang lain. Di sini kami punya kebun yang sudah bisa menghidupi.”
Tak berlebihan jika lahan menjadi alasan bertahan. Tanah di kaldera amat subur. Tanaman tahunan semacam durian, pala, cengkih, pinang, kayu manis, dan sagu tumbuh subur di sana. Begitu pula sayur-mayur seperti tomat, cabai, pakis, dan sayur lilin.
”Di sini sayur paku (pakis,red) tumbuh sendiri. Kami tak pernah melarang ketika warga kampung lain datang dan mengambil banyak untuk dijual,” katanya.
Talaga juga gudang sayur lilin (Setaria palmifolia). Para petani Talaga amat senang bertanam sayur ini, karena harga tergolong mahal di pasaran.
Di rawa kaldera, hutan sagu masih terjaga subur. ”Sekarang sudah jarang bahalo (memangkur,red) sagu. Karena sudah ada beras,” kata Madjid terkekeh.
Belasan tahun lalu warga masih intens memangkur sagu sebagai makanan pokok. Beras, dianggap begitu mewah lantaran medan untuk membeli sangat berat, hanya dikonsumsi tiap Jumat.

Seiring akses jalan, meski kondisi masih memprihatinkan, terjadi pergeseran pangan. ”Kini makanan pokok utama kami beras. Tiap hari makan nasi,” katanya.
Dari hasil bumi inilah warga Talaga menyekolahkan anak-anak mereka. Sebagian eks warga Talaga yang turun gunung juga masih memiliki kebun dalam kaldera.
Pada musim panen, mereka kembali ke Talaga untuk memetik hasil. Pada waktu-waktu itu, kampung ramai. ”Mereka (eks warga,red) rata-rata rumah di Rum. Kalau musim panen, bangun rumah kebun di ujung kampung untuk tinggal sementara,” katanya.
Talaga kini telah memiliki SD dan pusat kesehatan. Aliran listrik sudah sampai ke situ sejak beberapa tahun lalu. Rumah-rumah warga rata-rata dari batubata.
Untuk membangun rumah perlu perjuangan berat. ”Angkat semen dari bawah (Mafututu,red) berat. Satu sak semen biasa kami curah lalu diangkat empat perempuan, atau tiga laki-laki,” kata Wahab Ibrahim, warga Talaga.
Dalam pengelolaan lahan atau kebun, warga Talaga punya lahan berdasarkan warisan maupun kebun yang baru dibuka.
Lahan-lahan itu sudah menjadi milik mereka. “Kawasan ini di luar hutan lindung Tagafura di Puncak Gunung Kie Matubi Tidore. Di sini berbeda dengan Kampung Kalaodi,” ujar Madjid.
Ada lahan kebun pala, cengkih maupun kebun bamboo, tanaman lain ikut menghiasi durian, kayu manis, pinang dan berbagai jenis tanaman lain.
Selain kebun perorangan, di kampung ini juga ada lahan milik bersama dikenal dengan kebun kampung. Kebun ini dua hektar ditanami pala dan cengkih.
”Lahan kebun milik bersama ini tanaman utama cengkih dan pala.”
Hasil kebun untuk pembangunan desa setempat. Ada beberapa infrastruktur desa ini, dibangun pakai uang hasil panen cengkih dan pala dari kebun kampong.
Impian warga memiliki jalan layak. Jalan bakal lebih memudahkan mereka mengangkut hasil panen ke pasar. ”Tentu saja kami butuh jalan. Tak berani minta (ke pemerintah,red). Kalau dikasih syukur, kalau belum ya tunggu.”
Ruas jalan bernama Tomadou Talaga ini, dibuka periode kedua kepemimpinan mantan Wali Kota Ahmad Mahifa sekitar 2010.
Jalan sepanjang 3.5 kilo meter itu, sempat dilalui truk dan kendaraan roda dua. Lambat laun rusak. Bahkan tak bisa dilalui karena longsor dan hancur terkikis air. Kini, jalan sudah jadi jalan kebun, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.
Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum M. Ade Soleman mengungkapkan, Jalan Tomadou-Talaga tahun kemarin ditingkatkan sekitar 1,600 meter jadi jalan hotmix, sisanya masih tanah.
Kini, pemerintah berharap ada dana pusat kucur untuk membangun jalan itu, Pemerintah Kota Tidore, katanya, kesulitan hingga harus membangun lagi bertahap menunggu dana pembantuan. “Dalam APBD 2017 belum dianggarkan.”

Gunung api purba
Gunung Kie Matubu Tidore adalah gunung api purba di Malut. Gunung setinggi 1.730 meter dpl itu, oleh warga Malut, disebut Gunung Air.
Deddy Arif, dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Malut menyebutkan, berdasarkan struktur batuan dan berbagai petunjuk alam, menunjukkan Gunung Kie Matubu Tidore adalah gunung api purba. Karena itu, peluang meletus selalu ada.
Dedy mencontohkan, Gunung Sinabung, yang tak meletus selama 300 tahun, akhirnya meletus. Gunung api purba ini, jika meletus sangat berbahaya karena tak berhenti. Berbeda dengan gunung api aktif, ada masa jeda.
Dia bilang, dari susunan batuan di beberapa tempat di Pulau Tidore, menunjukkan usia gunung ini antara 200-300 juta tahun. “Gunung Kie Matubu usia tersier. Secara geologi usia tersier 200-300 juta tahun lalu.”
Kampung Talaga, katanya, berada gunung api kwarter. “Satu kali letusan membentuk kuba lava baru. Itulah kwarter Kie Matubu yang kita lihat kini,” katanya. Untuk Goto Cobo hingga Tahua itu usia tersier Gunung Kie Matubu.
Berbiacara dari sisi dampak bencana, kampung di wilayah gunung api kwarter ini sangatl rawan. Pertama, berada pada cekungan gunung api. Resistensi batuan pasti tak stabil, walaupun pada beberapa titik stabil..
Dampak longsor juga tinggi apabila curah hujan tinggi karena konsolidasi batuan dengan tanah akan hancur.
Untuk kerawanan gunungapi, katanya, Kie Matubu sampai saat ini belum ada aktivitas. Jika suatu waktu gunung ini meletus pada titik kwarter, maka kampung ini rawan dan terisolasi. Untuk itu, harus ada antisipasi terutama dari pemerintah.
Menurut Dedy, Gunung Sinabung harus menjadi contoh untuk mencari cara. Ada tiga kampung di Gunung Sinabung, tak bisa ditempati.
Di Gunung Kie Matubu, kalau melihat bukti batuan vulkanik suksesi, peluang meletus sangat besar. Bahkan bisa lebih dahsyat dari Gunung Gamalama. “Bukti batuan di beberapa tempat menunjukkan erupsi pernah terjadi. Meskipun tidak tercatat kapan. Bukti vulkanis suksesinya sangat jelas,” katanya.
Dia bilang, di Cobo sampai Tahua sedimentasi sangat tebal. Di Kota Tidore juga ada lelehan batuan beku. Ini menunjukkan kalau letusan luar biasa. “Ini bukti secara geologi.”
Sejauh ini, katanya, riset mendalam untuk mempelajari Kie Matubu, belum ada, namun bukti-bukti geologi sudah mampu menggambarkan.
Apalagi, Kie Matubu sebagai gunung api ini pernah ditulis oleh Sutikno Bronto, salah satu peneliti Geologi. Dia menulis tentang morfologi gunung api Kie Matubu hubungannya dengan Pulau Maitara. Dalam tulisan Sutikno, Pulau Maitara tak terlepas dari aktivitas Gunung Api Kie Matubu.
Pemerintah, katanya, harus memberikan pemahaman tentang gunung api kepada masyarakat karena keberadaan mereka di lingkar gunung api.
“Mereka harus paham hingga ketika ada aktivitas gunung atau apapun mereka tidak panik. Tujuannya, masyarakat memahami gejala- gejala jika ada aktivitas vulkanik. Apalagi masyarakat tak pernah tahu dan belum pernah merasakan ada aktivitas tidak ada kewaspadaan.”
Dedy mengusulkan kepada pemerintah daerah, di Talaga Tidore perlu ada konsep geoturism. Geotourism ini, katanya, dikembangkan para ahli geologi di wilayah-wilayah terisoliasi dan warga susah dipindahkan.
Dengan begitu akses sulit ini perlahan-lahan berkembang dan ikut terbuka. Apalagi, masyarakat tak tahu mereka tinggal di gunung api.

