Sekitar 2.500 individu antelope Saiga mati mendadak di penghujung Januari 2017, disebabkan virus mematikan. Inilah pertama kalinya, wabah penyakit menular, membunuh ribuan Saiga di Mongolia dalam waktu singkat. Gejala kematian ini terdeteksi di Penghujung Desember 2016, ketika ditemukan bangkai Saiga di barat Provinsi Khovd, sebagaimana diberitakan The New York Times.
Antelop Saiga di Mongolia adalah spesies yang terancam punah. Populasi hewan yang mudah dikenali dari hidungnya ini, turun drastis dalam beberapa tahun terakhir, disebabkan penyakit. Kematian massal seperti ini, juga terjadi di Kazakhstan pada 2015, sekitar 120 ribu individu Saiga mati dalam waktu kurang dari dua minggu.
Hewa ini juga terancam karena perburuan dan hilangnya habitat. Mereka diburu untuk diambil tanduknya, yang digunakan sebagai bahan obat tradisional. Diperkirakan, 90% Saiga telah hilang dalam dekade terakhir ini.
Baca: Kematian Massal, 120.000 Saiga Mati Kurang dari Waktu Sebulan. Ada Apa?
Mongolia adalah habitat Saiga, dikenal sebagai Saiga tatarica mongolica. Hanya sekitar 10.000 individu yang menghuni Great Lakes Depression di Mongolia bagian barat, sehingga kematian 2.500 individu (25% populasi) ini adalah sesuatu yang mengkhawatirkan banyak pihak. Meskipun wabah penyakit itu sendiri dalam tren menurun, namun bisa jadi akan menyerang secara massal lagi di kemudian hari.
Penyebab dari epidemik baru ini adalah virus PPR atau “Peste des Petits Ruminants” yang menjangkiti hewan ternak. Didiagnosa pertama kali pada domba dan kambing pada September 2016, dan diyakini menjangkiti Saiga beberapa bulan kemudian.
“Ini adalah pertama kali wabah penyakit menular menyerang Saiga di Mongolia,” kata Amanda Fine dari Wildlife Conservation Society (WCS) Wildlife Health Program di Asia.
“Di masa lalu, pasteurellosis tercatat sebagai penyebab kematian beberapa Saiga, namun tak pernah terjadi dalam sebaran dan waktu yang begitu singkat dan begitu mematikan. Situasi sekarang ini sangat tragis dan mengkhawatirkan.”
Yang mengerikan lagi, kematian Saiga ini dipercaya akan memberi dampak bagi spesies lain. Macan tutul salju, yang memang sudah langka, akan terdampak langsung karena mangsanya berkurang.
Penyelamatan
Gugus Tugas sudah dibentuk untuk menghadapi kejadian ini, yang didukung oleh WCS. Mereka bekerja dengan mengumpulkan sampel Saiga yang mati, melakukan otopsi, dan mengevaluasi Saiga yang sakit. Tujuannya adalah, melihat kira-kira spesies lain apa saja yang akan terdampak dari kematian massal ini, dan juga utnuk mencari strategi terbaik untuk melindungi spesies tersebut dari wabah penyakit di masa datang, dan menyembuhkannya jika terjangkit.
Imunisasi ternak juga menjadi prioritas jangka panjang upaya pelestarian Saiga. Mongolian National Emergency Committee sudah bertekad untuk mengembalikan populasi Saiga, tapi kesulitan ekonomi di Mongolia akan membuat upaya ini cukup sulit berhasil. Mongolia berharap bantuan dari komunitas konservasi internasional untuk membatasi gerak wabah penyakit, dan menyelamatkan spesies yang sudah masuk dalam status terancam punah ini.
Saiga punya peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem padang rumput kering. Di musim dingin, untuk mencegah pembusukan tanaman utama, hidung antelop membantu memecah bahan organik, mendaur ulang nutrisi dalam ekosistem, dan mencegah kebakaran hutan yang dipicu oleh terlalu banyak tebaran daun di tanah. Hewan-hewan ini juga menjadi makanan untuk predator di padang rumput yang luas.
Pada musim semi, Saiga berpindah ke stepa-stepa dalam jumlah ribuan. Jarak tempuhnya bisa lebih dari 50 mil sehari dalam pengembaraannya itu, dan saat berlari kecepatannnya sekitar 40 mil per jam. (Berbagai sumber)