Gorontalo Sebagai Provinsi Konservasi, Apa yang Harus Dibenahi?

 

 

Senin pagi, 5 Desember 2016. Orang-orang mulai berkumpul di kantor yang berada di ketinggian. Tempat ini sering disebut puncak Botu. Di sinilah kantor DPRD Provinsi Gorontalo berada, pun letaknya tak begitu jauh dengan kantor gubernur. Hari itu digelar sidang Rapat Paripurna Istimewa dalam rangka ulang tahun Provinsi Gorontalo ke-16, pasca-memisahkan diri dengan Sulawesi Utara, tahun 2000 lalu.

Rapat itu kedatangan tamu istimewa. Ia adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Gorontalo memang punya kenangan tersendiri bagi Siti Nurbaya, karena saat Gorontalo pertama kali dideklarasikan sebagai provinsi, ia ikut menjadi saksi. Saat itu, ia menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri.

Siti Nurbaya didaulat memberikan sambutan. Kado spesial diucapkan Siti Nurbaya, yaitu menetapkan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi. Di Indonesia, sebelumnya hanya ada wilayah yang ditetapkan yaitu Provinsi Papua Barat dan Kalimantan Timur.

”Saya ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi. Pembangunan dan konservasi bisa berdampingan untuk keperluan generasi akan datang,” terangnya.

 

Baca: Ketika Daerah Deklarasi jadi Provinsi Konservasi dan Pembangunan Hijau

 

Dalam pernyataan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia, Siti Nurbaya memberikan beberapa catatan penting tentang. Menurutnya, Gorontalo adalah contoh sebuah negeri maritim dan agraris yang bertemu dalam satu ruang. Daerah ini juga menjadi rumah bagi jantung keanekaragaman hayati, serta menyimpan cadangan air tanah yang besar.

”Saya menyebutnya sebagai alam Wallace di punggung Sulawesi. Saya mengajak semua elemen agar mengaktualisasi rasa syukur akan kekayaan alam ini dengan cara menjaganya. Terutama, untuk bersama mendukung agenda pengendalian perubahan iklim, yang telah menjadi masalah global.”

Siti Nurbaya menegaskan perwujudan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi. Ada berapa areal konservasi di sini, seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohatu yang sedang diusulkan dinaikan statusnya menjadi taman nasional, Cagar Alam Panua, Cagar Alam Tanjung Panjang, Cagar Alam Mas Popaya Raja, serta Cagar Alam Tangale.

Dengan pendekatan konservasi guna menjaga kekayaan alam, Gorontalo diproyeksikan maju pada sektor pariwisata, energi dan pelestarian budaya. ”Kita songsong majunya pembangunan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi, dengan dukungan tata kelola pemerintahan daerah serta hubungan eksekutif dan legislatif. Semangat dan kepeloporan, akan menorehkan tinta emas di negeri ini, Indonesia yang kita cintai,” jelasnya.

 

Maleo. Foto: Akun Facebook Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Konservasi

Kamis siang, 2 Februari 2017. Rumah dinas Gubernur Gorontalo sangat ramai. Zudan Arif Fakrulloh, pelaksana tugas Gubernur Gorontalo, baru saja mendapat gelar adat Moloopu. Gelar ini bermakna bahwa Zudah telah diterima kepemimpinannya secara adat bagi masyarakat Gorontalo. Sebelumnya, Zudan menjabat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Karena Gorontalo sedang dalam proses pemilihan kepala daerah, maka pada 27 Oktober 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melantiknya sebagai pelaksana tugas Gubernur Gorontalo.

Saya menemui Zudan usai menerima gelar adat itu, menanyakan penetapan Gorontalo sebagai provinsi konservasi. Menurutnya, seminggu sebelumnya, ia sudah menghadap Siti Nurbaya Bakar, menindaklanjuti provinsi konservasi tersebut.

“Gorontalo sudah ditetapkan sebagai Provinsi Konservasi, 5 Desember 2016. Apa yang akan dikonservasi? Itu yang akan kita rumuskan nanti,” kata Zudan.

 

Baca juga: Begini, Target Kalimantan Timur Sebagai Provinsi Hijau

 

Menurut pengamatannya, ada empat titik penting yang harus dibenahi untuk dikonservasi, yaitu gunung, darat, laut, dan danau. Ia mencontohkan, bukit-bukit banyak pohonnya ditebang dan dibakar kemudian ditanami jagung. Begitu pun dengan danau yang semakin dangkal karena di hulunya sudah gundul hingga menyebabkan sedimentasi yang tinggi.

“Saya juga sampaikan ke Ibu Menteri akan membuat hutan raya yang di dalamnya ada kebun binatang, karena di seluruh Sulawesi tidak ada yang punya kebun binatang. Dulu sih ada, tapi tidak berkembang dengan baik.”

“Dan Ibu Menteri setuju. Sekarang sedang dibahas dengan Tim Teknis Provinsi dan Tim Teknis di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ungkap Zudan.

Pada 7 Februari 2017, Zudan memberikan sambutannya saat digelar acara “Konsultasi dan sosialisasi kebijakan adaptasi dan perubahan iklim Kabupaten Gorontalo”. Di acara tersebut, ia menyentil Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi.

Menurutnya, ada lima arah pembangunan yang harus dilakukan; review tata ruang berbasis konservasi untuk mereduksi potensi bencana, formulasi program pemantapan fungsi konservasi di kawasan konservasi, formulasi dan introduksi program pertanian berbasis konservasi di kawasan pertanian yang rentan degradasi lahan, dan peningkatan kelembagaan dan pemantapan peran KPH dalam pengelolaan hutan (hutan produksi dan hutan lindung) skala tapak.

“Yang terakhir adalah sinkronisasi program pusat dan daerah dalam pemantapan fungsi konservasi di kawasan konservasi dan peningkatan fungsi konservasi di kawasan non-konservasi.”

Bagaimana dengan ekspansi perkebunan sawit dan tambang yang kini masuk Gorontalo? Menurut Zudan, ia tidak bisa mengatakan hal ini tidak layak. Karena dulu saat memberikan izin, sudah ada pertimbangan dan kajian. Yang penting adalah lingkungannya tidak rusak karena pihaknya mempertimbangkan, percepatan ekonomi harus ada investor yang masuk.

“Namun investasinya harus pro lingkungan. Kalau sawit masih kita toleransi. Tapi tambang, kita harus lihat dulu, harus melakukan rekonstruksi lingkungan, dan diupayakan lingkungannya itu kembali seperti semula.”

“Ini memang tidak mudah. Kalau investasi tidak masuk, kita akan begini-begini terus. APBD kita sangat kecil. Namun, investornya harus peduli lingkungan,” kata Zudan.

 

Anoa dataran rendah. Foto: akun Facebook Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Mendadak

Penetapan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi membuat kaget sejumlah pihak. Rahman Dako, pegiat lingkungan di Gorontalo mengaku dasar penetapan tersebut tidak ada. “Ibu Menteri tiba-tiba bicara di atas mimbar, langsung menetapkan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi.”

Menurut Rahman, ide tersebut sangat baik karena lingkungan hidup di Gorontalo sungguh memprihatinkan. Namun, yang dikhawatirkan adalah ketidaksiapan berbagai pihak akan status tersebut. “Buktinya, sampai hari ini Gorontalo belum ada Balai KSDA sendiri, masih di bawah Sulawesi Utara.”

Syamsudin Hadju, Kepala BKSDA Seksi Wilayah II Sulawesi Utara di Gorontalo, mengungkapkan hal yang sama. Saat ditemui di kantornya, awalnya Syamsudin enggan memberi komentar, menurutnya tidak ada data, informasi, dan kajian yang jelas mengenai penetapan kawasan konservasi. Namun karena sudah telanjur dikukuhkan, yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan informasi valid. Misalkan tentang kondisi kawasan hutan; apa permasalahannya, apa yang akan diperbuat, program yang harus dilakukan, dan kelompok kerja.

Menurut Syamsudin, ketika Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan datang ke Gorontalo, 5 Desember 2016, ia baru mengetahui penetapan tersebut keesokan harinya ketika membaca koran. Padahal, ia ikut mendampingi Siti Nurbaya sejak pertama kali datang, namun tidak berada di kantor DPRD Provinsi ketika sang menteri memberikan sambutan dan menetapkan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi.

“Berbeda dengan penetapan Papua Barat dan Kalimantan Timur yang kajiannya jelas. Apa yang menjadi latar penetapan Provinsi Konservasi itu yang perlu. Misalkan, bagaimana sih Cagar Alam Tanjung Panjang, bagaimana Cagar Alam Panua, dan sebagainya.”

Penetapan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi bisa jadi karena dua hal. Pertama, dianggap berprestasi menjaga kawasan konservasi. Misalkan, Suaka Margasatwa Nantu yang merupakan wilayah konservasi paling kecil tekanannya di seluruh Indonesia. Kedua, bisa saja penetapan berangkat dari keterpurukan sehingga ada upaya-upaya pelestarian. “Nah, ini yang harus dilihat, harus ada data, informasi, dan kajian penetapan Provinsi Konservasi.”

 

Babirusa di Suaka Margasatwa Nantu, yang relatif terjaga keberadaannya karena pengawasan dan patroli yang cukup ketat. Foto: Rosyid A Azhar

 

Perusakan wilayah konservasi

Data Dinas Kehutanan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Gorontalo menyebutkan, laju deforestrasi di Gorontalo sebesar 3.976,3 hektare per tahun rata-rata di seluruh kawasan hutan.

Dinas Kehutanan menyebut, ada empat alasan penyebabnya, yaitu tekanan penduduk, perambahan atau perladangan berpindah (illegal logging), penambang emas tanpa izin (peti), dan kebijakan yang kurang tepat.

Terkait kebijakan, Perkumpulan Japesda Gorontalo menyebut awal mula pelepasan kawasan hutan di wilayah yang menyebut diri sebagai Serambi Medinah itu adalah, melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tanggal 25 Mei 2010. Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan saat itu, yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR, menerbitkan surat keputusan bernomor 324/Menhut-II/2010 yang mengesahkan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 22.605 hektare di Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten Boalemo. Sebagian hutan yang dialihfungsikan itu berada di wilayah konservasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

Sementara, beberapa kasus alih fungsi di kawasan konservasi juga tak kunjung selesai. Salah satunya adalah Cagar Alam Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato. Luas kawasan konservasi ini 3.174,10 hektare. Namun, lebih dari 2.600 hektare dari total luasannya, dirambah dan dikuasai kemudian beralih fungsi menjadi tambak udang dan ikan bandeng.

 

Kondisi kawasan konservasi di Cagar Alam Tanjung Panjang, Kabupaten Pohuwato. Foto: Christopel Paino

 

Laporan Kajian Kelayakan Pemulihan Ekosistem di Cagar Alam Tanjung Panjang yang disusun BKSDA Sulawesi Utara tahun 2013 menyebutkan, ekspansi jual beli lahan tambak di kawasan konservasi ini berlangsung intensif dan melibatkan beberapa aktor lokal, termasuk jaringan etnis “Selatan” dan aparat setempat. Selatan yang dimaksud adalah petani tambak yang berasal dari Sulawesi Selatan. Ada relasi ekonomi yang sangat lokal dan sifatnya mutualistik.

Awal September 2015 silam, saya mendatangi Desa Babalonge, Kecamatan Lemito, Kabupaten Pohuwato. Di pinggir jalan tampak jelas plang yang berisi pelarangan membuka lahan mangrove beserta sanksi dan ancaman hukuman penjara. Di belakang plang tersebut, terdapat tambak ikan bandeng dan udang, serta sebuah rumah yang lebih mirip pondok. Pemiliknya bernama Daeng Sire, asal Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

“Saya datang membuka tambak karena jasa salah seorang anggota polisi di Polres Pohuwato. Saya beli lima hektar seharga Rp 100 juta. Saya baru satu kali panen, tapi belum balik modal. Dan saya tidak tahu kalau kawasan ini dilindungi,” kata Daeng Sire.

Menurut catatan BKSDA Sulawesi Utara, hampir semua lokasi tambak awalnya di bawah kekuasaan perorangan atau kelompok, di beberapa desa di kawasan konservasi. Tapi kemudian dijual atau disewakan kepada pendatang melalui tangan-tangan penghubung.

“Jelas bahwa isu ganti rugi akan menjadi urusan yang sangat krusial dan menantang, baik dalam proses negosiasi, validasi data, maupun kalkulasi jangka pendeknya,” tulis BKSDA Sulawesi Utara, dalam laporannya.

Ragam persoalan dan tekanan yang dihadapi wilayah berstatus konservasi di Gorontalo tersebut diharapkan menjadi latar belakang penetapan Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi. Dengan demikian, berbagai masalah krusial itu bisa diselesaikan.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,