Pemilik Ulayat Pertanyakan Kejelasan Perjanjian Bagi Hasil Pelabuhan Depapre (Bagian 2)

 

 

Absalom Soumilena, warga Kampung Tablanusu, Kabupaten Jayapura, punya lahan yang jadi lokasi pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre. Pelabuhan ini total memerlukan lahan 74,3 hektar.

Kala kesepakatan pelepasan lahan buat Pelabuhan Depapre, warga bersedia harga Rp50.000 per meter persegi karena ada perjanjian bagi hasil.

“Kita mau turunkan harga tanah jadi Rp50.000 per m2 karena ada perjanjian 10% penghasilan pelabuhan untuk masyarakat pemilik ulayat. Sekarang sudah delapan tahun sejak perjanjian dibuat, belum ada kekuatan hukum dibuat pemerintah untuk menjamin itu,” katanya.

 

Baca juga: Kala Pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Depapre Dimulai (Bagian 1)

 

Pelabuhan ini terletak di Kampung Waiya,  Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Saat pemerintah menyosialisasikan rencana pembangunan ini  pada 2006, Bupati Jayapura adalah Habel Melkias Suwae. Dia berasal dari Kampung Tablanusu.

“Pemerintah bilang mau bangun pelabuhan, yah kita terima. Kita pikir, kita juga ingin kemajuan,” katanya.

Sosialisasi tentang pembangunan disusul dengan pemetaan hak ulayat di lokasi. Pemetaan ini adalah pemetaan partisipatif.

“Pertemuan berulang-ulang. Saya tidak bisa menghitungnya. Dari Maribu juga saya undang, semua saya undang,” kata Jacob Suwae, mantan Kepala Distrik Depapre yang dari awal memfasilitas pertemuan-pertemuan masyarakat untuk pembangunan pelabuhan ini. Pertemuan-pertemuan dilakukan hingga jelas siapa pemilik ulayat.

Pemetaan hak ulayat dilakukan sebelum ada pelepasan dari masyarakat kepada pemerintah atau investor. Pemetaan ini untuk menyelidiki siapa sesungguhnya pemilik hak ulayat.

Menurut Ones Rumsara, Dosen Antropologi Universitas Cenderwasih yang juga bekerja untuk Pusat Studi Masyarakat dan Kebudayaan Papua Universitas Cenderwasih,  sudut pandang kepemilikan tanah di Papua,  ada macam-macam.

Ada tanah yang dipercaya merupakan tempat asal nenek moyang, tanah tempat tinggal, tanah hasil perang, tanah hasil pembayaran mas kawin dan lain-lain. Lewat proses pemetaan partisipatif ini, bisa diketahui siapa sesungguhnya pemilik tanah itu.

“Kalau tidak nanti sudah bayar ke pihak yang satu, datang lagi pihak yang lain dan mengklaim ini tanah mereka” katanya.

Pemetaan hak ulayat penting untuk mengetahui batas-batas wilayah karena secara umum peta hak ulayat masih berupa peta abstrak hanya dibatasi tanda-tanda  alam seperti pohon, sungai dan lain-lain. Pemetaan hak ulayat ini dilakukan pertama sebelum Amdal.

Untuk pelabuhan, Perkumpulan Terbatas untuk Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (PTPPMA) ikut memfasilitasi pemetaan itu tahun 2007. Paul Katamap dari PTPPMA, saat itu pemetaan hanya hanya di wilayah laut yang tertimbun (reklamasi).

“Waktu itu kita mau pemetaan seluruh wilayah teluk, karena ada konflik hak disitu, jadi pemetaan hanya di tempat reklamasi.”

Dari hasil pemetaan, tiga marga pemilik hak ulayat di lokasi reklamasi adalah  Soumilena, Tenggeritow dan Yarisetow. Dalam perjanjian pelepasan, masyarakat pemilik hak ulayat bersedia menyerahkan lahan dengan harga Rp50.000 per meter persegi dan 10% penghasilan pelabuhan untuk mereka.

Poin perjanjian itu ditulis dalam berita acara pelepasan tanah yang ditandatangani Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae pada 10 Oktober 2008.

 

 

Wilayah ulayat laut yang sudah jadi daratan alias sudah reklamasi. Foto: Asrida Elisabeth

 

Total wilayah laut yang dilepaskan hingga 2013 adalah 24,8 hektar. Dalam kesepakatan, proses pembayaran dengan menimbun lokasi terlebih dahulu, lalu diukur, kemudian pembayaran kepada masyarakat adat sesuai luas wilayah masing-masing. Pembayaran beberapa tahap, pada 2008, 2010, 2011 dan 2013.

Pada pembayaran 2013, pemerintah tak hanya membayar wilayah yang sudah direklamasi juga wilayah laut kepada satu dari tiga marga pemilik ulayat. Kondisi ini menimbulkan protes dari marga lain karena merasa pemerintah bekerja di luar kesepakatan.

Perjanjian 10% penghasilan pelabuhan untuk masyarakat pemilik ulayat juga belum ada aturan hukum tetap. Ada kekhawatiran masyarakat, perjanjian itu tak akan dipenuhi pemerintah, apalagi pejabat di Pemerintahan Jayapura terus berganti.

“Nanti kalau belum ada peraturan, pemerintah yang berikutnya akan tanya lagi dengan masyarakat, dulu kamu bikin perjanjian itu dengan siapa?” Kami meminta pemerintah segera menetapkan aturan tetap mengenai itu.”

Kepala Bappeda Kabupaten Jayapura, Hana Hikoyabi mengatakan, saat ini pemerintah fokus pada pembangunan fisik. Hak masyarakat adat, katanya,  terus diperjuangkan pemerintah salah satu lewat perusahaan daerah milik Kabupaten Jayapura. BUMD ini akan ikut mengelola pelabuhan.

“Kita tak mau seperti di Pelabuhan Jayapura yang semua diambil alih oleh Pelindo. masyarakat pemilik hak ulayat hanya menjadi penonton.”

Di luar persoalan antara pemerintah dengan masyarakat pemilik hak ulayat yang sudah melepaskan tanah untuk pembangunan pelabuhan, Paul dari PTPPMA menyarankan perlu ada pemetaan keseluruhan lokasi pembangunan, termasuk alur keluar dan masuk kapal.

Pemetaan paritisipatif  pada 2007, hanya mencakup kawasan reklamasi. Dampak kepada masyarakat di luar pemilik ulayat yang menyerahkan lahan untuk pembangunan pelabuhnan juga harus dipikirkan pemerintah.

Saya berusaha mendapatkan dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pembangunan pelabuhan ini. Sayangnya, baik Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perhubungan, Sekda Kabupaten Jayapura,  menolak memberikan dokumen ini.

Saya hanya mendapat copian surat Peraturan Bupati Jayapura No.13/2006 tentang kelayakan lingkungan lokasi pembangunan pelabuhan peti kemas Depapre. Surat kelayakan lingkungan dikeluarkan berdasarkan dokumen Amdal yang diajukan pemrakrsa proyek, Dinas Perhubungan Kabupaten Jayapura. (Bersambung)

 

 

Tiang-tiang Pelabuhan Depapre mulai pancang. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,