Indonesia Butuh Badan Pengelola Lansekap. Apa Keuntungannya?

 

 

Kebakaran lahan dan hutan merupakan salah satu dampak dari keinginan manusia untuk memenuhi pangan, energi, pemukiman, dan lainnya. Jika tidak ditata sejak awal, misalnya melalui lansekap berkelanjutan, pada 2050 nanti sebagian besar ekosistem Bumi akan rusak karena kebutuhan tersebut. Pemerintah Indonesia pun diharapkan membentuk badan nasional lansekap berkelanjutan. Apa keuntungannya?

“Pemerintah Indonesia sangat perlu segera membentuk sebuah badan atau lembaga khusus yang mengurusi lansekap berkelanjutan. Keuntungannya yakni menjamin ekosistem di Indonesia tetap lestari dan mampu memenuhi kebutuhan setiap makhluk hidupnya,” kata Dr. Najib Asmani, Staf Khusus Gubernur Sumatera Selatan Bidang Perubahan Iklim, saat acara Apel Siaga Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutlah) Sumatera Selatan di Griya Agung Palembang, Sabtu (18/02/2017).

Dijelaskan Najib, yang juga ketua Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan, pengelolaan lansekap berkelanjutan merupakan kebutuhan nasional dan international. Tujuannya, untuk menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan kekuatan ekonomi yang kian hari kian bertambah. “Jika tidak ditata sejak dini melalui lansekap berkelanjutan, kepentingan tersebut akan merusak atau mengorbankan ekosistem yang ada. Misalnya, soal tata kelola air dan hutan, termasuk masyarakat adat dan cagar budaya,” katanya.

“Yang paling utama misalnya terkait pemenuhan permintaan pangan yang terus meningkat karena kemungkinan manusia akan mencapai 9 miliar jiwa pada 2050 nanti,” ujarnya.

Menurut Najib gagasan lansekap berkelanjutan ini bukan hal baru. Sejumlah negara dan pemerintah lokal sudah melakukannya, termasuk yang sudah dilakukan Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel). Gagasan ini sudah menjadi topik utama dalam berbagai kebijakan nasional maupun international.

Di Sumsel, kata Najib, dijalankan lansekap terpadu kelola Sembilang-Dangku yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk memutuskan tata guna lahan dan air yang menjamin kepentingan masyarakat, komersial dan konservasi, menjadi seimbang dan berkelanjutan.

“Gagasan ini dapat dijalankan di Sumsel karena Gubernur Sumsel Alex Noerdin sangat paham soal ancaman ekosistem Bumi ke depan jika tidak ditata sejak dini,” kata Najib.

 

Masyarakat di Desa Perigi, Kabupaten OKI, yang beberapa tahun lalu tidak pernah mengelola lahan gambut, kini terpaksa mengelola karena sudah berkurangnya lahan pertanian di lahan mineral. Pertanian tetap dibutuhkan pemerintah karena guna memenuhi kebutuhan pangan. Foto: Edi Saputra

 

Administratif

Yayan Indriatmoko, dari ZSL (The Zoological Society of London), lembaga yang bekerja sama dengan Pemerintah Sumsel dalam menjalankan program Kelola Sendang (Sembilang-Dangku), sangat setuju dengan gagasan adanya badan nasional lansekap berkelanjutan tersebut.

“Memang sudah mendesak adanya sebuah badan nasional yang mengurusi soal program lansekap berkelanjutan di Indonesia. Badan ini selain menjadi badan komunikasi antar-program lansekap yang sudah berjalan, juga menjadi fasilitator penyusunan program nasional terkait lansekap berkelanjutan,” kata Yayan kepada Mongabay Indonesia.

Dikatakan Yayan, saat ini sudah beberapa daerah yang menjalankan atau merencanakan lansekap berkelanjutan, selain di Sumsel, juga di Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Papua.

“Minimal ada forum nasional,” katanya.

Program Kelola Sendang saat ini tengah melakukan pembinaan atau pendampingan di 25 desa yang masuk lansekap. Tujuannya menyiapkan kapasitas masyarakat lokal dalam menyikapi atau bekerja sama dengan para pihak yang terlibat dalam proyek Kelola Sendang. “Kita ingin, terutama masyarakat lokal, turut merasakan dampak positif dalam skema lansekap berkelanjutan ini,” ujarnya.

 

Peta lansekap Dangku-Sembilang. Peta: ZSL

 

Pernyataan dukungan juga dikatakan Syafrul Yunardy, Ketua Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Sumsel. “Memang kita membutuhkan badan nasional lansekap berkelanjutan. Sebab adanya badan tersebut dapat mendorong percepatan program yang ada atau mendorong wilayah yang belum dapat menjalankan programnya,” kata Syafrul.

Dijelaskan Syafrul, selama ini tata kelola lingkungan tidak berjalan secara baik karena berdasarkan administratif. “Jika berdasarkan lansekap yang beranjak dari ekologi, jelas penataan lingkungan sudah berjalan dengan baik,” ujarnya. Seharusnya penataan administratif dijalankan setelah lansekapnya selesai disusun atau ditetapkan.

Dijelaskan Syafrul, secara filosofis lansekap sudah terbentuk sejak bumi diciptakan Tuhan. “Manusia tinggal mengikuti atau memanfaatkan lansekap yang sudah ada. Kerajaan Sriwijaya mampu hidup makmur karena mengikuti lansekap tersebut. Mereka tahu dan paham lansekap di Sumatera atau sebagian besar wilayah di Asia Tenggara ini berdasarkan aliran sungai atau air, sehingga mereka mengembangkan pemukiman, pertanian, teknologi, dan sebagainya yang taat pada air atau menjaga hidrologisnya. Mereka belajar dari koridor hewan yang tidak mengenal wilayah administratif, ” kata Syafrul.

Jadi, lansekap berkelanjutan itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sudah pernah dilakukan dan mampu membawa kemakmuran dan kelestarian lingkungan. “Kita hanya menjalankannya kembali karena kondisi sudah rusak,” ujarnya.

Selain pentingnya adanya badan nasional lansekap berkelanjutan tersebut, pemerintah juga sangat perlu mendukung berbagai program lansekap berkelanjutan yang sudah jalan atau mau direncanakan di Indonesia, seperti di Sumsel dengan lansekap kelola Sembilang-Dangku.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,