Ghurfon M, warga Pematang Panjang, Kuala Pembuang, Seruyan, Kalimantan Tengah, menemukan bayi orangutan Kalimantan, betina lalu lapor dan menyerahkan ke Kantor Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) Wilayah II Kuala Pembuang pada 7 Februari 2017.
Muriyansah, Kepala Pos Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sampit, langsung menghubungi tim Ape COP untuk penanganan bayi orangutan yang diberi nama Mely ini. Mely dibawa ke pos penjagaan BKSDA terlebih dahulu, keesokan harinya ke Kantor BKSDA SKE II di Kota Pangkalan Bun, Kotawaringin, Kalteng.
Dia mengatakan, bayi orangutan itu kemungkinan sempat dipelihara ilegal karena ada bekas ikatan pada leher dan sangat jinak. Kala bersama warga yang menemukan, Mely sempat makan nasi dan kecap, rambutan dan langsat.
Senada dikatakan Satria Wardhana Kapten Ape Crusaders COP. Dia melihat, Mely selain jinak juga ada bekas ikatan di leher seperti orangutan peliharaan.
Tim Ape Crusaders bersama BKSDA Sampit, membawa orangutan menuju Kantor BKSDA Pangkalan Bun, Kalteng, dengan perjalanan darat selama lima jam.
Mely, katanya, merupakan evakuasi orangutan ke-16 selama 2016-2017. Tim COP bekerja keras menyelamatkan orangutan yang tergusur dari habitat, sampai berkonflik dengan manusia.
“Peran masyarakat sangat dibutuhkan karena dengan informasi dari warga tim bisa meluncur cepat membantu orangutan yang kurang beruntung,” katanya.
Data COP, 2004-Agustus 2016, setidaknya ada 23 kasus penembakan orangutan dengan senapan angin. Orangutan mengalami kondisi kritis, cacat permanen hingga mati. Sekitar 1.200 orangutan bisa selamat dirawat pusat rehabilitasi di beberapa titik di seluruh Kalimantan.
Kondisi miris tak hanya dialami orangutan Kalimantan, di Sumatera, satwa ini juga mengalami hal serupa. Habitat rusak, konflik dengan manusia, perburuan marak, untuk pelihara sampai perdagangan menjadi antara lain penyebab kehidupan satwa ini makin terancam.
