Begini Aksi Freeport Kala RI Mau Terapkan Aturan Pertambangan Minerba

 

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan rekomendasi ekspor mineral mentah kepada PT Freeport Indonesia, perusahaan pemegang izin kontrak karya, pada 17 Februari 2017. Sesuai Peraturan Pemerintah No.1/2017 soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara,  perusahaan dengan kontrak karya bisa mendapatkan izin ekspor dengan syarat perubahan jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Perusahaan asal Amerika Serikat itu sudah mendapatkan SK IUPK pada 10 Februari 2017. Izin ekspor berlaku selama satu tahun berdasarkan surat persetujuan Nomor 352/2017 dengan volume 1.113.105 wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga.

Freeport juga harus memenuhi kewajiban membangun pabrik pemurnian mineral (smelter). Perusahaan tak sepakat. Perubahan kontrak karya menjadi IUPK dianggap tak memberikan kepastian hukum dan fiskal.

 

Baca juga: Aturan Baru Minerba Tuai Kritik, Begini Penjelasan Pemerintah

 

Richard C. Adkenson, Presiden dan CEO Freeport-McMoRan mengklaim selama lebih lima tahun telah konsisten beritikad baik selalu tanggap perubahan hukum dan peraturan pemerintah Indonesia.

“Saya berada di Jakarta beberapa hari untuk menangani berbagai permasalahan dihadapi perusahaan sehubungan penerbitan peraturan KESDM terkait ekspor konsentrat,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2/17).

Dia bilang, bersama tim manajemen dan beberapa tokoh masyarakat setempat terus bekerja sama melindungi kepentingan perusahaan dan semua pemangku kepentingan, termasuk karyawan mereka.

Jika merujuk surat persetujuan ekspor KESDM, menyatakan, pemerintah akan mengevaluasi progress pembangunan smelter selama enam bulan sekali. Kegiatan itu akan diverifikasi verifikator independen. Kala evaluasi pembangunan smelter enam bulanan tak sesuai komitmen awal, rekomendasi ekspor akan dicabut.

 

Baca juga: Longgarkan Ekspor Mineral Mentah, Begini Sikap Pakar dan Pegiat Lingkungan

 

Dalam UU Minerba 2009, katanya, kontrak karya tetap sah berlaku selama jangka waktunya. Namun, Pemerintah Indonesia meminta Freeport mengakhiri kontrak karya 1991 dan memperoleh izin operasi tak pasti dengan persetujuan ekspor jangka pendek.

Freeport tetap mau ekspor mineral mentah tetapi tak bersedia berubah dari kontrak karya jadi IUPK seperti aturan baru. “Kami tak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan oleh kontrak karya yang merupakan dasar kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi perusahaan kami dan vital terhadap kepentingan jangka panjang pekerja dan para pemegang saham kami,” katanya.

Kepastian hukum dan fiskal, katanya,  sangat penting bagi mereka dalam berinvestasi modal besar berjangka panjang untuk pengembangan cadangan di Papua.

Jadi, katanya, pengakhiran kontrak karya, tak bisa diputuskan sepihak Pemerintah Indonesia. Dia berkeras kontrak karya tak bisa berubah walau pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan perundangan yang mengubah itu.

“Posisi kami tak menerima izin yang dikeluarkan pemerintah dengan melepas status dari Kontrak Karya,” katanya.

Pada 17 Januari, Freeport melayangkan surat kepada KESDM mengenai tindakan-tindakan yang dianggap wanprestasi dan pelanggaran kontrak karya oleh pemerintah. Tenggat waktu surat itu 120 hari.

“Kami menyampaikan harapan sungguh-sungguh, perselisihan dengan pemerintah dapat diselesaikan dengan mencadangkan hak-hak kita sesuai Kontrak Karya berhadapan dengan pemerintah, termasuk hak memulai arbitrase untuk menegakkan setiap ketentuan-ketentuan Kontrak Karya dan memperoleh ganti rugi sesuai.”

Dia bilang, mengakhiri kontrak karya dan berganti IUPK serta pelarangan ekspor konsentrat justru menimbulkan konsekuensi tak menguntungkan banyak pihak.

Aturan itu, katanya, berdampak dengan penangguhan investasi, pengurangan signifikan pembelian barang dan jasa domestik, sampai pekerjaan hilang bagi para kontraktor dan pekerja.

“Kami terpaksa menyesuaikan pengeluaran-pengeluaran kegiatan usaha sesuai pembatasan produksi. Situasi ini tak menguntungkan dan mengkhawatirkan kita semua.”

Di sisi lain, katanya, ada pemogokan kerja di Gresik, hingga mereka tak bisa mengirim konsentrat untuk diolah ke smelter itu. Perusahaan juga mengurangi operasi pertambangan, karena stockfile sudah penuh dan tak bisa menampung konsentrat.

“Itu memaksa kita mengeluarkan force majure kepada pembeli konsentrat. Menurunkan produksi sangat tajam. Produksi bijih sangat sedikit untuk stockfile. Kita melakukan sedikit kegiatan tambang.”

“Kita mau menyetop pembayaran capital kita juga pengurangan karyawan, 10% daripada ekspatriat kita yang bekerja sudah diberhentikan. Minggu ini kita akan mulai mengeluarkan karyawan kontrak kita.”

Merunut ke belakang, perpanjangan ekspor konsentrat Freeport sudah lima kali diberikan pemerintah. Selayaknya, menurut UU Minerba, perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia wajib proses hilirisasi lewat pembangunan smelter. Sejak 12 Januari 2014, perusahaan tambang minerba tak boleh ekspor bahan mentah.

Ketentuan UU, mensyaratkan semua perusahaan wajib membangun smelter paling lambat lima tahun setelah UU disahkan DPR. UU Minerba keluar 2009. Hingga kini, Freeport belum memenuhi syarat itu.

Selama ini, Freeport sebagai perusahaan yang memperoleh “hak istimewa” karena tetap boleh ekspor konsentrat. Perpanjangan ekspor konsentrat Freeport berkali-kali keluar.

Periode 25 Juli 2014-26 Januari 2015, perusahaan ini mendapatkan kuota ekspor 756.000 ton konsentrat. Pada 26 Januari-25 Juli 2015 sebanyak 580.000 ton, selanjutnya, jadi 1,03 juta ton. Lalu saat perpanjangan terakhir periode 9 Agustus-11 Januari 2017 jadi 1,4 juta ton.

Freeport mengklaim, sudah investasi US$12 miliar dan sedang tanam modal lagi $15 miliar guna mengembangkan cadangan bawah tanah. Mereka kialm pekerjakan 32.000 orang Indonesia.

Berdasarkan kontrak karya, pemerintah telah terima 60% manfaat finansial langsung lewat pajak, royalti, dan dividen dibayarkan kepada pemerintah sejak 1991 melebihi US$16,5 miliar. Sedangkan Freeport-McMoRan menerima US$10.8 miliar dalam bentuk dividen. Manfaat itu, katanya, bakalan meningkat sampai 2041 diperkirakan melebihi US$40 miliar.

Sebelumnya dalam rilis diterima Mongabay Sabtu, (18/2/17), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia. Namun, katanya, pemerintah harus berpegang UU Minerba 2009 dan PP Nomor 1/2017.

Mengacu UU dan peraturan pemerintah itu, katanya,  pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku.

“Atas dasar itu, semua pemegang kontrak karya dapat melanjutkan usaha seperti sediakala dan tak wajib mengubah perjanjian menjadi Izin IUPK, sepanjang pemegang kontrak karya melakukan pengolahan dan pemurnian dalam jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba diundangkan. Sesuai ketentuan Pasal 169 dan pasal 170,” katanya.

 

ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi

 

Pemegang kontrak karya yang belum hilirisasi melalui smelter, kata Jonan,  pemerintah menawarkan mengubah izin menjadi IUPK. Dengan begitu, sesuai ketentuan Pasal 102-103 UU Minerba,  mereka akan tetap mendapat izin ekspor konsentrat dalam jangka waktu lima tahun sejak PP No 1/2017 terbit. Namun, mereka tetap wajib membangun smelter dalam waktu lima tahun.

Progres pembangunan smelter, katanya, akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap enam bulan.  Jika progres tak mencapai minimal 90% dari rencana, rekomendasi ekspor akan dicabut.

“Freeport menolak perubahan dari KK menjadi IUPK. Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan KESDM, Kementerian Keuangan, dan Freeport, pemerintah memberikan hak sama dalam IUPK setara dengan tercantum dalam kontrak karya.”

Selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK terbit sesuai Pasal 169 UU Minerba tetap mereka dapatkan. “Namun Freeport menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut kontrak karya tetap berlaku,” katanya.

Freeport telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat Nomor  571/OPD/II/3017 pada 16 Februari 2017 dengan menyertakan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk Freeport pada 17 Februari 2017.

“Menurut informasi beredar Freeport menolak rekomendasi ekspor ini. Saya berharap kabar tak benar karena pemerintah mendorong Freeport tetap melanjutkan usaha dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM,” katanya.

Jonan berharap, Freeport tak alergi dengan ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian kontrak karya pertama antara perusahaan itu dan Pemerintah Indonesia, juga tercantum dalam PP No 1/2017.

 

Ancam arbitrase dan PHK?

Terkait wacana Freeport membawa persoalan ke arbitrase, kata Jonan, hak siapapun mengambil langkah hukum. Pemerintah, katanya,  berharap tak berhadapan dengan siapapun secara hukum, karena apapun hasilnya dampak kurang baik dalam relasi kemitraan.

“Namun, itu langkah jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset paling berharga, bukan sebagai alat memperoleh keuntungan semata,” katanya.

Freeport menyatakan bakal ada pemutusan hubungan kerja sebagai buntut dari aturan itu. Menurut Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadalia, tak perlu berlebihan menghadapi ancaman PHK Freeport. Dikutip dari Liputan6.com, katanya, PHK Freeport tak akan berdampak besar lantaran hanya sedikit orang asli Papua bekerja di perusahaan itu.

Sebenarnya, kata Bahlil, sejak ada aturan larangan ekspor mineral mentah sejak awal 2012, bukan hanya Freeport yang terkena dampak, juga perusahaan tambang lain. Tetapi, perusahaan-perusahaan itu tetap tunduk aturan pemerintah.

“Pada ‎2012, ketika PP (peraturan pemerintah) diterbitkan, kita tidak boleh ekspor ore, pengusaha Hipmi banyak hampir collapse. Kita tidak ribut, kita hormati aturan. Saya termasuk yang hampir collapse karena leasing alat besar saya besar kala itu,” katanya masih dari Liputan6.com.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,