Hutan Itu Memang Habitatnya Orangutan, Jangan Dirusak!

 

 

International Animal Rescue (IAR) Indonesia turut mengecam pembantaian orangutan yang terjadi di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ketua Umum IAR Indonesia, Tantyo Bangun mendukung pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyatakan, pelaku pembununan orangutan jangan dihukum ringan. “Kami juga minta tanggung jawab perusahan pemegang konsensi, karena kejadiannya di dalam dan sekitar arealnya.”

Kekhawatiran ini dikarenakan International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah meningkatkan status orangutan kalimantan menjadi Kritis (Critically Endangered), tahun lalu. Artinya, orangutan tinggal selangkah lagi menuju kepunahan. “Selain hancurnya habitat, penyebab utama musnahnya orangutan adalah perburuan,” ujar Tantyo.

IAR Indonesia telah menyelamatkan lebih dari 185 individu orangutan sejak 2009, juga telah membentuk tim Human-Orangutan Conflict Response Team (HOCRT) sejak 2013. Tujuannya, mengatasi berbagai permasalahan terkait orangutan dengan manusia. “Banyak orangutan yang tidak bisa diselamatkan dengan hutan yang menyempit, serta konflik dan perburuan yang meningkat. Padahal lebih dari 70 persen populasi orangutan berada di luar kawasan lindung. Komitmen kuat perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan LSM untuk menjaga populasi orangutan sangat diperlukan,” jelas Direktur Program IAR, Karmele L. Sanchez.

 

Baca: Kapan Penderitaan Hidup Orangutan Berakhir?

 

IAR Indonesia sangat mengkhawatirkan, kejadian seperti di Kalimantan Tengah akan terjadi juga di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena, saat ini hutan gambut tempat salah satu populasi terbesar orangutan Kalimantan terancam. Hutan Kubah Gambut Sungai Putri di utara Kota Ketapang tengah dibuat kanal dan ditebang untuk dijadikan hutan tanaman monokultur. Ada lebih 1.000 individu orangutan, berdasarkan hasil survei populasi 2012-2013 yang dilakukan.

“Terbukanya hutan Sungai Putri, membuat orangutan terdesak ke kebun-kebun penduduk. Sebelumnya saja, ada 38 orangutan yang berkonflik dengan masyarakat sekitar,” ujar Karmele.

 

Ami yang selama tiga bulan hidup di kandang telah dievakuasi dari pemiliknya yang dikurung di kandang sempit. Orangutan itu hidupnya di hutan, bukan satwa peliharaan. Foto: IAR Indonesia

 

Penyelamatan

Pada 14 Februari 2017, International Animal Rescue dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seksi Konservasi Wilayah I Ketapang, Kalimantan Barat menyelamatkan dua individu orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Satu orangutan betina berada di Desa Manis Mata, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, umur 5-6 tahun, sudah dipelihara Ari Yanto selama tiga bulan. Sedangkan satu individu lain berasal dari Desa Air Hitam Besar, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Laporan keberadaan orangutan ini berasal dari Yayasan Palung.

Ari Yanto mengaku membeli  orangutan itu dari seseorang di daerah Jambi, Kabupaten Ketapang seharga Rp1,1 juta, lantaran  kasihan. “Dulunya kurus, sekarang agak gemuk selama saya pelihara,” jelasnya. Ari mengungkapkan, orangutan yang kemudian diberi nama Ami tersebut diberi makan pisang dan air gula, kadang nasi. Biaya pemeliharaan per hari mencapai Rp15 ribu. Namun, dia bersedia menyerahkan orangutan tersebut kepada pihak yang berwajib.

Ami tinggal di kandang kayu 1 meter x 1,5 meter dengan tinggi 1 meter. Lehernya dijerat rantai besi, ketat hingga melukai. “Kalau tidak segera dievakuasi lukanya makin dalam,” ujar drh. Sulhi Aufa yang ikut dalam kegiatan tersebut.

 

Vena, bayi orangutan ini juga telah dipelihara selama tiga bulan oleh masyarakat, dan telah diserahkan ke petugas BKSDA Kalimantan Barat. Foto: IAR Indonesia

 

Satu individu lainnya, bayi betina usia 7 bulan, menurut si pemilik sudah dipelihara selama tiga bulan. Orangutan yang diberi nama Vena ini, menurut Bahiyah, si pemilik, mengaku pernah memiliki orangutan sebelumnya yang diberi nama Boy. Dia kerap teringat dengan satwa yang dilindungi tersebut, sehingga menerima pemberian orangutan lagi dari kenalannya. Bahiyah pun dengan sukarela menyerahkan Vena kepada petugas BKSDA.

Selama 2016, tidak kurang 12 individu orangutan yang diselamatkan dari kasus pemeliharaan, sementara di awal 2017 ini sudah tiga penyelamatan. Pada kasus pemeliharaan bayi orangutan, hampir dapat dipastikan bahwa induk orangutan dibunuh untuk mendapatkan anaknya. Di alam, bayi orangutan akan tinggal bersama induknya sampi usia 6 – 8 tahun. Selama anaknya belum berusia cukup untuk hidup mandiri, induk orangutan akan mati-matian menjaga anaknya.

“Proses rehabilitasi dan persiapan untuk dikembalikan ke alam tidak mudah dan cukup lama,” jelas drh Adi Irawan, selaku Manajer Operasional di IAR di Ketapang. “Bayi orangutan masih butuh waktu cukup panjang, hingga bertahun untuk bisa direhabilitasi dan dikembalikan ke habitat aslinya. Biayanya juga sangat besar. Di tempat rehabilitasi orangutan kami di Ketapang sudah ada 108 orangutan, dan itu adalah tanggung jawab besar bagi kami, ” imbuhnya.

Karmele menambahkan, semua orang yang memelihara orangutan harus menyadari bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan dapat mempercepat kepunahan. “Segera laporkan jika ada yang menjual orangutan kepada yang berwajib. Khusus untuk kasus pemeliharaa, jika masyarakat tidak mau menyerahkan, diperlukan penegakan hukum,” tegasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,