Bandung Yang Terus Dirundung Masalah Sampah

Masalah sampah seperti sisi lain dari kehidupan. Dimana pun itu, di pedesaan atau perkotaan– sampah selalu hadir sebagai sebuah konsekuensi dari adanya aktifias manusia. Setiap aktifitas  barang tentu akan menghasilkan buangan atau sampah. Terlebih diperkotaan, padatnya penduduk serta meningkatnya taraf hidup masyarakat, secara tidak langsung berpengaruh pada peningkatan volume sampah.

Namun, perkara itu tak diimbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang persampahan dan pola pemeliharaan kebersihan. Tak ayal, sampah terus menjadi masalah klasik yang terus ditelisik formulasinya tanpa berujung pada langkah konkrit yang solutif.

Produktivitas sampah di kota mentropolitan seperti Bandung yang notabene ibukota dari Jawa Barat pastilah tinggi. Berpenduduk sekitar 2,7 juta jiwa—sampah yang dihasilkan bisa mencapai 1.500 – 1.600 ton dalam hitungan hari.

Walaupun, penghargaan Adipura sering didapat  “kota kembang” dengan penerimaan sederet penghargaan bergengsi lainnya. Tetap saja sampah masih menjadi persoalan yang belum sepenuhnya dapat teratasi.

 

 

Direktur Umum Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, Deni Nurdiana, mengatakan secara umum 65% sampah masih didominasi oleh sampah domestik. Dari jumlah itu, baru sekitar 300 ton per hari yang bisa diolah menjadi bahan kerajinan, kompos, bahan bakar gas, dan listrik.

Dan tingginya angka produktivitas sampah, sebagian besar belum termanfaatkan. Dari total sampah yang dihasilkan, hanya 1200 ton sampah yang bisa diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sementara sisanya masih berada di tempat pembuangan sementara (TPS) dan berserakan di sudut kota ataupun sungai.

Kondisi tersebut berindikasi tingginya biaya transportasi, penyewaan lahan, hingga pengolahan sampah. Ditambah lagi dari segi anggaran pun relatif kecil, dana kas PD Kebersihan saja hanya mampu mengelola sampah sampai akhir Febuari 2017.

Deni menuturkan, kendalanya ada pada estimasi anggaran, secara mekanisme dana sampah sudah tidak lagi disubsidi oleh pemerintah kota. Saat ini dana tersebut sudah dialokasikan tetapi dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Bandung. Proses pencairan dana akan diberikan sesuai pekerjan yang dilakukan oleh PD kebersihan.

“Yang jelas, permasalah dari mekasnisme non teknis (pembiayaan) masih belum clear sampai hari ini. Dari sisi regulasi dan payung hukum juga saat ini masih pada tahapan pembahasan dan terus digodog. Diharapkan, jika sudah clear baru upaya selanjutnya akan dipikirkan,” katanya, saat dihubungi Mongabay via telepon, Jumat, (17/01/2017)

 

Suasana di di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, kamis (16/17/2017). Menurut BPLHD Jabar, kontrak TPA tersebut berakhir akhir tahun ini, namun diperpanjang selama 3 tahun dan diperluas 20 hektare untuk menampung sampah dari Bandung raya, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal

 

Dikatakan Deni, untuk meminimalisir terus membludaknya sampah, tahun 2017 pihaknya sudah melirik konsep bank sampah serta akan dicoba disosialisasikan di 12 Kecamatan se-Kota Bandung. Dan jika anggaran sudah disepakati, pihaknya akan memperbanyak penerapan teknologi biodigester.

Perpanjangan Kontrak

Sementara itu, Pemerintah provinsi Jawa Barat, melalui Badan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) telah mengajukan perpanjangan kontrak TPA Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Hal tersebut dikatakan Kepala BPLHD Jabar, Anang Sudarna, saat dihubungi via telepon. Menurutnya, permohonan itu sudah disampaikan dan tinggal menunggu evaluasi dari Perum Perhutani selaku pemilik kewenangan atas tanah di sekitar TPA.

“TPA habis akhir tahun ini. Rencananya diperpanjang 3 tahun hingga 2020. Namun, berhubung kondisi Sarimukti sudah over kapasitas. Sehingga akan dilakukan perluasan sebesar 20 hektare. Untuk AMDAL sudah dilakukan kajian ulang, semoga tidak ada masalah dalam proses tahapannya,” ujar dia.

Anang menjelaskan, untuk sementara sembari menunggu rampungnya pembangunan TPA Legok Nangka, di yang dirancang sebagai percontohan pengelolaan sampah terpadu.

Dia menegaskan, kedepan pembangunan TPA Legok Nangka diproyeksikan bakal menampung lebih banyak sampah dari sebagian wilayah Kabupaten Garut dan Sumedang, jadi total ada 6 kabupaten/kota yang akan membuang sampah ke TPA seluas sekitar 94 hektare tersebut.

Dia menyebutkan, pemerintah sudah melakukan kajian mendalam dengan melibatkan pakar lingkungan perihal penggunaan teknologi yang akan diterapkan di TPA Legok Nangka. Berkaitan dengan fasilitas, Pemprov Jabar telah menjalin kesepahaman bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

 

Suasana di di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, kamis (16/17/2017). Menurut BPLHD Jabar, kontrak TPA tersebut berakhir akhir tahun ini, namun diperpanjang selama 3 tahun dan diperluas 20 hektare untuk menampung sampah dari Bandung raya. Foto : Donny Iqbal

 

Pada tahapan kajian sudah ada 4 teknologi yang muncul. Diharapkan, apapun teknologi yang digunakan di TPA Legok Nangka mampu mengelola sampah sekitar 1800 ton per hari.  Berkenaan dengan biaya  pembangunan prasarana dan sarana  penunjang yang lengkap ditaksir mencapai Rp1 triliun.

“Nantinya sampah menjadi sumber daya bukan lagi persoalan, tetapi tetap pemilahan sampah dari sumbernya harus terus digalakan. Dalam roadmap RPJMN 2014 – 2019, dijelaskan bahwa 20% sampah bisa dimanfaatkan ditingkat sumber dan 80% diangkut ke tempat pembuangan akhir,” tandasnya.

 

Perlu Terintegrasi 

Masih soal pengolahan sampah, Direktur Perkumpulan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) David Sutasurya menegaskan misi nasional soal pengolahan sampah sekarang berubah paradigma dari kumpul, angkut, buang menjadi terintegrasi dari hulu hingga ke hilir.

Merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, bahwa dalam pengelolaannya diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan  pemerintah juga peran masyarakat dan dunia usaha. Sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.

Sejauh ini, David menilai, pemerintah nasional hingga daerah  belum semuanya memahami aturan tersebut. Banyak langkah – langkah yang belum merujuk kepada UU tersebut dan bahkan dalam menentukan program yang ditarget masih berjalan lambat.

“Sehingga pertanyaan kami begini, berbicara Perpres No 18 Tahun 2016. Seharusnya Presiden melakukan percepatan pelaksanaan UU No 8 Tahun 2008, bukan malah percepatan waste to energy (WTE),” kata dia.

David menuturkan, masih terlihat jomplang sekali hubungan antara tatanan aturan yang seharusnya dihadirkan terlebih dulu dengan program yang dimuculkan.  Misalnya, untuk menjalankan program WTE, idealnya perlu membuat dokumen strategi nasional dan sampai saat ini belum beres. Padahal itu bisa dirancang dalam kurun 2-3 tahun, sampai dilakukan eksekusi program.

Sehingga wajar saja, bila pemerintah daerah alot dalam merancang program pengelolaan sampah, sebab terlebih dulu mesti diselesaikan di tingkat nasional, provinsi dan akhirnya di daerah. Untuk kasus di Kota Bandung, dia mencotohkan, pada waktu itu telah dibuat perda sampah tetapi peraturan pemerintah (PP) berlaku setelahnya.

 

Pemulung cilik mencari sampah plastik yang layak dijual di tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, Kabupaten Bandung, kamis (16/17/2017). Meskipun bau sampah dapat mengganggu kesehatan, warga sekitar tidak punya pilihan lain untuk terus menghasilkan uang. Foto : Donny Iqbal

 

Intinya, agar terintegrasi khusus mengenai hal pengolahan sampah–hendaknya perlu penguatan dari terlebih dulu di pemerintahan sendiri. Supaya tujuan dan komitmennya jelas, jadi bisa porposional dalam menentukan langkah.

Dia menambahkan, jangan sampai persoalan sampah terus didiskreditkan kepada masyarakat perkotaan yang nyampah antara 0.7 – 0.8 kg setiap hari. Apabila pemeritah kuat dalam mengatur dan mengelola sampah, sudah jadi keharusan bagi masyarakat untuk patuh terhadap aturan hukum.

Dari data yang dihimpun Mongabay, kabupaten/kota di cekungan Bandung, meliputi kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat keseluruhan sampah yang dihasilkan kurang lebih 3000 ton per hari. Dan semuanya dibuang ke TPA Sarimukti.

Dilain tempat, Kepala staf umum TPA Sarimukti, Herry wangsapura, mengaku tidak keberatan dengan adanya perpanjangan kontrak. Karena memang sebagian besar masyarakat  yang berada di sekitar TPA Sarimukti, mengantungkan hidup dari memilah – milah sampah. Sehingga masih bisa memberikan penghasilan. “Namun, warga masyarakat sekitar berharap ketika habis kontrak agar bisa dinormalisasi kembali lingkungan yang ada disini,” papar dia ketika dijumpai di sekitar TPA Sarimukti.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,