Banjir Lagi…Banjir Lagi, Kata Pakar Penanganan Harus Hulu ke Hilir

 

 

Suharyo, warga yang mengontrak rumah di Karet Tengsin, Tanah Abang,  Jakarta Pusat, khawatir banjir datang lagi. Sore itu, air sudah surut. Dia tinggal sekitar 250 meter dari Kali Krukut.

”Mulai pagi pukul 05.00 udah banjir, sampai tadi pukul 12.00 sampai perut (sekitar 100 cm-red),” kata sambil menjemur karpet dan kasur yang basah, Selasa (21/2/17).

Dia bilang, baru kali ini banjir lagi sejak 2015.”Sebelumnya tahun 2013 banjir biasa 1,5-2 meter, hingga atap rumah,” katanya.

Suharyo dan warga lain tetap waspada di rumah. Dia enggan mengungsi, karena kondisi masih aman. Hingga pukul 17.00, warga Karet Tengsin mulai bersih-bersih. ”Sudah mulai surut sejak tadi pukul 15.00.”

Sutopo Purwo Nugroho, Humas dan Pusat Informasi BNPB mengatakan, curah hujan tinggi pada Selasa 21/2/17) menyebabkan banjir pada 54 titik di Jakarta dengan ketinggian 10-150 cm. Hingga kini, wilayah Jakarta, Bekasi dan Tangerang masih rentan banjir.

Banjir, katanya, karena drainase perkotaan tak mampu menampung aliran permukaan dampak perubahan penggunaan lahan di Jabodetabek. ”Hampir 80% hutan jatuh berubah jadi aliran permukaan, penyerapan tak ada,” katanya.

Berdasarkan data BNPB, melalui citra satelit Landsat, 1990-2016, pemukiman dan perkotaan berkembang luar biasa. Ruang terbuka hijau dan kawasan resapan air minim menjadi kendala.

Meski demikian, katanya, curah hujan itu jauh lebih kecil dibandingkan banjir Jakarta 2007, 2013 dan 2014, mencapai 200-350 mm. Berdasarkan data BMKG, banjir kali ini rata-rata antara 21,8 mm- 115,9 mm.

”Peluang ekstrem makin sering terjadi, risiko banjir juga tinggi, upaya pengendalian banjir terus dilakukan komprehensif dan berkelanjutan,” katanya.

Banjir terjadi di berbagai daerah, tak hanya Jakarta. Di Jawa Barat, Banten,  Jawa Timur, Kalimantan Barat,  Jambi, Sulawesi Utara, dan lain-lain.

Banjir di Kota Bekasi, Jabar, banjir menyebabkan dua orang meninggal dunia. ”Ada ribuan rumah di 24 kelurahan dan 10 kecamatan sejak Minggu lalu terendam,” ujar Sutopo.

Cakupan wilayahpun luas, meliputi Bekasi Utara, Barat, Timur dan Selatan. Ada 14 komplek perumahan terndam banjir dengan ketinggian 1,2 sampai dua meter.

”Ada dua orang meninggal dunia karena hanyut dan 400 jiwa mengungsi.”

Begitu juga di Kota Tangerang, ada empat kecamatan terendam banjir pada yakni, Kecamatan Kronjo, Mauk, Pakuhaji dan Kelapa Dua pada Selasa (21/2/17). Ketinggian banjir rata-rata 20-70 cm. Sedangkan, di Kota Tangerang Selatan (Banten), menyebabkan jalan terputus di Arya Putra Greenhill Serua, Kecamatan Ciputat, banyak kendaraan mogok karena memaksakan untuk lewat.

Di Kabupaten Cirebon, Jabar, banjir akibat Sungai Ciamis meluap. Banjir sempat merendam jalan utama hingga 70 sentimeter dan memutus jalan akses utama. Pemukiman warga terendam hingga hingga ketinggian lebih satu meter.

Di Jawa Timur, banjir sempat melanda kabupaten/kota seperti Mojokerto, Batu dan Gresik. Ribuan rumah di Mojokerto terendam hingga ketinggian 30-80 cm. Terdapat enam desa dan dua kelurahan terendam.

Di Batu, banjir dan tanah longsor pada tiga wilayah. Adapun ketinggian air sekitar 50-100 cm.  Terjadi longsor hingga aliran sungai tertutupi dan meluap.

Sedangkan di Gresik, ada tiga kecamatan terendam banjir antara 10-20 cm. Ada 15 hektar lahan sawah kena imbas.

Di Pontianak, Kalbar, pekan lalu, juga terendam air setinggi 40 cm. Begitu juga di Lampung, Sulawesi Utara pada tiga kabupaten/kota turut kebanjiran.

Willem Rampangilei, Kepala BNPB menyebutkan, musim hujan ini akan terus berlangsung hingga akhir Maret dipengaruhi fenomena El-Nino 2015 dan La-Nina 2016.

Dia bilang, ada tiga faktor penyebab bencana hidrometrologi di Ibukota, pertama, kondisi alam meliputi geografi, topografi dan geometri lokasi aliran sungai. Kedua, curah hujan terkait pasang surut air laut dan penurunan permukaan tanah dan pendangkalan. Ketiga, faktor aktivitas manusia.

Berdasarkan data BNPB, 136 kabupaten/kota di Indonesia masuk dalam daftar daerah rawan bencana tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan 315 daerah mendapatkan ancaman bencana banjir. ”Ini ditempati oleh 63,7 juta jiwa,” katanya.

Ancaman longsor di 73 kabupaten/kota dari level tinggi hingga rendah. BNPB memperkirakan terjadi peningkatan bencana alam pada 2017. Hingga kini,  ada 303 bencana alam terjadi. Tahun 2015 ada 1.732 kali bencana.

 

Prediksi BMKG

Yunus S Suwarinoto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG mengatakan, sebagian besar wilayah Indonesia masih dalam puncak musim hujan hingga akhir Februari 2017. ”Potensi hujan lebat harian dapat meningkatkan peluang bencana gidrometeorologi.”

Sumatera bagian Selatan, Banten, Jawa Barat dan Jabodetabek berada dalam kondisi cukup basah karena ada aliran udara basah dari Samudera Hindia.

Keadaan ini, menyebabkan hujan lebat disertai kilat dan petir. Kuatnya monsun Asia, katanya,  menyebabkan udara basah di sekitar pesisir selatan Jawa.

”Masyarakat diharapkan tetap waspada potensi peningkatan curah hujan yang dapat disertai angin kencang berpotensi banjir, tanah longsor, banjir bandang maupun genangan,” katanya.

Potensi hujan meningkat hingga beberapa hari kedepan terutama di pantai barat Sumatera, Sumatera bagian utara, Sumatera bagian selatan, Bengkulu, Riau, Lampung, Banten, Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Lalu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi bagian Tengah, Sulawesi bagian Selatan, dan sebagian besar Papua.

Tak hanya itu, untuk Kepulauan Riau, Sumsel, Lampung, Jatim, Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Gorontalo memiliki potensi angin kencang. Gelombang tinggi hingga lebih 2,5 meter diprediksi terjadi di perairan barat Kepulauan Nias hingga Mentawai, Perairan Enggano, perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Jawa Laut Sulawesi.

Kemudian, Laut Maluku bagian utara, Perairan Kepulauan Sangihe dan Talaud, perairan utara Halmahera, Laut Halmahera, perairan utara Papua Barat hingga Papua.

 

Hujan deras menyebabkan banjir kiriman dan tanah longsor di kota Bitung, Sulawesi Utara, Minggu (12/2/17). Akibatnya 1.246 kepala keluarga atau 4.150 jiwa harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Foto : Adi Dwi Satrya

 

Kurang sinergi

”Masih belum berubah bencana ekologi (banjir) dari tahun lalu. Masih tetap sama buruknya terhadap lingkungan di Jakarta,”  kata Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta.

Hingga kini, belum ada solusi kongkret pemerintah dalam penanganan bencana ekologi, baik masyarakat maupun lingkungan.

Walhi menilai, pemerintah Jakarta hanya membersihkan sampah di sungai, normalisasi, betonisasi dan penggusuran warga di bantaran sungai. ”Itu tidak solutif.”

Menurut Puput, perlu ada sinergitas lintas wilayah (hulu dan hilir) dan wilayah penopang Jakarta (Bogor, Tangerang dan Bekasi) dalam penyelesaian banjir Jakarta. ”Ini salah satu kunci.”

Pengelolaan wilayah hulu untuk meminimalkan pengundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi poin penting. Begitu juga penataan ruang di hulu hingga hilir diikuti pembuatan daerah serapan air dan ruang terbuka hijau di Jakarta.

 

Penanganan hulu ke hilir

Azwar Maas, Guru Besar Universitas Gadjah Mada mengatakan, sudah tak bisa mengendalikan banjir di tempat terjadi banjir. Penyelesaian banjir, katanya, perlu dilihat secara menyeluruh dari hulu ke hilir.

”Penyelesaian melalui bor dan sumur resapan dan biopori sudah tak bisa lagi.”

Banyaknya pemukiman dan alih fungsi lahan menjadi salah satu pemicu hingga harus jadi fokus. ”Perlu ada aturan daerah mengharuskan wilayah yang sudah mengalami alih fungsi lahan perlu mitigasi.”

Perda itu, bisa diturunkan hingga ke peraturan desa, dengan induk aturan ini UU Agararia dan Tata Ruang dan UU Konservasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Isi perda, katanya, menghambat air langsung menggenang di permukaan tanah, namun mampu meresap ke permukaan, misal dengan teknik pengisian akuiver. Dimana, sirkulasi air masuk ke tanah, mengalir ke sungai.

Konkretnya, memberikan ruang taman, halaman tak langsung disemen, namun diberi pori-pori hingga air curahan bisa menyerap ke dalam.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Nasional bilang, pemerintah pusat maupun daerah belum melihat persoalan banjir sebagai mitigasi dalam kebijakan.

”Bencana tak hanya berbicara penanganan, lebih pada kebijakan terkait pembangunan yang berisiko tinggi terhadap ekologi dan sosial,” katanya.

Dia menilai, tak ada koreksi kebijakan signifikan terhadap bencana ekologis yang tejadi, baik karena infrastruktur ataupun ekstraktif.

”Naik turun bencana tak bisa dinilai dari angka, tetapi apa kontribusi tata kelola dan pembenahan alamnya.”

Kebijakan pembangunan Indonesia, katanya, masih mengarah pada korporasi. Biaya lingkungan, katanya, tak jadi pertimbangan dalam investasi. ”(Sekarang) ini (biaya lingkungan) dibebankan pada APBN, APBD dan warga negara,” katanya.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,