Lahan gambut terbakar di hutan lindung Bukit Betabuh, Riau. Foto: KPHL Bukit Betabuh
Kebakaran hebat hutan dan lahan pada 2015, jadi pengalaman buruk dan mengerikan. Berbulan-bulan warga di Kalimantan dan Sumatera harus hidup dalam ‘kegelapan.’ Sehari-hari hidup dalam kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan sekitar. Kondisi ini, memicu pemerintah membenahi berbagai peraturan, salah satu soal tata kelola lahan gambut. Pada akhir 2016, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 71/2014 soal perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (PP Gambut) keluar lewat PP 57/2016.
Menindaklanjuti aturan itu, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan empat peraturan menteri dan dua keputusan menteri. Yakni, Permen LHK Nomor 14/2017 tentang tata cara pelaksanaan inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut, Permen LHK Nomor 15/2017 tentang tata cara pengukuran muka air tanah di titik penaatan ekosistem gambut. Lalu, Permen LHK nomor 16/2017 tentang pedoman teknis pemulihan ekosistem gambut, serta Permen LHK nomor 17/2017 tentang perubahan Permen 12/2015 terkait pembangunan hutan tanaman industri.
Dua kepmen soal penetapan peta kesatuan hidrologis gambut (KHG) dan penetapan peta fungsi ekosistem gambut.
Saat ini, Indonesia ada 865 kesatuan hidrologi gambut (KHG) seluas 24.667.804 hektar, rincian: Sumatera 207 KHG (9.604.529 hektar), Kalimantan 190 KHG (8.404.818 hektar), Sulawesi tiga KHG (63.290 hektar), dan Papua 465 KHG (6.595.167 hektar). Yang ditetapkan sebagai fungsi lindung ada 15 KHG. Sedang peta fungsi ekosistem gambut nasional mencakup fungsi lindung seluas 12.398.482 hektar dan fungsi budidaya seluas 12.269.321 hektar.
MR Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK di Jakarta, Rabu (22/2/17) mengatakan, dalam Permen LHK 14/2017 diatur mengenai tata cara inventarisasi dan penetapan peta final KHG, tata cara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut nasional dengan skala 1:250.000. Juga tata cara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut provinsi atau kabupaten dengan skala 1:50.000, serta perubahan penetapan fungsi ekosistem gambut.
“Peta KHG disusun dengan peta lahan gambut BBSDLP-Kementan, peta hidrologi atau jaringan sungai RBI, peta sistem lahan dan peta rawa dari Kementerian Pekerjaan Umum,” katanya.
Dia mengatakan, kriteria penetapan fungsi lindung ekosistem gambut sudah jelas ada dalam PP 57/2016 yakni, paling sedikit 30% dari seluruh KHG, masih terdapat gambut kedalaman tiga meter atau lebih, plasma nutfah spesifik atau endemik, spesies dilindungi, atau ekosistem gambut fungsi lindung yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Dalam permen, katanya, juga diatur mekanisme perubahan fungsi ekosistem gambut. Fungsi budidaya, bisa berubah menjadi fungsi lindung jika terdapat ekosistem gambut yang memenuhi kriteria fungsi lindung.
“Ada urgensi ekologis untuk upaya pencegahan atau pemulihan kerusakan lingkungan hidup. Ada urgensi ekologis untuk upaya pencadangan ekosistem gambut di provinsi atau kabupaten kota,” katanya.
Aturan tata cara pengukuran muka air tanah, katanya, soal bagaimana pengukuran muka air tanah itu dilakukan, yakni di titik penataan yang ditetapkan dirjen. Penetapan ini atas hasil kesepakatan bersama antara perusahaan dengan pemerintah.
“Jadi paling sedikit 15% dari seluruh jumlah petak tanaman pokok atau blok produksi ditetapkan sebagai titik penaatan untuk mengukur apakah perusahaan taat atau tidak terhadap muka air tanah 0,4 meter. Angka 0,4 meter ini jaminan mengurangi kebakaran lahan hutan,” katanya.
Mereka sudah mencoba menghitung kalau 0,4 meter ini bisa terjaga, komitmen mengurangi gas rumah kaca 29% tanpa kegiatan apapun sudah bisa selesai.
Mengenai permen pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut, katanya, diatur cara pemulihan ekosistem gambut, tak hanya di fungsi budidaya, juga fungsi lindung yang mengalami kerusakan.
“Kubah gambut dalam kawasan usaha yang masih utuh, wajib dipertahankan sebagai wilayah lindung. Kalau sudah terlanjur ada budidaya, setelah dipanen, dilarang ditanam kembali namun wajib pemulihan.”
Karliansyah mengatakan, pemulihan kerusakan ekosistem gambut di usaha budididaya, menjadi tanggungjawab pemilik usaha paling lambat 30 hari sejak diketahui ada kerusakan atau kebakaran.
“Pemulihan didahului dengan revisi rencana kerja usaha. Jika dalam 30 hari tidak ada perbaikan, menteri, gubernur, bupati atau walikota sesuai kewenangan masing-masing bisa menetapkan pihak ketiga untuk pemulihan fungsi ekosistem gambut dengan beban biaya kepada penanggungjawab usaha,” katanya.
KLHK memberikan waktu enam bulan kepada penanggungjawab usaha menyesuaikan tata air, tiga bulan harus mampu pada posisi 0,4 meter sesuai aturan. Selain itu, penanggungjawab usaha juga wajib revisi RKU, dokumen rencana usaha dan dokumen rencana pengelolaan. Lalu wajib mengajukan permohonan perubahan izin lingkungan sebagai akibat perubahan fungsi ekosistem gambut.
“Jika tidak dilakukan, sanksi pertama adalah paksanaan pemerintah, bisa jadi pembekuan izin, pencabutan izin dan terakhir pidana.”
Ida Bagus Putera, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari menjelaskan, mengenai permen pembangunan HTI.
“Implikasinya terhadap HTI perlu perubahan RKU. Ini perubahan simpel dari P.12, menyelipkan beberapa ayat atau pasal baru ke dalam P.12. Dampak perubahan ini ke HTI di lahan gambut.”
Sebaliknya, jika areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung, namun belum ada tanaman, harus dipertahankan sebagai ekosistem gambut teralokasi sebagai kawasan lindung. Untuk tanaman pokok jadi fungsi budidaya, penanggungjawab usaha bisa melanjutkan usaha dengan tetap menjaga fungsi hidrologis.
“Jika tanaman kehidupan jadi fungsi lindung, kayu dipanen sekali, diganti jenis asli selanjutnya jadi kawasan lindung.”
Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, penyusunan Permen ini sudah melalui proses diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak yang relevan guna memperkuat substansi aturan yang membawa semangat perlindungan ekosistem gambut.
“Dengan empat permen ini sudah pasti akan menguatkan PP 57. Kita ingin semua serentak pemulihan ekosistem gambut mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku.”