Pemerintah Yakin Investasi Energi Terbarukan Tetap Menarik

 

Sejumlah kalangan menilai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12/2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) guna penyediaan listrik akan membuat investasi pembangkit jenis ini lesu. Sebaliknya, pemerintah menilai, dengan ketentuan baru harga beli listrik PLN ini, tetap akan menarik bagi investor pembangkit listrik, terutama pada 13 wilayah prioritas pemerintah.

Yunus Saefulhak, Direktur Jenderal Panas Bumi mengatakan, 13 wilayah prioritas yakni biaya pokok produksi (BPP) setempat lebih tinggi dari BPP nasional.

“Potensi EBT di 13 wilayah prioritas ini sangat besar, sekitar 210 gigawatt. Investasi menarik, terbukti dari kesanggupan pelaku usaha, kajian dan kontrak eksisting,” katanyadi Jakarta, awal pekan ini.

Ketigabelas wilayah itu yakni,  Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.

 

Baca juga: Pemerintah Baru Keluarkan Harga Beli Listrik Energi Terbarukan, Bagaimana Penilaian Mereka?

 

Sudah ada 13 kesepakatan power purchase agreement (PPA) antara PLN dan independent power purchase (IPP) atau badan usaha  di enam wilayah yakni PLTA Manippi di Sulawesi Selatan barat (10 MW), PLTA Poso dan Lahendong V dan VI di Sulawesi Tenggara (235 MW), PLTA Asahan I,  PLTA Wampu, PLTP Sarulla, PLTP Sibayak, PLTP Sorik Merapi (900 MW) di Sumatera Utara. Lalu, PLTP Jaboi di Aceh (10 MW), PLTP Atadei dan PLTP Sokoria di NTT (30 MW), PLTBM Bangka dan PLTBM Belitung di Bangka Belitung (12 MW).

“Ini harga di bawah Permen 12/2017,” katanya.

Trend harga EBT global,  ucap Yunus, mengalami penurunan signifikan seperti PLTS di Jerman, Uni Emirat Arab, India, dan Peru, termasuk harga kendaraan mobil listrik Tesla.

“Beberapa negara sekarang mulai mengurangi insentif EBT seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat.”

Mengutip data International Renewable Energy Agency (IRENA), sebuah organisasi antar pemerintah untuk energi berkelanjutan, katanya, harga listrik tenaga surya di 16 negara saat ini kurang US$10 sen/kWh. Enam negara dibawah US$5 sen/kWh yakni Uni Emirat Arab, Chile, Peru, Meksiko, Amerika Serikat dan Saudi Arabia.

Selain itu, harga PLTS rooftop di Jerman juga turun 75% selama 10 tahun, atau 13% per tahun.

Keberhasilan negara-negara ini menurunkan harga, katanya, tak lepas dari prosedur dan jadwal lelang yang jelas. Juga, kemudahan pinjaman lunak, pajak rendah, penugasan pengambil alih terpercaya dan visi jangka panjang.

Di Indonesia, katanya, peluang investasi EBT masih terbuka dan ekonomis dengan BPP nasional US$7,5 sen/kWh. Untuk PLTS, PLTA, PLTBm, PLTBg, dan PLTB dengan harga beli listrik 85%, tersedia potensi sekitar 200 gigawatt.

Untuk PLTP dan PLTSa, menurut permen ini harga beli listrik 100% BPP, tersedia potensi sekitar 9,6 gigawatt.

Keyakinan pemerintah soal investsi ini tetap menarik, juga berdasarkan beberapa pertemuan bilateral Indonesia dengan negara asing yang berminat pembangkit EBT.

Dari pertemuan Menteri ESDM, Ignasius Jonan dengan duta besar Jerman dan perwakilan Siemens pada 1 Februari 2017, menarik perusahaan ini menjajaki peluang investasi.

“Awalnya Siemens belum memahami sepenuhnya kebijakan Permen 12/2017. Setelah mendapatkan penjelasan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, mereka menyatakan investasi EBT di Indonesia Timur masih menarik. Akan mengkaji atau penjajakan.”

Pada 16-17 Februari, KESDM juga menandatangani kesepahaman dengan Menteri Kebijakan dan Energi Swedia untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga angin.

“Forum B to B (bussiness to bussiness-red) Indonesia-Swedia juga telah dilakukan.”

Dari dalam negeri, lanjut Yunus, KESDM dapat dukungan dari PT.Pindad, badan usaha milik negara produsen peralatan pertahanan keamanan yang dapat memproduksi mesin listrik, generator, blade, produk tempa dan cor serta alat berat komersil lain.

Pindad, mampu mendukung EBT untuk desain, manufaktur, teknologi bayu, gelombang laut atau sungai, panas bumi, biomass, dan lain-lain.

Pada 17 Februari 2017, katanya, Direktur Utama Pindad menyatakan sanggup mendukung pembangunan pembangkit surya dan bayu kurang 10 megawatt di Indonesia Timur.

“Terutama NTT dan Papua, dengan harga mengacu Permen 12/2017. Pindad telah berpengalaman pembangkit bayu di Samas, Pulau Rote, NTT, dan PLTP Kamojang.”

 

Harus harga wajar

Jasman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, mengatakan, acuan Indonesia  untuk harga wajar dan efisien, dalam menetapkan harga beli EBT, jadi acuan negara-negara lain. Dia mencontohkan, Tiongkok, meski gencar mengembangkan EBT, namun penggunaan batubara masih cukup besar yakni 66%.

“Memang turun dari 70% menjadi 66%, tapi (batubara) masih cukup besar,” katanya.

Begitu juga India, meski ekspansi EBT besar-besaran namun dengan syarat tak menggangu pertumbuhan ekonomi negara. Untuk itu, katanya, dalam penyediaan listrik EBT daya saing harus menjadi prioritas.

Target Indonesia, mengurangi emisi 23% pada 2023 tetap harus tercapai dengan efisiensi harga pembangkit.

Sejak 2013, pemerintah memberlakukan perubahan kebijakan tarif dalam penentuan tarif listrik. Jika sebelum 2013, tarif dihitung dari BPP ditambah 7% BPP sebagai margin jadi tak ada insentif agar lebih efisisen.

Sejak 2013 pula, dengan tarif listrik keekonomian, dihitung berdasarkan asumsi tertentu. “Untuk meningkatkan margin, harus lebih efisien.”

Margin tarif listrik keekonomian, katanya, didapat dari tarif keekonomian dikurangi BPP. Asumsinya, tarif keekonomian pada 2013 yakni persentase bahan bakar dalam energi 9,7%, asumsi kurs US$1 setara Rp9.300. Penerapan tarif penyesuaian untuk menutup perubahan biaya diluar kendali PLN yakni Indonesian Crude Price (ICP), kurs dan inflasi.

Untuk 2017, total anggaran APBN untuk BPP Rp291,83 triliun dengan asumsi kurs Rp13.300 per US$ dan ICP 45 US$ per barel. BPP terdiri dari 38,3% bahan bakar dan minyak pelumas, 25,9% pembelian listrik dan sewa pembangkit, 8,5% pemeliharaan. Lalu, 6% kepegawaian, 10,8% penyusutan aktiva tetap, 8,6% bunga pinjaman dan 2% administrasi.

Jarman bilang, penentuan BPP tak sembarangan. Badan usaha dapat mengusulkan BPP namun penetapan oleh Menteri ESDM.

Menteri mengacu pada kajian audit evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun sebelumnya. Lantas setiap bulan, melalui P3B, akan ada laporan kepada Menteri ESDM untuk melihat transaksi dispatcher.

“Kontrak yang ada tetap dilakukan. Ini mendorong efisiensi. Hanya yang bisa kasih harga wajar bisa jadi pemasok,” ucap Jarman seraya mengatakan, Permen 12/2017 tak berlaku surut terhadap kontrak yang berjalan.

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,