Penegakan Hukum Terpadu Mulai Didorong untuk Penanganan Perdagangan Satwa Ilegal. Seperti Apa?

Diburu, diperjualbelikan dan dipelihara. Demikianlah nasib satwa yang hidup di tanah indonesia, akhir – akhir ini. Meski negara ini tersohor akan kelimpahaan keanekaragaman hayati serta kekayaan alam, namun nyatanya hal itu masih bias jika berbicara soal kelestariannya.

Di alam liar, satwa – satwa itu seolah dipaksa keluar dari hutan akibat aktivitas pembukaan kawasan. Habitat mereka disulap sedemikian rupa demi melancarkan kepentingan industri maupun perkebunan, sehingga lahan yang tadinya hijau berubah warna menjadi terbuka dan rusak.

Ditempat semestinya mereka hidup dan berkembang biak pun kondisinya tidak berbeda jauh. Mereka masih saja terus diburu atas nama rupiah untuk memenuhi permintaan pasar yang luas. Tak jarang permasalahan tersebut sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

 

 

Aspek biosfer maupun hidrologis yang telah terbangun secara alami terintregritas dalam satu kesatuan ekosistem flora dan fauna. Seakan terdegradasi bersamaan dengan lunturnya nilai kearifan lokal yang telah ada sejak zaman nenek moyang.

Menurut IUCN, Indonesia adalah salah satu dari 17 negara megadiversivitas, yang memiliki keanekaragaman yang melimpah. Meskipun hanya menempati 1,3% dari luas bumi, Indonesia mempunyai 12% mamalia dunia, 7.3% amfibi dan reptil dunia, dan 17% burung-burung dunia.

Indonesia memiliki 185 spesies mamalia, 131 spesies burung, kedua terbesar di dunia, 64 spesies amfibi dan reptil, 149 spesies ikan, 288 spesies moluska dan invertebrata dan 408 spesies tanaman. Tak tanggung – tanggung jumlahnya sekitar 1,200 spesies fauna dan flora. Namun, saat ini sebagian besar terancam punah.

Dari data yang dikumpulkan Mongabay, selama kurun waktu 2 dekade terakhir telah terjadi penurunan cukup serius mengenai jumlah populasi spesies akibat eksploitasi berlebihan.  Selain itu juga perdagangan satwa liar merupakan ancaman terbesar seiring dengan hilangnya habitat.

Diduga, Indonesia merupakan sumber, tujuan, dan bahkan tempat transit penyelundupan satwa liar. Ditaksir, nilai dari perdagangan ilegal ini diperkirakan bisa mencapai US$ 1 milyar per tahun.

Banyak kasus sindikat perburuan dan perdagangan yang terus berulang setiap tahunnya. Mulai dari perburuan harimau sumatera, penyelundupan burung endemik hingga penjualan tenggiring yang bernilai fantastis.

 

Jajaran KLHK menyerahkan ke Kejaksaan, barang bukti sitaan, dan tersangka perdagangan satwa ilegal di Jakarta. Foto: Jhon

 

Tentu hal ini menimbul kerugian besar baik dari segi ekonomi, lingkungan ataupun sosial. Padahal umumnya, perburuan dilakukan oleh masyarakat lokal. Dalam pola perdagangan satwa liar, masyarakat lokal hanya mendapatkan keuntungan sangat sedikit ketimbang pihak pedagang.

Alhasil, masyarakat lokal juga yang mesti menanggung kerugiannya. Mulai dari kepunahan satwa , kerusakan ekologi yang berpengaruh langsung terhadap lingkungan sosial setempat.

Ironisnya lagi di negeri ini juga tumbuh subur kelompok pecinta satwa atau animal lovers yang terkadang banyak memelihara satwa dilindungi. Dengan berkedok konservasi,  kelompok penghobi ini sering ikut andil melakukan transaksi perdagangan, bahkan bertukar satwa secara online ataupun pada saat pertemuan tertutup.

 

Penegakan Hukum

Sejauh ini, penegakan hukum atas kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia masih sangat rendah. Hal itu disampaikan Dwi Adhiasto Nugroho, manajer program unit kejahatan satwa liar lembaga Wildlife Conservation Society (WCS), sebuah lembaga yang bergerak pada penelitian konservasi keanekaragaman hayati.

Menurutnya, statistik penanganan kasus kejahatan terhadap satwa liar terhitung sejak 2003 – 2016 berjumlah  470 dengan rata-rata mendapat vonis hukuman dibawah 2 tahun penjara. Dia menduga rendahnya vonis ini diakibatkan isu satwa liar yang masih dipandang kurang penting dan pemahaman akan konservasi satwa liar yang masih kurang dicerna oleh para jaksa.

Sebagaimana ditulis di Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Seyogyanya, landasan tersebut telah memberikan kerangka payung hukum. UU dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, termasuk konservasi satwa liar, juga sudah diatur di Pasal 33 Undang-Undang Dasar, ayat 3 dan 4.

UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Dilanjutkan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

 

BBTNGL dan Polres Langkat menunjukkan barang bukti kulit Harimau Sumatera yang mereka amankan dari tiga pelaku perdagangan satwa di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

 

Pada 21 Februari 2017, WCS menggelar pelatihan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan kapasitas para jaksa se-Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Terutama  dalam hal penanganan kasus perdagangan satwa secara ilegal, kejahatan lintas negara yang terorganisir, serta mendorong penggunaan ketentuan hukum lain (pendekatan hukum terpadu multidoors) dalam penanganan kasus kejahatan terkait satwa yang dilindungi.

Salah satu wujud nyata upaya serius penegakan hukum terpadu dalam lingkup proses peradilan adalah dengan munculnya Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI dengan nomor B-3000/E/EJP/09/2016 tentang perihal Optimalisasi Penanganan Perkara terkait Kejahatan Satwa Liar, pada tahun lalu.

Selama 2016, Kejaksaan Agung telah menangani kasus mengenai lingkungan hidup 58 perkara, konservasi sumberdaya alam hayati 65 perkara, pertambangan minyak bumi 243 perkara dan kehutanan 879 perkara.

Peningkatan ini dapat menyesatkan, bila melihat pada estimasi kasus satwa liar yang terus berjalan sporadis dengan berbagai macam modus.  Pemberantasan perdagangan satwa liar, seperti terhalang political will. Terdapat juga celah-celah hukum dan inkonsistensi yang kadang menghalangi keberhasilan penanganan kasus dari suatu proses tuntutan.

Perbaikan  hukum untuk memperkuat lembaga penegakan hukum pemerintah, meningkatakan kolaborasi antar lembaga, dan membangun kesadaran hukum dan peraturan, merupakan hal sangat penting untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

 

Seekor siamang yang diserahkan sukarela dari dari Tempat Wisata Kampung Gajah, Lembang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. BBKSDA Jabar kembali mendapatkan penyerahan satwa sebanyak 16 ekor satwa terancam punah yang rencananya akan segera direhabilitasi sampai akhirnya dilepasliarkan. Foto : Donny Iqbal

 

Penyerahan Satwa

Sebelumnya, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat berhasil mengamankan 16 ekor satwa yang dilindungi di tempat wisata Kampung Gajah Wonderland di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, akhir pekan lalu.

Kepala BBKSDA Jabar, Sustyo Iriyono, menuturkan, 16 ekor satwa yang ditemukan petugas yakni owa jawa sebanyak 3 ekor, siamang sebanyak 2 ekor, binturong 2 ekor, tarsius 4 ekor, julang mas sebanyak 1 ekor, kakaktua jambul kuning 2 ekor, merak 1 ekor, dan elang brontok 1 ekor.

Menurut informasi, penyerahan itu dilatarbelakangi karena adanya pelaporan dari masyarakat terkait keberadaan satwa langka di tempat wisata tersebut. Setelah laporan ditindaklanjuti dan diterjunkan tim, akhirnya terjalin kesepakatan untuk diserahkan secara “sukarela” ke pihak berwenang agar dilakukan proses rehabilitasi hingga pelepasliaran kembali.

Ihwal, kapan pemeliharaan satwa dilindungi sebanyak itu, Sustyo enggan membahas lebih lanjut. Menurutnya, saat ini pihaknya masih fokus melakukan pendekatan secara preventif . Namun, kata dia, secara bertahap akan mulai menerapkan pendekatan hukum agar menimbulkan efek jera.

Tercatat, sudah cukup banyak kasus penyerahan satwa langka secara “sukarela” yang ditangani BBKSDA Jabar. Tetapi siklusnya justru terkesan monoton, diserahkan-direhabilitasi-dilepasliarkan. Belum ada tindakan cukup signifikan memberantas fenomena perburuan yang makin massif.

 

Tangan seekor owa jawa yang disentuh relawan, yang diserahkan sukarela dari dari Tempat Wisata Kampung Gajah, Lembang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. BBKSDA Jabar kembali mendapatkan penyerahan satwa sebanyak 16 ekor satwa terancam punah yang rencananya akan segera direhabilitasi sampai akhirnya dilepasliarkan. Foto : Donny Iqbal

 

Pelepasliaran

Di waktu yang tidaklama, Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia bekerja sama dengan BBKSDA Jawa Barat, kembali melakukan pelepasliaran 10 kukang jawa.

Pelepasliaran kukang dilakukan di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sebelum dilepasliarkan pihak IAR membutuhkan waktu sekitar 6 bulan hingga 1 tahun untuk merehabilitasi kondisi kukang.

Pusat Rehabilitasi IAR yang berlokasi di kaki Gunung Salak Bogor, kebanyakan melakukan rehabilitasi dari hasil serahan masyarakat dan sitaan tangkap tangan sindikiat perburuan dan perdagangan.

Menurut penuturan IAR, dari 10 kukang jawa 2 diantaranya mengalami luka yang cukup serius. Tangan kanan kukang berkelamin betina mengalami luka parah seperti terkena jerat. Terpaksa seluruh jarinya diamputasi agar infeksi tidak menyebar.

Sementara kukang jantan terdapat luka pada bagian dada, perut dan tangannya akibat sengatan listrik. Beruntung kondisi kedua kukang masih liar dengan formasi gigi yang lengkap sehingga pemulihannya berangsur cepat hingga waktu pelepasliaran.

Sejauh ini, sejak tahun 2014 sekitar 25 kukang hasil rehabilitasi IAR dan serahan warga sudah dilepasliarkan di SM Gunung Sawal. Namun, di wilayah Jawa Barat angka perburuan dan perdagangan masih lebih tinggi dari upaya konservasi.

 

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) berhasil dilepasliarkan kembali ke habitatnya di kawan Suaka Marga Satwa Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. sejak tahun 2014 sekitar 25 kukang hasil rehabilitasi IAR dan serahan warga sudah dilepasliarkan di SM Gunung Sawal. Namun, di wilayah Jawa Barat angka perburuan dan perdagangan masih lebih tinggi dari upaya konservasi. Foto : IAR Indonesa

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,