Unggah Foto Hasil Berburu Monyet Hitam Sulawesi, Netizen Ini Malah Bersyukur

Akun Facebook Rifka Cay Ana mengunggah foto hasil buruan 3 ekor monyet hitam. Satwa liar ini nampaknya sudah terkapar tak bernyawa. Di foto itu, pemilik akun bersyukur dengan hasil tangkapan, lalu menuliskan keterangan, “Trima kasih atas segala berkat yg engkau berikan kpd km Tuhan…”

Tak lama setelah foto hasil buruan diunggah, ratusan netizen langsung memberi tanggapan. Ketika berita ini dituliskan, foto tersebut sudah dikomentari sebanyak 347 kali dan disebarkan oleh 235 pengguna facebook. Mereka umumnya menyesalkan tindakan tersebut dan berharap pemilik akun dikenai sanksi hukum.

Profauna, dalam akun facebooknya, kembali mengunggah foto perburuan Macaca tersebut. Kepada masyarakat, Profauna meminta informasi terkait keberadaan pemilik akun Rifka Cay Ana. Lewat informasi itu, mereka berencana akan meneruskan kasus ini pada aparat penegak hukum.

“Apakah ada yang tahu di mana ini terjadi? Profauna akan meneruskan kasus ini ke aparat penegak hukum,” demikian dituliskan dalam akun facebook Profauna.

 

 

Informasi yang dibagikan facebook Profauna mendapat respon 88 komentar dari netizen dan dibagikan sebanyak 333 kali.

Sementara, Pitra Ratulangi, mantan Dirreskrimum Polda Sulut, turut membagikan foto tersebut dalam grup publik bernama Manguni Team 123. Pada keterangan foto, dia menyebut, perburuan satwa jenis Macaca yang diunggah ke media sosial sebagai pidana terkait konservasi sumber daya alam (KSDA).

“Pidana KSDA. Masih perlu banyak sosialisasi dari instansi bersangkutan yang khusus mengurusi perlindungan sumber daya alam hayati dilindungi, karena sudah dibiayai Negara, khusus untuk cegah hal-hal seperti ini,” demikian dituliskan Pitra Ratulangi.

Manguni Team 123 merupakan grup publik dalam media sosial facebook yang memiliki lebih dari 100 ribu anggota. Foto yang dibagikan Pitra Ratulangi berhasil mengumpulkan 334 komentar dan dibagikan sebanyak 55 kali.

Belakangan, pemilik akun bernama Rifka Cay Ana mengaku tidak tahu bahwa satwa yang diunggahnya ke media sosial merupakan satwa dilindungi. Kepada masyarakat, dia menyatakan permintaan maaf dan berjanji tidak akan mengulang perbutannya. Bahkan akun tersebut juga sudah menghilang dari facebook.

 

Foto dari akun facebook Rifka Cay Ana yang memperlihatkan 3 ekor monyet hitam atau yaki. Foto : akun facebook Rifka Cay Ana

 

Perlindungan Hukum Macaca

Berdasarkan penelusuran Mongabay, satwa dalam foto tersebut berjenis Macaca.  Dari 23 jenis Macaca di dunia, 7 di antaranya tersebar di Sulawesi, yaitu, Macaca maura, M. tonkenaM. hecki,M. nigrescensM. nigraM. ochreata dan M. brunnescens.

Meski demikian, beberapa pakar primata yang dihubungi, belum bisa memastikan spesies Macaca dalam foto itu. Bisa Macaca nigra, bisa juga Macaca nigrescens.  Namun, yang pasti, kedua jenis Macaca ini, masuk dalam PP 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Dalam PP tersebut, kedua jenis Macaca itu masih ditulis dengan nama Cynopithecus niger. Artinya, baik M. nigra maupun M. nigrescens, berstatus dilindungi hukum Indonesia. Kemudian, seturut daftar merah IUCN, M. nigrescens dikategorikan rentan (vulnerable). Sementara, M. nigra, terancam punah (critically endangered).

William Tengker, kepala seksi Gakkum Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi – Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan mengatakan, aparat berwenang langsung melakukan koordinasi. Saat ini, pihaknya sedang melakukan identifikasi identitas pemilik akun, tempat tinggal maupun lokasi perburuan.

“Akan kami tindak lanjuti bersama BKSDA Sulut. Silakan hubungi mereka (BKSDA Sulut),” ujar William, Sabtu (25/2/2017).

 

Screenshoot foto-foto dari akun facebook Rifka Cay Ana yang memperlihatkan 3 ekor monyet hitam atau yaki. Foto : akun facebook Rifka Cay Ana

 

Hendrieks Ruindengan, Kabag Tata Usaha BKSDA Sulut, ketika dihubungi Mongabay, membenarkan rencana penindakan tersebut. Berdasarkan identifikasi sementara, dia memperkirakan pemilik akun merupakan penduduk di desa Tambun, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.

“Akan dilakukan langkah hukum. Awalnya berupa surat panggilan menghadap untuk dimintai keterangan,” jelasnya.

Meski demikian, Hendrieks tak yakin foto perburuan satwa bisa menjadi bukti yang efektif dalam proses hukum. Untuk mempercepat proses hukum, masih dikatakannya, maka aparat berharap bisa mendapatkan bukti berupa bagian utuh maupun bagian tertentu dari tubuh satwa.

“Bukti (foto) facebook belum kuat. Kecuali memang ada yang melihat langsung dan membuat laporan. Sehingga, kita bisa sangkakan melanggar UU No.5 tahun 1990,” terang Hendrieks.

John Tasirin, pakar Biodiversitas Universitas Sam Ratulangi mengatakan, meski tidak cukup kuat menjadi alat hukum untuk menjerat pelaku, namun dia berharap, aparat berwenang bisa menggunakan bukti foto untuk mengembangkan kasus.

“Jika diselidiki, foto itu bisa jadi petunjuk untuk menemukan cerita dan fakta yang sebenarnya di lapangan. Jangan hanya didiamkan,” kata John menambahkan, “Mungkin si ibu tidak terlibat. Mungkin si ibu bisa menjadi saksi dan petunjuk pada pelaku. Mungkin si ibu terlibat dalam penadahan. Banyak.”

 

Satu kelompok yaki di Cagar Alam Batu Putih, Tangkoko, Sulut. Foto: Sapariah Saturi

 

Kurangnya Pendidikan

Menurut John Tasirin, perburuan Macaca untuk konsumsi masih terus terjadi dikarenakan prinsip pendidikan dasar yang memadai. Selain itu, perhatian pada alam kurang dielaborasi pada kurikulum pendidikan dasar.

Selain faktor pendidikan, John Tasirin menilai, asumsi yang dibangun terkait konsumsi yaki juga berpengaruh pada terus berlanjutnya praktik berburu untuk dikonsumsi. Namun, asumsi tersebut menurutnya hanya memberi efek placebo.

“Biasanya orang bilang, yaki bagus untuk obat ini-itu, bisa bikin kuat laki-laki, dan seterusnya. Itu tidak ada yang benar. Yang terjadi hanya semacam efek magis, efek placebo bahwa sudah makan yaki. Itu men-drive state of mind orang yang makan tadi,” jelasnya.

Padahal, menurut Saroyo Sumarto, pakar Primatologi Universitas Sam Ratulangi, konsumsi monyet berpotensi menularkan penyakit. Sebab, lanjut Saroyo, dari sisi evolusi, manusia memiliki kedekatan dengan spesies monyet, termasuk yaki.

Simian retrovirus, kata dia, merupakan virus kelompok monyet yang mungkin ditularkan pada manusia. Selain itu, dalam kadar tertentu, kontak fisik antara manusia dan monyet berisiko menularkan penyakit seperti polio dan hepatitis.

“Terkadang, virus yang ditularkan tidak langsung terasa. Tahun-tahun berikutnya, manusia bisa mulai merasakan penyakit yang ditularkan yaki,” ujar Saroyo ketika diwawancarai Mongabay 12 September 2013 silam.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,