Berebut Lahan di Lembah Masurai (Bagian 1)

 

 

Pagi terasa sangat dingin, uap panas secangkir kopi menghangatkan tubuh yang sedikit menggigil. Meski sudah menunjukkan pukul 08.00, udara masih teras dingin.

Zulhadi Kepala Desa Renah Alai terus bercerita soal perambahan Taman Nasional Kerinci Seblat. Dia bilang, perambahan Kerinci Seblat oleh masyarakat Desa Renah Alai, Jangkat,  Kabupaten Merangin, Jambi, sebagai bentuk kemarahan masyarakat atas lemahnya pengawasan pemerintah.

Bermula dari aksi pengusiran perambah oleh masyarakat Desa Renah Alai karena mulai memasuki wilayah adat Serampas.

Selama ini, katanya,  masyarakat Renah Alai patuh pada aturan adat, tak ada membuka wilayah ini. Tiba-tiba,  ada perambah–notabene masyarakat Desa Sungai Lalang– mencoba memasuki kawasan adat ini.

Dia menuding masyarakat “pendatang” tak tahu menahu batas adat. Keadaan ini memicu kemarahan masyarakat. Pengusiran ini berakhir penangkapan tiga oknum perambah tetapi tak meredam keinginan penduduk baru untuk memasuki kawasan adat.

Desa Renah Alai dan Desa Sungai Lalang,  berada di dua kecamatan berbeda. Desa Sungai Lalang di Kecamatan Lembah Masurai. Desa Renah Alai di Kecamatan Jangkat.

Setelah pengusiran, katanya, ada pertemuan dengan warga Desa Sungai Lalang,  tetapi mereka tetap bersikukuh dengan batas wilayah desa dan kecamatan.

“Mereka bilang jika ini masih masuk Desa Sungai Lalang. Mereka juga tak mau menerima batas-batas wilayah adat kami,” katanya.

 

Wilayah perbatasan Desa Renah Alai dan Desa Sungai Lalang, yang ditebangi perambah. Foto: Elviza Diana

 

Kejadian berulang, masyarakat Desa Sungai Lalang kembali memasuki wilayah mereka. Akhirnya,  masyarakat Renah Alai, kesal.

Mereka menebang beberapa titik di kawasan adat sekaligus TNKS sebagai bukti penanda wilayah adat dan menekan warga Desa Lalang yang akan masuk. “Ini sangat disayangkan, karena tindakan masyarakat menebang hutan, meskipun hanya sebagai penanda dan menghentikan perambah masuk,” katanya.

Desa Renah Alai, salah satu dari lima desa yang tergabung dalam masyarakat hukum adat Serampas. Desa-desa itu, yaitu Desa Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas dan Renah Alai.

Aturan adat dalam mengelola sumber daya alam terutama hutan, masih berlaku ketat.

Ishak Pendi, Sekretaris Lembaga Adat Serampas mengatakan, beberapa aturan dan norma pemanfaatan kawasan hutan masih berlaku hingga kini, seperti pemberlakukan tanah ajum tanah arah bagi Masyarakat Serampas.

Tanah ajum, tanah yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat dengan menanam tanaman muda dan semusim. Sedangkan tanah arah, yaitu wilayah buat pemukiman.

“Tanah arah ini hanya untuk keluarga baru dan penerima harus sudah bisa mengumpulkan bahan bangunan untuk membuat rumah. Kami memberikan tempo atau tenggat disebut timpo ramu dan timpo tegak.”

“Maksimalnya dua tahun, jika pembangunan tak terlaksana, penerima tanah arah akan didenda atau kena sanksi adat,” ucap Ishak.

Ada lagi aturan pemanfaatan tanah ngarai. Tanah ngarai biasa di kawasan terjal dan topografi curam. Dalam adat, kawasan ini tak boleh diolah sama sekali baik perkebunan maupun penebangan kayu.

“Masyarakat juga tak boleh membuka kawasan berbatu misal, perbukitan, karena akan terjadi longsor kalau aturan dilanggar,” katanya.

Larangan pembukaan hutan juga berlaku di hulu sungai. “Kami menyebut hutan di hulu aik, tak boleh dibuka. Kami sangat tergantung sungai sebagai irigasi pertanian dan sumber air bersih. Masyarakat tak boleh menebang pohon cempedak, manggis, durian, petai, dan seri. Itu tanaman peninggalan nenek moyang orang Serampas.”

Pengaturan terkait pembagian kawasan selalu diumumkan setiap acara kenduri adat. Biasa, setiap seminggu sesudah Lebaran.

 

Lembah Masurai yang masuk Taman Nasional Kerinci Seblat. Foto: Elviza Diana

 

Menurut Ishak, ninik amak akan menentukan tanah ajum dan tanah arah ini. Artinya, permulaan sawah dan tanaman semusim lain. Jika ada anggota masyarakat melanggar aturan, akan kena sanksi  sesuai kesalahan.

“Denda adat mulai seekor ayam, beras segantang beserta selemak semanisnya, hingga kambing, beras 100 gantang beserta selemak semanisnya. Hingga kini,  masyarakat Serampas masih memegang aturan-aturan adat,” katanya.

 

 Pemicu konflik

Sejak 2016, perambahan TNKS masuk ke hutan adat Marga Serampas perlahan mulai dilakukan warga dari daerah lain.

Yusuf, Depati Mudo Menggalo mengatakan,  kecemasan makin meluasnya wilayah perambahan hingga menyasar lokasi hutan adat.

“Kami selaku ninik mamak dan pemangku adat menyayangkan tindakan spontan masyarakat terutama Desa Renah Alai yang membuka kawasan sebagai penanda wilayah Adat Serampas. Mereka lakukan itu tetap saja salah.”

Kehadiran orang dari luar juga dikeluhkan masyarakat lokal, karena rata-rata mereka tak memahami adat-istiadat wilayah itu.

Untuk mengantisipasi orang luar ke wilayah adat Serampas, katanya, mereka bikin aturan tambahan. “Kita juga menyepakati tak menerima orang luar menjadi anak kemenakan, maupun sebagai buruh tani dan bekerja mengelola lahan.”

Mereka juga menyepakati tak ada perkawinan dengan masyarakat pendatang terutama dari selatan (Sumatera Selatan dan Bengkulu-red).

“Jika ada warga melanggar aturan adat, akan diusir dari kampung. Aturan itu berlaku mengingat makin banyak orang luar datang dan merambah.”

Mamak Agis, bilang, mereka memilih ke Pasar Melingkung yang berjarak sekitar delapan kilometer daripada Pasar Sungai Tebal, sejauh 16 kilometer untuk jual beli.

Negara, kata Yusuf, harus hadir agar permasalahan ini tak berujung pada konflik lebih luas. “Kalau negara tak tegas menghentikan perambahan kami akan menjadi penonton di kampung sendiri. Selama ini, masyarakat kami taat hukum, kehadiran mereka seenaknya saja jadi masalah. Apalagi kalau menyasar hutan adat kami.”

 

Persawahan di wilayah Masyarakat Adat Serampas dengan latar hutan nan lebat. Foto: Elviza Diana

 

Bukan ancaman

Kehadiran pendatang tak jadi soal bagi Masyarakat Serampas,  selama ini. Kejadian-kejadian bermuasal dari perambahan yang jadi wilayah adat Masyarakat Serampas, membuat mereka berkonflik.

Bermula dari pengusiran perambahan oleh masyarakat Desa Renah Alai Desember 2016. Konflik lahan antara Desa Renah Alai dan Desa Sungai Lalang sempat mereda, difasilitasi aparat dan pemerintahan. Berselang dua minggu, bentrok kembali terjadi.

Warga Desa Sungai Lalang kembali mencoba merambah batas-batas desa yang sudah disepakati dengan Desa Renah Alai.  Menurut Yusuf, wilayah yang dirambah daerah hulu air bagi masyarakat Renah Alai.

“Kita sudah menyepakati sama-sama tak aktivitas di lokasi itu, namun mereka tetap pembersihan. Bahkan mengancam tak mau meninggalkan lokasi meski tumpah darah. Itu memicu emosi warga,” katanya.

Kawasan yang dirambah merupakan hutan hulu, penyimpan air bagi Desa Renah Alai. “Mereka kucing-kucingan dengan tim patrol kami. Kalau kami tak ada mereka tetap beraktivitas seperti pembersihan lahan.”

Ashari, Serikat Petani Indonesia, membenarkan ada oknum pendatang merambah, tetapi tak di hutan adat Desa Renah Alai. “Memang ada sudah menanam kopi, umur sekitar dua tahun. Dia mengadu ke kami diusir masyarakat Desa Renah Alai. Tanaman kopi hanya untuk hidup. Itu bukan kawasan adat Renah Alai.”

Kedatangan warga dari beberapa daerah ini mulai sejak 1996, berawal dari kesuksesan petani asal wilayah Pagar Alam, Sumsel mengola areal bekas hak pengusahaan hutan (HPH) milik PT Serestra II dan PT Injafsin.

Hutan yang sudah bersih dari kayu ini terlantar. Ashari pendamping warga di Merangin tak setuju anggapan jika mereka disebut perambah dan pendatang haram.

“Para keluarga petani sudah ada terlebih dahulu sebelum keluar pengusulan perluasan TNKS dengan kawasan sekitar Sungai Sipurak seluas 14.000 hektar jadi bagian TNKS yang disebut Sipurak Hook. Ini tahun 2004. Sebelumnya,  petani mulai menanami kopi,” katanya.

Perluasan TNKS Sipurak Hook ini, memicu konflik yang berlarut-larut hampir 20 tahun. Konflik sempat memanas pada 2010. Ada aksi pengusiran di semua wilayah talang atau kebun-kebun masyarakat.

Kondisi ini tak menyurutkan mereka kembali menduduki kebun yang sudah dibuka.

Ashari bilang, jika ada anggapan kehadiran masyarakat pendatang mayoritas dari Sumsel, Bengkulu, dan Lampung jadi ancaman itu alasan mengada-ada.

“Kalau kami ancaman dari sisi mana? Tidak mungkin. Secara kesejarahan teman-teman di sini melalui ritual adat loh datangnya. Meminta izin dan mengikuti aturan adat, ada yang mengorbankan ayam, bahkan kerbau sesuai ritual adat di Luhak 16 ini.”

Isu rasial dalam konflik perebutan lahan ini, kata Ashari hanyalah oleh segelintir oknum-oknum elit adat untuk berbagai kepentingan.

” Kami menghargai hukum adat. Apalagi untuk masyarakat adat Marga Serampas. Kami tak mungkin mau merambah kawasan adat mereka.”

Ashari membenarkan, konflik batas wilayah antara masyarakat Sungai Lalang dan Desa Renah Alai, beberapa waktu lalu, sudah selesai. Dia melihat itu batas wilayah Desa Renah Alai.

“Saya datang ke sana langsung melihat peristiwa, tak ada bentrok. Semua masalah sudah diatasi,” katanya.

Ada oknum tuan tanah, tak ditepis. Suharman Dani, warga Dusun Sungai Tebal mengatakan, isu cukong tanah yang menguasai tanah memang benar ada. “Tuan tanah ada dari masyarakat pendatang maupun masyarakat lokal. Ini harus ditindak adil, hukum kan tak berpihak. Kami sama-sama warga negara.”

Untuk mengantisipasi ketidaknyamanan masyarakat lokal dengan pendatang, katanya, masing-masing perwakilan masyarakat pendatang mempunyai ninik mamak atau ketua kelompok. Jadi, berbagai masalah berkenaan mereka bisa melalui orang-orang itu.

“Kalau ada yang melaporkan masyarakat kami mencuri, berbuat onar, maupun melanggar adat istiadat bisa dilaporkan dengan masing-masing ketua kelompok dari daerah asal.”

Dia dituakan di masyarakat pendatang asal Bengkulu. “Segala perilaku tak mengenakkan bisa dilaporkan.” (Bersambung)

 

Danau Pauh, asri di kaki Gunung Masurai. Foto: Elviza Diana

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,