Cara Asyik agar Warga Tertarik  Berpartisipasi dengan Tempat Sampah Unik

Tempat sampah tidak harus berbentuk standar seperti tong. Agar lebih bisa menarik perhatian orang yang mau membuang sampah, tempat sampah pun bisa berbentuk kreatif seperti botol dan kemasan kotak.

Karena itulah sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders) terkait pengelolaan sampah meluncurkan kotak pengumpulan (dropping box) sampah kemasan pada Minggu (19/2) lalu di kawasan Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Peluncuran kotak pengumpulan sampah bersamaan dengan peringatan Hari Peduli Sampah Nasional.

Pihak yang hadir dalam peluncuran antara lain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pihak swasta, pengusaha pengelolaan sampah, komunitas peduli sampah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bupati Badung dan Wakil Bupati Jembrana, Bali juga hadir dalam acara setengah hari itu.

Ada dua bentuk kotak pengumpulan sampah kemasan yang diluncurkan yaitu botol dan kemasan karton. Masing-masing sesuai fungsinya. Wadah berbentuk botol untuk sampah-sampah botol plastik sedangkan yang berbentuk kemasan kotak untuk sampah kemasan kotak karton.

 

 

Direktur Pembangunan Berkelanjutan Aqua Danone Karyanto Wibowo dan dan Manajer Lingkungan Tetra Pak Indonesia Reza Andreanto secara simbolis membuka selubung penutup dua tempat pengumpulan sampah itu sebagai peluncuran dropping box. Mereka lalu menyerahkan secara simbolis kepada Bupati Badung Giri Prasta dan Wakil Bupati Jembrana Kembang Hartawan.

“Tujuan adanya dropping box adalah untuk pendidikan pengelolaan sampah sekaligus memberikan alat pemisah sampah itu sendiri, baik yang plastik ataupun kemasan karton,” kata Reza Andreanto. Dia menambahkan, Badung akan menjadi kabupaten percontohan bagaimana warga terlibat langsung dalam pemilahan sampah sejak awal.

Kotak pengumpulan sampah yang diluncurkan Minggu kemarin agak berbeda dengan tempat sampah umumnya. Tidak hanya bentuknya tapi juga bagian-bagian dari wadah tersebut.

Wadah berbentuk botol, misalnya, terdiri dari tiga bagian tempat untuk botol itu sendiri, untuk tutup, dan untuk plastik label. Masing-masing punya tempatnya. Wadah berbentuk kotak juga demikian. Ada untuk pipet dan kotak yang masing-masing terpisah. Menurut Reza, pemilahan bagian-bagian semacam itu merupakan bagian dari pendidikan kepada warga agar terbiasa memilah sampah. Sebab tiap bagian punya harga tersendiri.

Sebagai tahap awal, wadah-wadah itu akan dipasang di tiga lokasi toko berjaringan Circle K dan Hypermart. Untuk dropping box botol yang disponsori Aqua, akan diletakkan di tiga toko Circle K di Kuta serta Jalan Buluh Indah dan Jalan Teuku Umar, Denpasar. “Sampah botol yang terkumpul nantinya akan diambil oleh pengusaha daur ulang yang bermitra dengan Aqua Grup untuk diolah kembali menjadi barang yang bermanfaat,” kata Karyanto.

 

Diskusi tentang pengelolaan sampah di Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Diskusi Sampah

Sebelum peluncuran dropping box, para pemangku kepentingan juga melakukan diskusi tentang pengelolaan sampah. Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Ujang Solihin Sidik mengatakan selama ini pemerintah sudah membangun komitmen menangani masalah sampah.

“Dalam bulan ini akan ada Peraturan Menteri untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Hal itu sejalan dengan upaya menghentikan penggunaan tas plastik,” katanya.

Ujang menyatakan untuk sampah plastik dan karton, selama ini sudah banyak upaya untuk mengolahnya. Untuk itu dia mendorong agar sampah kemasan tidak dibuang begitu saja tapi digunakan ulang.

Menurut Ujang tantangan ke depan adalah menangani sampah kemasan fleksibel plastik atau sachet. Sampah jenis ini tidak laku karena tidak punya nilai. “Hanya jadi sampah semua,” lanjutnya.

Untuk menangani persoalan sampah, yang membuat Indonesia berada pada posisi kedua sebagai produsen sampah terbesar di dunia setelah China, perlu upaya dalam keseluruhan rantai dari hulu hingga ke hilir. Di sisi hulu, produsen-produsen semacam perusahaan air minum dituntut lebih mengurangi kontribusi mereka dalam menghasilkan sampah.

Aqua, misalnya, menurut Karyanto telah melakukan inovasi desain untuk mengurangi bobot kemasan dalam upaya mengurangi timbunan sampah. “Misalnya, kemasan 330 ml sudah dikurangi dari 12,5 gram menjadi 11 gram. Kami juga mengubah label dari label kemasan dari PVC menjadi PP yang lebih ramah lingkungan karena bisa didaur ulang,” katanya.

 

Sejumlah pedagang gotong royong menyapu sampah plastik di Pantai Kuta, Bali pada Selasa (03/01/2017). Sedikitnya perlu 3 kali menyapu tiap harinya karena sampah terus menerus terbawa arus. Foto Luh De Suriyani

 

Untuk penggunaan ulang (reuse), Aqua juga sudah menggunakan satu galon untuk puluhan kali penggunaan. Sedangkan untuk pendauran ulang (recycle), Karyanto mengklaim, pada tahun lalu Aqua telah mendaur ulang setidaknya 12 ribu ton botol plastik. Untuk mengumpulkan botol-botol bekas, Aqua bekerja sama dengan pemulung membuat recycle business unit (RBU) yang jumlah sampahnya mencapai 4.000 hingga 5.000 ton per tahun dari seluruh Indonesia.

“Kami juga melakukan pendidikan tentang sampah plastik ke sekolah-sekolah,” ujarnya. Aqua juga mendukung Bank Sampah di beberapa kota termasuk Jakarta, Bogor, dan Bali.

Tetra Pak, perusahaan pembuat produk kemasan, juga mengaku telah melakukan upaya mengurangi produksi sampah dalam kemasan-kemasaan mereka. Reza Andreanto, Manajer Lingkungan Tetra Pak Indonesia, mengatakan mereka menerapkan The Power of 3 untuk menangani sampah, yaitu kemitraan, produsen, dan konsumen.

“Kekuatan kemitraan kami wujudkan dalam bentuk kerja sama pengumpulan sampah-sampah dari kemasan kami bersama pelaku pengelolaan sampah,” katanya. Adapun kekuatan produsen diwujudkan melalui kampanye bersama ke sekolah-sekolah ataupun kamus. Terakhir, kekuatan konsumen dilakukan melalui kegiatan bersama terutama untuk peningkatan kesadaran (awareness). Ini jangka panjang ddengan bergerak bersama.

“Apa yang kami produksi sebenarnya bukan sampah karena masih ada nilainya. Itu juga yang harus diajarkan kepada masyarakat. Sekitar 75 persen bahan baku kemasan Tetra Pak adalah kertas sehingga bisa diolah kembali,” katanya.

Di sisi hilir, pengelolaan sampah perlu melibatkan para pengusaha pengelolaan sampah, seperti bank sampah atau pendaur ulang. Ni Kadek Arlini, Koordinator Bank Sampah di Tabanan Bali, misalnya sudah melakukan usaha pengumpulan sampah sejak 2013. Saat ini ada 60 bank sampah di 10 kecamatan di Tabanan yang sudah bekerja dengan Bu Mangku, panggilan akrab Alini.

“Ke depan, strategi yang harus dilakukan adalah dengan mendekati sumber produsen sampah yaitu rumah tangga dan sekolah. Karena itulah kami mengajak warga untuk memilah sampah mulai dari rumah. PKK juga harus aktif,” kata Bu Mangku.

Sampah-sampah dari bank sampah seperti Bu Mangku kemudian dijual ke tingkat lebih hilir lagi, seperti Eco Bali. I Ketut Mertha Adi dari Eco Bali mengatakan saat ini Eco Bali mengumpulkan sampah mencapai 350 ton per tahun. Tiap bulan mencapai 30 ton.

Mertha mengharapkan adanya dropping box akan membuat warga makin terbiasa dalam memilah dan mendaur ulang sampah. “Yang lebih penting lagi program semacam dropping box ini berkelanjutan, tidak hanya sesaat lalu hilang setelah diluncurkan,” Bu Mangku menambahkan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,