Tanpa Upaya Luar Biasa, Apakah Badak Sumatera Tetap Terjaga di Rimba Belantara?

 

 

Upaya menekan perburuan, kerusakan habitat dan gangguan manusia hingga ke titik nol belumlah cukup untuk mencapai keberhasilan pelestarian badak sumatera. Peneliti Badak Sumatera dari Wildlife Conservation Society – Indonesia Programe (WCS-IP) Wulan Pusparini, menyampaikan hal tersebut kepada Mongabay Indonesia.

“Kunci utama pelestarian badak sumatera adalah pertambahan populasi atau perkembangbiakannya. Apakah badak sumatera di suatu bentang alam bisa berkembang biak atau tidak, boleh dikatakan hal inilah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari publik dan pemerintah,” kata Wulan pekan lalu.

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) adalah satu dari lima spesies badak yang tersisa di bumi. Badak bercula dua terakhir di Asia ini juga disebut “fosil hidup”, karena marganya telah ada sejak 30 juta tahun silam (Wilson, 2003), dan merupakan marga yang memunculkan semua Rhinocerotidae (Groves dan Kurt dalam Ellis, 2005).

Badak sumatera nyaris punah. Diprediksi, hanya bisa bertahan di alam liar hanya dalam beberapa dekade lagi. Bahkan, Thomas Foose (dalam Wilson, 2003) memprediksi sulit bisa bertahan hingga pertengahan abad ini (2050). Jumlah populasi liar badak sumatera pun sudah sangat sedikit. “Perkiraan kami, lebih dari 70 namun tidak mencapai 100 individu,” ujar Wulan.

Populasi liar badak sumatera diketahui hanya ditemui di bentang alam Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), dan satu bentangan di Kalimantan. Pusparini et al (2015) menyebutkan, badak sumatera mendiami area sekitar 2.371 kilometer persegi di luasan bentang alam Leuser (26.000 km persegi), 634 kilometer persegi di luasan TNWK (1.293 km persegi), dan 820 kilometer persegi di luasan TNBBS (3.500 km persegi), yang luasan tersebut dianggap sebagai habitat ideal.

Kelestarian badak sumatera di suatu bentang alam, lanjut Wulan, berpeluang untuk dipertahankan bila populasinya berjumlah paling sedikit 15 individu. Itu pun harus didukung dengan perbandingan jenis kelamin yang tepat dan faktor lainnya yang memungkinkan proses perkembangbiakan bisa terjadi.

“Walau populasi di suatu bentang alam berjumlah lebih dari 15 individu, katakanlah 40 individu, namun bila tidak didukung faktor lainnya, perkembangbiakan tersebut akan sulit. Atau bahkan tidak akan terjadi,” terang Wulan.

 

Badak sumatera tidak hanya tersebar di Sumatera tetapi juga ada di Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler

 

Data WCS-IP menunjukkan, jumlah populasi badak sumatera di bentang alam TNBBS dan TNWK tidak mencapai 15 individu. Di bentang alam Leuser dan Kalimatan, walau berjumlah lebih dari 15 individu, namun kondisinya juga tidak luput dari cekaman perburuan.

“Upaya menekan perburuan, kerusakan habitat, dan gangguan manusia tetap penting dilakukan. Hanya saja, bila tidak terjadi perkembangbiakan, badak sumatera tetap akan mengalami kepunahan,” kata Wulan.

Pemerintah Indonesia telah menargetkan pertambahan populasi badak sumatera sekitar 20 persen hingga tahun 2019. Akan sulit dicapai bila tidak ditindaklanjuti dengan upaya mengonsolidasi populasi badak sumatera di bentang alam tertentu agar terjadi perkembangbiakan.

“Itikad politik pemerintah untuk mempertahankan kelestarian badak sumatera memang ada. Namun, sepertinya belum maksimal dalam tataran implementasi. Itu bisa dilihat dari alokasi dana anggaran APBN. Sebagai gambaran, alokasi dana untuk pengamanan kawasan konservasi saja terus menurun. Jadi, bagaimana mungkin target peningkatan bisa dicapai?” kata Wulan.

 

Merusak hutan yang merupakan habitat satwa liar sama saja dengan menghancurkan kehidupan manusia di muka bumi. Foto: Rhett Butler

 

Punah di TNKS

Badak sumatera pernah tercatat persebarannya di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Namun kini, sudah tidak ada lagi alias punah. Di bentangan wilayah yang meliputi empat provinsi tersebut; Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan Bengkulu, satwa bercula dua ini hanya menyisakan cerita.

Haerudin R. Sadjudin, pakar badak yang juga Program Manajer Yayasan Badak Indonesia (YABI), menuturkan, saat pertama kali dibentuk Rhino Protection Unit (RPU), yang bertujuan melindungi badak dari perburuan dan perusakan habitat, pada 1995, justru berada di wilayah Bengkulu utara yang merupakan wilayah TNKS.

Tiga tahun berpatroli di wilayah ini 1995 – 1998, tantangan terbesar yang dihadapi adalah perburuan, perambahan hutan dan pembalakan liar yang berdampak nyata pada perusakan habitat badak. “Survei keberadaan badak terus dilakukan di TNKS meski informasi keberadaan jejak badak menunjukkan satwa ini mulai bergeser ke arah Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan,” tuturnya pekan lalu.

Hingga akhirnya, survei yang dikukan RPU lagi di TNKS pada 2011, sudah tidak ditemukan lagi keberadaan badak sumatera di wilayah TNKS. Meski ada laporan masyarakat yang menyatakan badak masih terdeteksi di wilayah ini akan tetapi informasi tersebut merupakan habitat yang dulunya pernah ditempati badak. “Sekarang sudah tidak ada lagi. Perburuan hebat terdeteksi berasal dari daerah Tapan, yang berada di persimpangan tiga provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi dan Bengkulu.”

Haerudin menuturkan, sebelum tahun 1995, badak sumatera di TNKS diprediksi masih banyak berkeliaran. Sebaliknya, di TNBBS dan TNWK minim informasi saat itu. Kini, TNWK bisa dikatakan tumpuan terakhir untuk kehidupan badak di alam liar. “Perburuan dan aktivitas ilegal yang menyebabkan badak tidak ada lagi di TNKS jangan sampai terjadi di habitatnya yang tersisa ini. Kami sudah menemukan jejak para pemburu yang bergerak dari TNBBS ke TNWK,” ujarnya.

Upaya luar biasa harus dilakukan untuk melindungi badak sumatera. Misal, populasi badak yang sedikit dan terpencar, 3 – 5 individu yang berada di TNBBS akan lebih baik dikumpulkan dalam satu kantong yang habitat dan populasinya bagus. Tujuannya, tercipta populasi viabel, yang bertahan untuk jangka panjang. “Jumlah yang sedikit, tanpa ada perburuan sekalipun akan berujung kepunahan juga.”

Pemulihan populasi terukur sangat penting dilakukan kedepannya. Ini bisa dimulai dengan survei jumlah individu badak yang ada beserta studi pengelolaan habitatnya. “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak Indonesia berakhir di 2017 ini. Evaluasi dan tindakan militan harus ditetapkan agar badak tetap hidup di Indonesia,” papar Haerudin.

 

Bentang alam di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Taman nasional ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera oleh UNESCO. Sumber: Wikipedia

 

Ada di Kalimantan Timur

Di Kalimantan, populasi badak sumatera telah teridentifikasi di Kalimantan Timur. Populasinya terbagi dalam tiga kantong terpisah, dengan jarak puluhan bahkan ratusan kilometer. Populasi masing-masing kantong belum dapat diperkirakan secara pasti mengingat tantangan dan kendala untuk melakukan perhitungan (survei) yang cukup besar. “Jumlah populasi 6 hingga 12 individu ini hasil survei yang pernah dilakukan WWF pada 2014. Jumlah ini masih cukup jauh dari ukuran populasi ideal untuk menjamin viabilitas hidupnya di alam,” ujar Yuyun Kurniawan, Program Koordinator Proyek Ujung Kulon WWF-Indonesia.

Kalimantan Regional Leader WWF-Indonesia, Hermayani Putera, menambahkan, ancaman hidup terhadap individu badak yang ada tersebut cukup besar. Badak menjadi target buruan untuk diambil culanya sebagai obat tradisional. “Hilangnya habitat juga merupakan ancaman utama bagi kelangsungan hidup badak sumatera yang tersisa tersebut.”

Meskipun sulit ditemui, keberadaan badak sumatera di Kalimantan dapat dibuktikan dengan adanya bagian-bagian tubuh satwa tersebut yang masih disimpan masyarakat seperti cula, kulit, tulang dan anggota tubuh lain. Masyarakat meyakini, anggota tubuh tersebut memiliki khasiat dalam hal pengobatan. “Kurangnya informasi serta tidak adanya bukti kehidupan badak di Kalimantan selama ini memunculkan anggapan bahwa badak telah mengalami kepunahan,” tambah Yuyun.

 

 

Menurut Yuyun, habitat badak sumatera di Kalimantan yang sudah teridentifikasi, semuanya    berada di luar kawasan konservasi. “Sebagian besar merupakan kawasan pembangunan ekonomi nasional dan daerah, sehingga rentan kehilangan habitat yang mengarah pada fragmentasi dan keterisolasian.”

Kunci utama pelestarian badak yang harus dilakukan adalah pendekatan ekologi dan sosiokultural. Terlebih saat ini, kawasan yang menjadi rumah bagi badak sumatera semakin tergeser invasi yang dilakukan masyarakat di sekitar koridor satwa. “Saat ini, badak mendapat perhatian penuh dunia internasional karena populasinya yang semakin hari semakin menurun,” papar Yuyun.

Badak sumatera disebut juga the hairy rhinoceros, karena permukaan tubuhnya ditutupi rambut pendek dan kaku. Berdasarkan persebarannya, satwa langka ini dibedakan dalam tiga subjenis.

Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis tersebar di Sumatera, Malaysia, dan Thailand. Dicerorhinus sumatrensis harrissoni berada di wilayah Kalimantan. Sementara Dicerorhinus sumatrensis lasiotis mulai dari Myanmar bagian utara hingga Assam dan Pakistan bagian timur. Untuk subjenis Dicerorhinus sumatrensis lasiotis, beberapa peneliti badak mengatakan, keberadaannya sudah tidak ada lagi sejak beberapa tahun lalu.  

 

Referensi tambahan

  • Pusparini W, Sievert PR, Fuller TK, Randhir TO, Andayani N, (2015), Rhinos in the Parks: An Island-Wide Survey of the Last Wild Population of the Sumatran Rhinoceros. PLoS ONE 10(9):e0136643.doi:10.1371/journal.pone.0136643
  • Ellis, Richard, (2005), Tiger Bone & Rhino Horn: The Destruction of Wildlife for Traditional Chinese Medicine, A Shearwater Book
  • Wilson, Edward O, (2003), The Future of Life, Vintage Books

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,