Pemerintah Diminta Serius Masukkan Kearifan Lokal Jaga Hutan dalam Revisi UU Konservasi

 

 

Praktik konservasi masyarakat adat maupun masyarakat lokal di kawasan hutan telah lama dilakukan berkelanjutan dan terbukti lestari. Kini, revisi UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) masih dalam pembahasan di DPR. Harapannya, peran masyarakat dan kearifan lokal dalam menjaga hutan tertuang dalam revisi itu.

”Areal konservasi kelola masyarakat di kawasan hutan harus diakui,” kata Kasmita Widodo, Koordinator Walking Group ICCAs (Indigenous peoples’ and Community Conserved Areas and territories) Indonesia (WGII) di Jakarta, Selasa (28/2/17).

Berdasarkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) 2016, wilayah adat di kawasan hutan ada 8,3 juta hektar, yakni 22,56% atau 1,68 juta kawasan hutan konservasi, 20,48% atau 1,67 juta hektar hutan lindung, dan 23,95% atau 2,92 juta hektar di hutan produksi. Sedangkan, 33% atau 1, 76 juta hekar bukan hutan atau areal penggunaan lain.

Sejauh ini, revisi UU Nomor 5/1990 menyebutkan AKKM namun kawasan hutan masih belum diatur. Revisi UU ini, hanya mengakomodir di sekitar hutan, biasa disebut kawasan esensial.

”Padahal kawasan esensial, pemerintah tak terlalu kuat memberikan perlindungan, ancaman dari luar seperti izin pun sangat rentan.”

Padahal, peran masyarakat dalam tata kelola kawasan konservasi sudah diatur dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Kasmita, aturan itu sangat relevan dengan AKKM, dimana basis informasi dari kearifan lokal.  Secara teknis, UU ini akan berupa peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang akan ditandatangani dalam waktu dekat.

Suyatno Sukandar, Direktur Kawasan Konservasi KLHK menyebutkan, AKKM sangat bisa masuk dalam revisi UU ini. Usulan dari masyarakat, pelaku usaha, pemerintah daerah dan lembaga terkait akan diakomodir.

”Nanti bisa dimunculkan satu pasal atau bab tentang keberadaan masyarakat adat,” ucap Suyatno.

Dia bilang, masyarakat adat di dalam maupun luar kawasan hutan sudah masuk dalam draf revisi. Terlebih sudah ada aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 108/2015 atas perubahan dari PP Nomor 28/2011, tentang  Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. ”Proses perencanaan pengelolaan harus melibatkan masyarakat luas, pemerintah memandu.”

Berdasarkan data KLHK, ada 6.195 desa penyangga kawasan konservasi, baik perairan maupun darat. Di wilayah itu, KLHK mengelola hutan dengan pemberdayaan melalui zona tradisional seluas 1,5 juta hektar dari 27,5 hektar hutan konservasi.

”Kearifan lokal masyarakat adat harus jadi bagian dalam kebijakan tata kelola wilayah. Jika ini bisa diterapkan di semua hutan konservasi, kriminalisasi di kawasan itu akan mampu diselesaikan,” ucap Kasmita.

Andi Buyung Saputra, masyarakat adat Amatoa Kajang menyebutkan, pemilik hak paten konservasi di tangan masyarakat. Camat, katanya,  masuk dalam fungsi pemerintahan jadi pembantu suku adat Amatoa dan menjadi bagian penyelenggaraan pemerintah adat.

Masyarakat adat Amatoa Kajang mendapatkan pengakuan hutan adat seluas 339 hektar dengan fungsi lindung. Mereka menerapkan pelanggaran hutan dan harmonisasi terhadap adat

”Tidak boleh mengambil ikan di hutan adat, warga pun dilarang mengambil ranting atau madu dan berburu hewan.” Jika, terjadi pelanggaran, akan diusir. ”Ini kami jaga dan pegang oleh seluruh masyarakat adat kami.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,