Apa Motivasi di Balik Investasi Arab Saudi di Kelautan dan Perikanan Indonesia?

Indonesia resmi menjalin kerja sama dengan Arab Saudi di sektor kelautan dan perikanan. Kerja sama tersebut tertuang dalam 10 nota kesepahaman yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi.

Penandatanganan dilakukan antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Lingkungan Hidup, Perairan dan Pertanian Kerajaan Arab Saudi, Abdurrahman Abdul Mohsen al-Fadhil disaksikan Presiden Joko Widodo dan Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud usai pertemuan bilateral antar kedua negara di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (01/03/2017).

 

 

Kerjasama tersebut, terutama dalam hal pertukaran informasi karantina ikan dan pengamanan, mengingat standar produk dagang yang masuk ke Arab Saudi sangat tinggi. “Jadi kita pertama harus menyamakan persepsi untuk karantina ikan. Standarnya bagaimana dan seperti apa. Hal ini tentunya juga dibutuhkan pertukaran ahli dan teknologi pertukaran standar,” ungkap Susi di Jakarta, Kamis (02/03/2017).

Susi menjelaskan saat ini belum ada spesifik investasi yang disepakati. Sehingga KKP berencana akan mengundang importir maupun pengusaha Arab Saudi untuk bertemu langsung dengan eksportir Indonesia dalam acara Marine Business Forum yang rutin digelar di KKP setiap bulannya. Susi berharap kerja sama ini dapat mempermudah akses pemasaran produk perikanan Indonesia ke wilayah Timur Tengah, yang sebelumnya tidak menjadi tujuan utama ekspor produk kelautan dan perikanan.

“Tentunya saya punya rencana untuk menargetkan negara yang selama ini belum menjadi tujuan ekspor Indonesia. Jadi dengan adanya kerjasama ini, akan terbuka peluang untuk menambah tujuan ekspor perikanan Indonesia, terutama ke negara yang tidak punya wilayah laut atau negara yang wilayah lautnya kecil. Prospeknya akan sangat menarik ke depan,” terang Susi.

Adapun kerjasama yang dilakukan ialah di bidang pembangunan kelautan dan perikanan; keamanan pangan dan karantina ikan; promosi dan pemasaran produk perikanan; pengelolaan dan konservasi sumber daya laut pesisir; pengetahuan dan penelitian terapan serta pelatihan teknis modern; pertukaran informasi dan pengalaman sebagai tambahan untuk pelatihan teknis modern. Selain itu, kedua negara juga sepakat untuk saling mendorong kunjungan oleh sektor publik dan swasta dan kegiatan-kegiatan lain yang disetujui oleh para pihak.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (kanan) menyerahkan dokumen nota kesepahaman di sektor kelautan dan perikanan kepada Menteri Lingkungan Hidup, Perairan dan Pertanian Kerajaan Arab Saudi, Abdurrahman Abdul Mohsen al-Fadhil (kiri) usai pertemuan bilateral antar kedua negara di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (01/03/2017). Foto : Biro Pers Istana

 

Saat ini Indonesia menempati posisi kedua eskportir tuna kaleng ke Arab Saudi setelah Thailand. Selama ini bahan baku tuna kaleng Thailand berasal dari Indonesia, namun semenjak tahun 2015 volume ekspor bahan baku tuna Indonesia turun drastis dikarenakan pemerintah Indonesia melakukan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal. Dengan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal dan momentum kerjasama ini, Indonesia berpotensi untuk menggarap pasar produk perikanan langsung dengan juga membangun industri pengolahan dalam negeri demi mendapatkan nilai tambah.

Nilai ekspor ekspor Indonesia ke Arab Saudi pada 2016 mencapai US$66.849.893 atau senilai Rp869 Miliar dengan komoditas yang diekspor adalah cakalang, tuna, makarel dan produk ikan lainnya. Sedangkan untuk impornya berupa ikan makarel senilai US$645.083 atau setara dengan Rp8 Miliar. Dari kegiatan tersebut, tercapai surplus US$66.204.810 atau setara dengan Rp860 Miliar. (Data diolah dari BPS dan KKP).

Ini merupakan kali pertama kerjasama antara Indonesia dan Arab Saudi di sektor kelautan dan perikanan setelah kerjasama dilakukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ditandatangani pada 10 Desember 1982 lalu.

Kerja sama tersebut bukanlah yang pertama, karena Indonesia sejak lama sudah menjalin kerja sama di sektor tersebut. Hal itu, ditandai dengan rutinnya Indonesia mengekspor produk kelautan dan perikanan ke negara tersebut setiap tahunnya.

 

Nelayan menurunkan hasil pancingan berupa ikan cakalang di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto

 

Ekspor Naik

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Indonesia, Abdul Halim di Jakarta, Kamis (2/3/2017) mengatakan, kerja sama antara Indonesia dengan Arab Saudi sangatlah menarik untuk dibahas. Mengingat, sejak lama Indonesia sudah menyuplai produk kelautan dan perikanan ke negara tersebut.

“Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yakni 2013 hingga 2015, kecenderungan perdagangan ikan kedua negara mengalami peningkatan, baik dari aspek volume maupun nilai ekonominya. Itu salah satunya yang menarik,” ucap dia.

Menurut Halim, dari catatan International Trade Center, nilai ekspor perikanan Indonesia ke Arab Saudi mengalami kenaikan nilainya sejak 2013 yang mencapai angka USD1,999 juta atau setara Rp27 triliun. Angka tersebut terus naik hingga mencapai USD2,744 juta atau setara Rp37 triliun pada 2015.

Parameter kenaikan nilai ekspor, kata Halim, bisa dilihat dari aspek kuantitasnya, dimana terjadi peningkatan yang cukup signifikan, sebesar 381 ton pada 2013 menjadi 633 ton pada 2015. Kenaikan tersebut, terjadi karena komoditas perikanan yang diekspor terus meningkat jumlahnya.

“Komoditas tersebut meliputi tuna, mutiara, dan rumput laut. Selain itu, juga termasuk ikan beku, seperti nila, kakap putih, kakap merah, cumi, udang, lobster, dan patin,” ungkap dia.

Akan tetapi, meski mengalami kenaikan cukup signifikan, menurut Halim, nilai perdagangan ikan antara Indonesia-Saudi Arabia terbilang baru mencapai 33 persen. Prosentase itu kalah jauh dibandingkan transaksi perdagangan sektor yang sama antara Indonesia-Iran.

Halim mencontohkan, pada 2013 nilai ekspor perikanan Indonesia ke Iran jumlahnya mencapai angka 2,108 ton atau setara USD4,278 juta. Jika dirupiahkan, angka tersebut besarnya mencapai Rp58 triliun atau Rp31 triliun lebih banyak dari nilai ekspor Indonesia ke Arab Saudi di tahun yang sama.

Perbedaan nilai yang cukup jauh itu, kata Halim, semakin terlihat jelas pada 2015 saat transaksi ekspor dilakukan. Pada tahun tersebut, angkanya melonjak drastis menjadi 4,253 ton dengan nilai transaksi mencapai USD6,127 juta atau setara Rp82 triliun. Jumlah tersebut, lebih banyak Rp45 triliun dibandingkan nilai ekspor Indonesia ke Arab Saudi pada 2015.

 

Tuna segar tangkapan nelayan Gunung Kidul, Yogyakarta. Beragam masalah mengelilingi sektor perikanan, dari penyakit ikan, ekosistem rusak sampai perubahan iklim. Foto: Tommy Apriando

 

 

Investasi di Pulau-pulau Kecil

Tak hanya bekerja sama dalam perdagangan produk kelautan dan perikanan, dalam kunjungan ke Indonesia, Indonesia juga dengan terang-terangan menawarkan kepada Arab Saudi untuk berinvestasi di pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia. Penawaran tersebut, sejalan dengan rencana Pemerintah untuk menawarkan 70 pulau kecil kepada investor, baik swasta asing maupun domestik.

“KKP akan memanfaatkan peluang diplomatik ini untuk memperbesar penerimaan Negara, karena memang sejalan dengan target pencapaian investasi pulau-pulau kecil sepanjang 2016 hingga 2019,” jelas Halim.

Menurut Halim, ketartarikan Arab Saudi untuk menanamkan investasi di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari rencana ekonomi negara tersebut. Dalam dokumen Visi Saudi Arabia 2030 yang dicanangkan Raja Salman, kata dia, terlihat jelas bahwa Saudi Arabia menghendaki diversifikasi sumber pendapatan nasional dan tidak lagi bergantung kepada ekspor emas hitam atau minyak.

Untuk bisa mewujudkan target itu, Halim menerangkan, Arab Saudi mencanangkan tiga langkah strategis. Pertama, membangkitkan kepercayaan diri secara kolektif untuk melakukan diversifikasi usaha. Upaya ini dilakukan di antaranya dengan mentransformasi Aramco dari sekadar produsen minyak domestik menjadi konglomerasi industri global.

Kedua, mendorong pelaku usaha dan korporasi-korporasi dagang, khususnya di sektor kelautan dan perikanan, untuk berekspansi seluas mungkin. Terutama, karena Arab Saudi selama ini dikenal memiliki industri pengolahan dan pemasaran yang mumpuni di kawasan Timur Tengah.

“Ketiga, mempercepat reformasi birokrasi dengan memprioritaskan dipraktekkannya prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas berbasis teknologi informasi dan komunikasi digital guna mengatasi kelambanan birokrasi dan memerangi tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam merespons tantangan masa sekarang dan mendatang,” papar dia.

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

 

Untuk diketahui, Arab Saudi adalah negara di Timur Tengah yang memiliki potensi perikanan budidaya yang sangat besar dengan 2.400 kilometer garis pantai yang memanjang di barat Laut Merah dan sebelah timur Teluk Arab. Komoditasnya pun tergolong bernilai ekonomis tinggi, seperti udang, nila, dan kerapu.

Di Timur Tengah sendiri, pasar perikanan didominasi oleh negara-negara tetangga Arab Saudi, seperti Mesir (40 persen), Republik Islam Iran (21 persen), Turki (19 persen), Yaman (6 persen), dan Oman (5 persen). Sembilan persen sisanya merupakan sumbangsih Kuwait, Qatar, Suriah, Lebanon, dan Yordania sejak tahun 1961.

 

Dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia

Bersamaan dengan penandatanganan kerja sama dengan Arab Saudi, Pemerintah Indonesia merilis inormasi tentang dokumen kebijakan kelautan Indonesia. Informasi yang dirilis Sekretariat Kabinet (Setkab) RI itu, menyebut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 adalah perangkat utama.

Dalam pasal 2 peraturan tersebut, disebutkan, Kebijakan Kelautan Indonesia terdiri atas:

  1. Dokumen Nasional Kebijakan Kelautan Indonesia; dan
  2. Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia.

Sedangkan, dalam Pasal 3 Perpres itu disebutkan, bahwa Dokumen Nasional Kebijakan Kelautan Indonesia sebagaimana dimaksud tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Dalam Lampiran I Perpres dimaksud, terdapat Dokumen Nasional Kebijakan Kelautan Indonesia setebal 37 halaman, yang terdiri atas beberapa Bab, diantaranya mulai dari Pendahuluan, Tantangan Pembangunan Kelautan Indonesia, Tujuan dan Prinsip Kebijakan Kelautan Indonesia, hingga Kaidah Pelaksanaan.

Disebutkan dalam Dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia itu, bahwa visi Kelautan Indonesia adalah mewujudkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia, yaitu menjadi sebuah negara maritim yang maju, berdaulat, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.

Adapun misi dari Kebijakan Kelautan Indonesia adalah:

  1. Terkelolanya sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan;
  2. Terbangunnya kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang andal;
  3. Terbangunnya pertahanan dan keamanan kelautan yang tangguh;
  4. Terlaksananya penegakan kedaulatan, hukum, dan keselamatan di laut;
  5. Terlaksananya tata kelola kelautan yang baik;
  6. Terwujudnya kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang merata;
  7. Terwujudnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan industri kelautan yang berdaya saing;
  8. Terbangunnya infrastruktur kelautan yang andal;
  9. Terselesaikannya aturan tentang tata ruang laut;
  10. Terlaksananya pelindungan lingkungan laut;
  11. Terlaksananya diplomasi maritim; dan
  12. Terbentuknya wawasan identitas, dan budaya bahari.

Menurut dokumen tersebut, kebijakan Kelautan Indonesia disusun berdasarkan enam prinsip dasar, yaitu (1) Wawasan Nusantara; (2) pembangunan berkelanjutan; (3) ekonomi biru; (4) pengelolaan terintegrasi dan transparan; (5) partisipasi; dan (6) kesetaraan dan pemerataan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,