Menko Luhut : Freeport Tetap Harus Bangun Smelter

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengunjungi Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jalan Ganesha, Kota Bandung, Rabu (01/02/2017). Maksud kunjungan Luhut ke ITB adalah memberikan kuliah umum bertema “masa depan indonesia” kepada 500 mahasiswa yang hadir di auditorium.

Tak kurang dari satu jam setengah, Luhut menyampaikan kuliah umum. Beberapa isu strategis pun dia kupas dan bahas–mulai dari potensi, permasalahan serta strategi mengenai pendayaagunaan sumber daya alam Indonesia. Ada yang menarik atensi dari penyampaian luhut, yakni tentang problematika pertambangan dan target pengembangan ekplorasi sumber daya di masa akan datang.

“Ini tentang perkembangan ekonomi dunia. Saya dongeng sedikit. Kita akan mengalami 2 perubahan. Pertama teknologi dan energi, sekarang minyak dunia turun dan gas sedang naik. 2 atau beberapa  tahun kedepan perubahan ini akan mulai terasa. Sehingga penguasaan teknologi sangat penting sebagai penunjang perekonomian kita,” kata Luhut disela-sela kuliah umum.

 

 

Seusai kuliah umum, Luhut sempatkan berswa foto dengan pengunjung sebelum akhirnya memberi keterangan soal kelanjutan status Freeport.

Dalam persoalan Freeport, dia menjelaskan, pemerintah sampai saat ini masih tetap mencari solusi terbaik. Meskipun terjadi silang sengkarut penawaran di kedua belah pihak. Misalnya tentang pembangunan smelter. Luhut mengatakan, keuntungan bila itu dilakukan maka akan banyak nilai tambah bagi pemerintah dari segi pajak dan juga lapangan kerja untuk rakyat.

Perusahaan tambang yang ada di Indonesia diharuskan membangun smelter sebagai bentuk komitmen terhadap aturan yang dibuat pemerintah. Kemudian yang bisa mengekspor hanyalah yang memenuhi sejumlah persyaratan diantaranya divestasi 50 + 1 persen saham bagi perusahaan asing, serta mengubah status kontak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Ketentuan soal smelter terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang Perubahan Ke-empat atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, serta ketentuan Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen No.6 Tahun 2017 sebagai aturan turunan dari PP tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.

Seperti diketahui, Freeport menolak peraturan pemerintah untuk mengubah KK menjadi IUPK dan divestasi 51 persen sahamnya.

(baca : Begini Aksi Freeport Kala RI Mau Terapkan Aturan Pertambangan Minerba)

Persyaratan tersebut belum terlihat dipenuhi oleh Freeport.  Agaknya Freeport masih enggan  memenuhi syarat yang diajukan pemerintah, malah justru cenderung mengancam akan menggugat arbitrase karena menganggap ingin memeras pendapatan lebih banyak dari penambang Freeport melalui perubahan aturan.

 

Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, memberikan kuliah umum di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Kota Bandung, Rabu (01/02/2017). Usai kuliah umum tersebut, Luhut menyinggung tentang permasalahan PT Freeport Indonesia. Foto : Donny Iqbal

 

Luhut menerangkan, sesuai aturan yang berlaku Freeport mesti juga mematuhi ketentuan pembayaran terkait pajak per tahunnya kepada pemerintah. Menurutnya, di dunia mana pun tidak bisa nilai pajak sama sepanjang masa. Tetapi pajak menyesuaikan terhadap rezim yang berlaku.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menuturkan, pemerintah masih mengupayakan perundingan dengan Freeport. Terlebih berundingan terkait perubahan ketentuan dari  KK jadi Izin IUPK tersebut diklaim sesuai arahan Presiden.

“Kami sebisa mungkin memasuki perundingan tentang perpindahan dari KK menjadi IUPK. Apakah semua pemegang perjanjian KK itu wajib mengubah perjanjiannya itu menjadi IUPK? Sebenarnya, tidak wajib, misalnya Vale atau beberapa perusahaan tambang emas juga itu mereka tak mengubah menjadi IUPK, karena mereka sudah punya smelter yang digunakan untuk pengolahan dan pemurnian,” ujarnya, seperti dikutip dari Antara.

(baca : Soal Penguasaan Lahan Freeport di Papua, Berikut Kata Komnas HAM)

 

Pendapatan

Persoalan Freeport ini menarik ditelaah. Pemerintah yang sedang berusaha menegakan aturan sesuai perundang – undangan dengan kepentingan Freeport sebagai penanam modal. Para Elite politik Indonesia dan petinggi Freeport bisa dikatakan sedang tidak “mesra”. Hal itu, terlihat tarik – ulur kesepahaman dikedua belah pihak.

Berdasarkan data yang dihimpun Mongabay, secara finansial, pada kuartal keempat tahun 2014, Laba perusahaan asal Amerika mencapai Rp.7,2 triliun. Di tahun yang sama, total pendapatan juga meningkat menjadi USD4,51 miliar dari USD4,16 miliar.

 

 

Namun, kondisinya kontradiktif bila berbicara soal “jatah” yang diterima pemerintah.  Hasil hitungan sampai tahun 2013 lalu, Freeport hanya mampu menambah pendapatan Pemerintah Pusat sebesar USD3,4 miliar. Sedangkan untuk Pemerintah Daerah Papuamenerima dana sebesar USD7,7 miliarm dalam bentuk infrastruktur.

Jika dibandingkan denganpendapatan yang diperoleh PemerintahIndonesia terbilang tidak sebanding dengan banyaknya sumber daya alam berupa emas, perak, tembaga yang di eksploitasi.

Selama masa Kontrak Karya I terhitung dari tahun 1967-1991, Freeport tidak membayar royalti sedikitpun kepada Pemerintah Indonesia.

Baru di Kontrak Karya II yang akan berakhir tahun 2021, Freeport membayar royalti. Royalti yang diberikan pun terbilang amat sangat kecil. Berkisar antara 1% – 3,5% dari mineral yang dihasikan.

 

Kerusakan

Apabila mengetengahkan aspek lingkungan. Keuntungan secara finansial pun seharusnya menjadi pertimbangan dengan memperhatikan biaya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang harus ditanggung oleh pemerintah di kemudian hari.

Dampak kerusakan lingkungan juga sudah pernah diberitakan Mongabay, di mana Freeport telah mematikan 23.000 hektare hutan dan juga membuang lebih dari 200.000 ton tailing per hari atau lebih dari 80 juta ton per tahun ke Sungai Otomina dan Ajkwa, yang mengalir ke Laut Arafura.

Hingga 2006, tambang ini diperkirakan telah membuang lebih dari tiga miliar ton tailing, sebagian besar berakhir di lautan.Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang melampaui baku mutu total suspend solid (TSS).

 

 

Tentu kondisi tersebut merusak kenekaragaman hayati serta mengancam perairan laut dengan air asam tambang berskala besar. Karena tailing yang dibuang Freeport merupakan  cairan asam berbahaya bagi kehidupan aquatik. Bahkan sejumlah spesies aquatik di sungai  setempat disinyalir telah punah akibat tailing Freeport.

(baca : Soal Freeport, Berikut Pandangan Ekonom dan Pegiat Lingkungan)

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,