Ketika Debu Batubara PLTU Bikin Warga Rum Balibunga Sengsara

 

 

Julia Rahman dan Ati  Folasimo,  dua  siswa  kelas IV SD Rum Balibunga, Tidore Kepulauan, Maluku Utara, sudah dua kali menyapu lantai kelas mereka pagi itu. Debu batubara memenuhi ruangan kelas hingga mereka setiap saat harus meyapu lantai sekolah.

Debu memenuhi sekolah karena tak jauh dari PLTU.  Dinding sekolah  dengan tembok pembatas  PLTU hanya terpisahkan kali kecil dengan lebar sekitar tiga meter.

Kondisi debu lebih menyiksa saat bongkar batubara di pelabuhan hingga ke penampungan  di kawasan PLTU. Meski debu begitu banyak, baik guru maupun siswa terlihat tak pakai masker sebagai perlindungan.

Sabtu (19/2/17) sekitar pukul 11.00,  saya mendatangi sekolah ini. Para siswa   baru usai  berolahraga.  Ada satu dua orang masih  di ruang kelas. Tampak pula dua siswa menyapu  ruang kelas  sebelum bergabung bersama teman- teman mereka belajar.

“Kami harus menyapu berulangkali karena jika dibiarkan debu menumpuk di lantai, meja belajar maupun meja guru,” kata Julia Rahman, seorang siswa.

Debu batubara ini ada sejak PLTU  beroperasi 10 Juni 2015.    “Debu menyiksa warga sejak  beroperasi.  Kami terbiasa menghirup debu batubara. Meski terbiasa kami kuatir   merusak kesehatan guru  dan anak- anak sekolah ini,” kata Hawa Hamisi, guru kelas  SDN Balibunga.

Pihak sekolah juga khawatir. Gangguan pernapasan, katanya,  sudah menyerang para siswa dan guru. Guna mengurangi debu batubara  masuk kelas, sekolah menutup ventilasi dengan kertas.

Menurut Hawa, saat ini banyak siswa terkena sesak napas dan batuk-batuk.  “Bukan hanya siswa yang batuk-batuk,  kami guru-guru juga sesak napas, maupun batuk-batuk,” katanya.

Anehnya, meski   warga sudah begitu tersiksa  dengan debu batubara, hasil uji kualitas udara Dinas Lingkungan Hidup (DLH), menerangkan, kondisi udara sekitar perusahaan  masih bersih.

“Kami sangat heran,  di lapangan warga sudah begitu tersiksa tapi DLH bilang  udara masih bersih,” ujar Hawa.

Penderitaan warga ini sudah disuarakan kepada PLTU.  Bahkan dalam Musrenbang Kelurahan Rum Balibunga,  belum lama ini, sekolah sudah mengajukan   agar segera relokasi. Hingga kini,  belum ada perkembangan.

Sekolah juga minta disediakan masker, karena debu sudah mengganggu belajar mengajar.  “Kita sudah usulkan dalam acara Musrembang kelurahan tapi belum ada  tindaklanjut.”

Sebelumnya, sejak pembangunan PLTU  sudah ada kesepakatan   Pemerintah Kota Tidore Kepulauan  dengan PLTU untuk relokasi sekolah SD ini. Pemerintah menyediakan lahan, PLTU membangun gedung sekolah.

Sejauh ini baru ada lahan pemerintah di  RT 03 Kelurahan Rum Balibunga. PLTU  ada aksi dari PLTU.

Pembangunan PLTU Rum mulai 2008, bagian proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PLTU  Maluku Utara- Tidore dibangun untuk membagi pasokan listrik  ke Pulau Ternate  dan Pulau Maitara,  melalui kabel bawah laut.  Untuk Pulau Tidore  dari PLTU ini dapat pasokan 2×7 MW.

Debu,  tak hanya dirasakan sekolah.   Warga sekitar PLTU   termasuk Kantor Kelurahan Rum Balibunga juga  terkena dampak.

Kepala Kelurahan Rum Balibunga Ridwan Kura mengemukakan, kantornya dan warga sekitar   juga terimbas  debu batubara. Dua bulan lalu DLH Kota Tidore Kepulauan  turun meneliti    dampak  debu batubara. Hasilnya, bikin warga heran. DLH mengaku tak ada dampak  polusi debu batubara.

“Hasil penelitian  mereka  dari  Ake  Sahu sampai Rum Balibunga  udara normal. Walaupun hasil tak ada polusi, fakta sejak PLTU beroperasi, debu masuk rumah, warga sesak napas,” katanya.

Tikep Nurbaity Fabanyo, Kepala DLH  mengatakan, penelitian dengan tim kesehatan DLH   kondisi udara normal itu  enam bulan lalu.  Dia berjanji kembali  mengundang Dinas Kesehatan    turun uji kualitas udara sekitar PLTU.

Dampak  debu  batubara  terutama  warga RT 005  dan RW 02 Kelurahan Rum Balibunga Kecamatan Tidore Utara  benar- benar   meresahkan.  Selasa (7/2) lalu   warga mendatangi  Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tidore Kepulauan. Awalnya, mereka mendatangi PLTU tetapi tak digubris.

Didampingi  Kepala  Kelurahan Rum Balibunga Ridwan Kura,  perwakilan warga masing-masing  Ketua RW002 Kahar Usman, Ketua RT05 Imran Senuk, Tokoh Masayarakat  Riswan M. Zen dan tokoh pemuda Wahid Din bertemu Tikep Nurbaity Fabanyo.

Dalam pertemuan itu, mereka memberikan pernyataan sikap  yang sedianya buat PLTU, karena tak memberikan  tanggapan  mereka serahkan ke DLH.

Imran mengatakan, berdasarkan hasil pertemuan   masyarakat  RT05 dan  RW02  pada 6 Februari 2017 membahas soal debu.

 

Penumpukan batubara dekat perairan. Foto: M Rahmaz Ulhaz

 

Warga  meminta pemukiman  mereka direlokasi,   jauh dari  PLTU dan wajib bagi perusahaan. Jika mereka belum relokasi dengan tenggat waktu lama,    PLTU harus memberikan kompensasi untuk kesehatan.  “Ini karena warga sudah sering keluar masuk rumah sakit  akibat  gangguan pernapasan.”

Mereka juga meminta   PLTU menyediakan kompensasi  perawatan rumah  penduduk bila pemukiman belum direlokasi.  Mereka juga menyampaikan dampak   tak  hanya debu batubara, bau menyengat, bunyi mesin  dan getaran juga sangat mengganggu.

Mereka mendesak PLTU hadir di tengah masyarakat sekaligus bertanggungjawab atas debu yang  mengganggu kesehatan serta kenyamanan mereka.

Ridwan usai pertemuan   mengatakan, sejauh ini, perusahaan belum memberikan perhatian terhadap warga sekitar  PLTU. Bahkan program tanggung jawab social tak berjalan.  “Penduduk kita disini berjumlah 1.348 jiwa, sebagian sudah mengalami gangguan pernapasan.”

 

 

Penderita   ISPA Terus Naik

Sesuai  data Puskesmas Rum Balibunga Tidore Utara Kota Tikep, tercatat penyakit infeksi saluran pernapasan (ISPA) warga Kelurahan Rum Balibunga tiga tahun terakhir mengalami peningkatan.

Kepala Puskesmas Rum Balibunga Farida Salim   mengatakan, khusus penderita ISPA di kelurahan ini 2014 ada 209 penderita, 2015 naik jadi 338 kasus dan 2016,   sebanyak 391 penderita.

“Kita disini hanya rawat jalan, kalau penyakit sudah akut,   langsung dibawa  ke rumah sakit daerah,”katanya.

Soal penyakit ini, Puskemas belum bisa berspekulasi apakah kenaikan penderita ispa dari karena debu batubara.

Pegiat Lingkungan Kota Tidore Kepulauan  Aljufri Yunus meminta pemerintah  segera turun tangan. Debu batubara itu bisa mengancam nyawa manusia.

PLTU Rum Balibunga itu, sesuai aturan tak boleh  dekat pemukiman warga. Hanya karena saat ini, sudah beroperasi, dia mendesak semua pemukiman   di sekitar PLTU harus relokasi, termasuk  SD Negeri Balibunga.

“Kalau tidak direlokasi maka rekomendasi saya adalah  PLTU harus  tutup daripada mengancam nyawa manusia,” katanya.

Dia bilang, salah satu penyakit dari menghirup debu batubara adalah paru-paru hitam atau black lung disease. Jika  dari waktu ke waktu, menghirup debu batubara terakumulasi,   menyebabkan gangguan pernapasan yang mengancam nyawa manusia.

Pembongkaran  dan pengangkutan batubara  ke penampungan atau stockpile, katanya, tak boleh siang hari, harus  malam hari karena warga sudah tidur.

Namun  beberapa kali pembongkaran siang hari. “Dinas Lingkungan hidup harus uji kualitas udara  per triwulan  jika tak DLH  yang  melakukan pembiaran.”

PLTU, katanya, juga harus bertanggungjawab atas kesehatan warga sekitar, dengan program CSR (corporate social responsibility). Jika warga terganggu pernapasan    perusahan harus punya  tanggung jawab atas kesehatan masyarakat sekitar.

 

Siswa SD Rum Balibunga yang menyampaikan keluhan mereka kepada wali kota saat berkunjung ke sekolah itu. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,