Mongabay Travel: Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang

Kawasan karst Rammang-rammang di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan kini telah menjadi salah satu tujuan wisata penting di Sulawesi Selatan. Tidak hanya karena keindahan panorama alamnya, jaraknya yang hanya sekitar 40 km dari Kota Makassar menjadi pertimbangan tersendiri bagi wisatawan dari luar.

Ketika berkunjung ke kawasan ini, Rabu (22/02/2017), saya cukup takjub dengan perubahan yang begitu cepat. Ini adalah kunjungan yang ketiga, sejak kunjungan pertama di tahun 2013 silam dan kedua di pertengahan 2015. Dermaga yang kini tertata rapi. Perahu-perahu yang berjejer rapi menunggu antrian. Kantin pun mulai berjamuran, tidak serba darurat seperti dulu.

Sebuah kertas yang terlaminating dipasang di tiang dermaga berisi informasi tarif penggunaan perahu. Tarifnya macam-macam, dari harga Rp200 ribu – Rp350 ribu, tergantung besar dan daya muat perahu yang akan ditumpangi.

 

 

Kawasan ini memang memiliki pesona tersendiri. Untuk mencapainya kita pertama harus menyusuri sungai dengan batu-batu besar, seperti tumbuh dari dasar sungai. Sekelilingnya adalah aneka tanaman mangrove alami. Pada titik tertentu kita harus melewati celah batu yang cukup muat untuk dilewati perahu.

Tiba di lokasi, kondisinya juga semakin baik. Dermaga yang semakin luas dan lebih aman, bukan lagi kumpulan bambu dan kayu yang dijejer seadanya. Sebuah loket ditempatkan di pintu masuk. Harus membayar tarif Rp3000 per orang untuk masuk tempat ini.

Ada banyak titik yang bisa dikunjungi di tempat ini. Di antaranya adalah situs Passaung, Padang Ammarung, Gua Berlian dan Gua Kelelawar. Namun tak semua pengunjung bisa ke titik tersebut. Paling banyak hanya keliling kawasan untuk berfoto dengan latar belakang gunung karts dan areal persawahan. Suasana yang sunyi dan sejuk membuat orang akan betah berlama-lama di tempat ini.

 

Deretan gunung karst yang ditumbuhi vegetasi alami menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan ini. Kawasan ini sempat menjadi incaran tambang marmer, meski kemudian dibatalkan di tahun 2013 karena penolakan warga. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Musdalifah, petugas jaga di loket tersebut, pengunjung biasanya ramai di hari Sabtu – Minggu dan hari libur lainnya. Bisa mencapai 700 orang per hari. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dan bahkan sebagian dari luar negeri. Ada sekitar 125 armada perahu yang siap mengangkut mereka setiap harinya.

“Kalau hari biasa seperti sekarang sekitar 50-100 orang per hari. Tempat ini tak pernah sepi.”

Menurut Musdalifah, banyaknya wisatawan yang berkunjung ini dipicu oleh semakin menyebarnya informasi keindahan tempat ini di media sosial. Apalagi sejumlah film nasional dan lokal mengambil lokasi syuting di tempat ini.

Untuk penginapan, pengunjung bisa menyewa rumah warga dengan tarif beragam sesuai dengan kesepakatan. Umumnya dikenakan tarif berdasar biaya makan, antara Rp35 ribu – Rp50 ribu per sekali makan.

Dalam perjalanan menuju lokasi ini, di sekeliling juga telah dibangun sejumlah kafe dan wisma yang bisa digunakan untuk bersantai dengan keluarga. Salah satu yang cukup menonjol adalah Rammang-rammang Kafe. Pemilik perahu sengaja membawa kami singgah di tempat ini dalam perjalanan pulang.

Keberadaan kafe ini cukup mengejutkan saya karena tak pernah melihatnya pada kunjungan sebelumnya. Udin Danci, pemilik kafe ini, menjelaskan kalau kafe tersebut memang baru dibangun pada 2016 silam.

Menurut Udin, kafe dan penginapan dengan ekowisata yang dibangunnya ini sudah direncanakan sejak 10 tahun silam, namun baru 2014 benar-benar direalisasikan.

“Dulu banyak yang tantang, lalu saya ajak diskusi. Saya katakan kalau ini melenceng dari konsep lingkungan tidak akan dilanjutkan, karena memang yang dijual di sini adalah aspek lingkungannya.”

 

Rammang-rammang Kafe, salah satu kafe dan penginapan di sekitar kawasan Rammang-rammang yang cukup banyak diminati pengunjung. Meski terlihat eksklusif tarif yang dikenakan cukup murah, hanya Rp35 ribu per malam. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurutnya, keberadaan lokasi wisata ini dengan sendirinya akan mendorong warga untuk menjaga kawasan tersebut dari masuknya investasi tambang.

“Dengan kita ada di sini juga membuat perusahaan-perusahaan tambang itu ciut dan takkan mau ke sini. Kita dorong terus ada aktivitas ekonomi seperti kafe-kafe agar tambang membatalkan niatnya masuk.”

Kafe yang dibangun Udin tidak hanya menyiapkan tempat makan dan minum yang cukup eksklusif dengan harga murah, tapi juga penginapan yang cukup unik dan bernuansa alam. Berbentuk gubuk kecil dengan fasilitas tempat tidur, kamar mandi, dan ruangan yang sejuk. Tarifnya Rp350 ribu per malam.

 

Perlawanan terhadap tambang marmer

Menurut Muhammad Ikhwan atau Iwan Dento, Ketua Kelompok Hutan Batu, pengelola kawasan wisata ini, keberadaan Rammang-rammang sebagai tujuan wisata sebenarnya merupakan simbol perlawanan warga terhadap kehadiran tambang marmer yang sempat masuk ke kawasan ini.

“Ini adalah buah dari perjuangan yang panjang ketika adanya IUP marmer di tahun 2008 lalu dimana terdapat 3 perusahaan China yang mendapat izin. Satu perusahaan bahkan sudah mulai beroperasi. Sejak 2011 masyarakat terus melakukan perlawanan hingga IUP itu dicabut di tahun 2013,” katanya.

Untuk mencegah kembali masuknya tambang-tambang tersebut maka warga kemudian menginisiasi tempat tersebut sebagai kawasan wisata.

“Pilihan Rammang-rammang sebagai kawasan wisata mungkin bukan pilihan terbaik, namun ini jauh lebih baik dibanding tambang. Ini jika dilihat dari perspektif perlindungan kawasan. Melihat situasi sekarang kita cukup senang dimana bisa membuktikan bahwa kita bisa kelola tempat ini dengan baik melalui wisata.”

 

Perekonomian warga terbantu sejak dibukanya Rammang-rammang menjadi tempat wisata di tahun 2015. Mereka membuka warung, homestay, jasa penyeberangan dan parkir. Apalagi jumlah pengunjung yang semakin meningkat mencapai 40 ribu kunjungan pada 2016 silam. Foto: Wahyu Chandra

 

Proses eksplorasi sebagai kawasan wisata sendiri mulai dilakukan sejak 2014, dimana mereka mencoba mematenkan potensi tersebut dan kampanye di media dan media sosial. Pada tahun 2015 mereka mendorong lahirnya Peraturan Desa dan SK Kepala Dinas Pariwisata Pemkab Maros terkait pengelolaan wisata di Rammang-rammang.

Sejak adanya pengelolaan ini, jumlah pengunjung cukup besar. Dari Oktober 2015 – September 2016 tercatat pengunjung mencapai 40 ribu orang. Dengan asumsi setiap pengunjung mengeluarkan uang Rp150 ribu per hari, maka diperkirakan uang yang beredar mencapai Rp6 miliar.

“Perputaran uang langsung sekitar Rp6 miliar, sementara yang masuk ke kas kami sebesar Rp200 juta. Sebanyak 25 persen kita serahkan ke desa, sisanya digunakan untuk operasional kelompok dan memperbaiki infrastruktur pendukung dan penambahan fasilitas.”

Terkait dampak wisata ini bagi masyarakat, lanjut Iwan, berdasarkian kajian yang pernah mereka lakukan,keberadaan wisata ini berdampak langsung kepada 200 orang warga, mulai dari pemilik perahu, homestay, warung hingga parkir. Sementara dampak tidak langsung dirasakan oleh 100 warga.

Sayangnya, meski mulai dilirik wisatawan dalam dan luar negeri, hingga saat ini belum ada perhatian dari Pemda setempat, tidak seperti Bantimurung dan tujuan wisata lain di Kabupaten Maros.

“Kita memang belum melihat adanya perhatian pemerintah di sini. Kemarin Pemda Maros merilis tujuan wisata lain yang berlokasi di Tompo Bulu. Kita heran juga kenapa bukan Rammang-rammang ini saja yang dikembangkan?”

Meski demikian, Iwan merasa lebih nyaman jika Rammang-rammang dikelola masyarakat, meskipun kemudian butuh payung hukum untuk melundungi aktivitas masyarakat.

“Karena itu kami sedang berjuang Rammang-rammang ini bersama kawasan karst lain di Maros bisa dijadikan geopark. Kajiannya sudah jalan. Kelebihannya dengan geopark karena tidak hanya bicara tentang perlindungan alamnya saja, tapi juga masyarakat dan budayanya.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,