Menuju Kongres Masyarakat Adat V: Bagaimana Nasib Mereka Kini?

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam hitungan hari ke depan akan merayakan hari jadi ke-18. Perayaan akan diisi berbagai agenda terangkum dalam Kongres Masyarakat Adat V pada 14-19 Maret di Kampung Tanjung Gusta, Sumatera Utara. Kongres itu selain merumuskan langkah kerja AMAN ke depan, sekaligus pergantian tampuk kepemimpinan organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia itu.  Dalam gawe ini diperkirakan sekitar 5.000 orang dari 2.304 komunitas adat akan hadir.

Sekjen AMAN Abdon Nababan pekan lalu mengatakan, sebenarnya Indonesia negara dengan konstitusi paling baik di dunia terkait masyarakat adat. Pengakuan mengenai masyarakat adat terangkum dalam Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 yang menempatkan masyarakat adat pada posisi terhormat. Hanya, selama 71 tahun Indonesia merdeka, pemerintah alpa mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

“Sekarang ini tumpukan masalah tentu saja paling banyak ketika masa rezim Orba. Bahkan UU Pokok Agraria yang sudah memposisikan hak masyarakat adat atas wilayah adat dikenal dengan hak ulayat, ketika Soeharto berkuasa, UU itu ditaruh di freezer kulkas. Tak dipakai,” katanya.

Soeharto,  malah datang dengan UU sektoral yang mengadopsi doktrin kolonial kalau pemilik tanah tak bisa membuktikan tertulis tanah itu milik mereka, negara dengan sepihak jadikan tanah negara. “Padahal masyarakat adat tak mempunyai bukti tertulis. Mereka mempunyai bukti berdasarkan konvensi-konvensi adat,” katanya.

Kondisi ini, makin membuat rumit kala lahir UU Kehutanan tahun 1967, satu paket dengan UU Penanaman Modal. Hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat makin tak jelas.

Abdon menceritakan awal mula AMAN terbentuk pada 1999. Kala itu, diselenggrakan kongres pertama di Hotel Indonesia Jakarta. Ketika awal berdiri, Abdon menyebut posisi AMAN sebagai bagian dari konfrontasi. Perlawanan melalui berbagai cara. Aksi, pendudukan, protes menuntut hak-hak masyarakat adat seringkali terjadi tanpa ada dialog.

Era konfrontasi ini berlangsung hingga 2007. Saat Kongres AMAN di Pontianak, diputuskan memulai pendekatan baru dalam menuntut hak-hak masyarakat adat. Ia lebih banyak dialog daripada konfrontasi. Keputusan itu diambil melihat ada perubahan di tataran pemerintah.

Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia di TMII. Lalu 2007, dalam sidang umum PBB, Indonesia menandatangani deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat.

Tahun 2011, AMAN menggugat ketentuan mengenai hutan adat ke Mahkamah Konstitusi hingga lahirlah putusan MK-35 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, dan bagian tak terpisahkan dari hak ulayat. Dengan begitu, harus kembali kepada masyarakat adat.

Barulah, pemilihan Presiden 2014, AMAN dan Joko Widodo kala itu masih calon presiden membuat kesepakatan politik. Ada beberapa kesepakatan diambil. AMAN menjanjikan suara saat pemilu bagi Jokowi-Jusuf Kalla. Abdon mengklaim, AMAN menyumbang 12 juta suara bagi pasangan Jokowi-JK.

Setelah Jokowi-JK memimpin bagaimana realisasi kesepakatan-kesepakatan itu?

“Salah satu poin disepakati AMAN dengan Jokowi saat itu terkait implementasi putusan MK-35. Memang sudah mulai terealisasi meski angka masih sangat kecil,” katanya.

Pada akhir 2016, Presiden Jokowi menetapkan pengakuan hutan adat seluas 13.122 hektar kepada delapan komunitas adat dan pengeluaran satu komunitas adat dari konsesi perusahaan.

“Maka kita bilang waktu itu seperti pecah telor. Sebagai tanda, akhir 2016 sudah ada mekanisme memproses itu. Perkiraan kami berdasarkan peta indikatif, ada 84 juta hektar wilayah adat, 57 juta hektar dalam kawasan hutan.”

Dengan begitu, katanya, kalau soal realisasi janji sudah berjalan tetapi masih kecil. “Kita bilang, ya sudah nanti Presiden kalau datang ke kongres bawa oleh-oleh lagi. Nambah lagi luasan. Presiden dijadwalkan datang.”

 

Para petani tradisional dataran tinggi di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya tampak sedang mengerjakan tanah. Satu tradisi yang telah dilakukan sejak ribuan tahun secara bergenerasi. Foto: Wahyu Mulyono

 

Kesepakatan lain antara AMAN dan Jokowi kala itu, review berbagai peraturan perundang-undangan sesuai perintah TAP MPR Nomor 9/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Juga soal penyelesaian konflik. Saat masih capres, Jokowi sepakat,  selama lima tahun masa kepemimpinan harus ada mekanisme nasional penyelesaian konflik.

“Sekarang ada rancanagn Perpres tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Kalau Perpres ini tak selesai juga sampai akhirnya bagaimana? Paling tidak ada lah sedikit kemajuan. Juga ada kemajuan yang sektoral di KLHK. Sekarang ada sekretariat pengaduan di KLHK walaupun dari 40 kasus inkuiri nasional yang kami serahkan, baru satu selesai yaitu Pandumaan Sipituhuta.”

Kesepakatan lain soal pembentukan lembaga permanen mengurusi masyarakat adat hingga kini masih proses.“Kalau Presiden datang ke kongres membawa Satgas Masyarakat Adat saja, mungkin utang sudah lunas sedikit.”

Poin lain soal desa adat. Dia menilai, implementasi agak susah. Bukan karena komitmen pemerintah kurang, tetapi UU membuat rumit penetapan desa adat. Ada ketentuan mengatakan, sebelum ada penetapan desa adat oleh perda kabupaten, harus ada perda pengaturan di provinsi.

“Harus ada upaya pemerintah untuk menerobos itu. Kalau nggak, ya gak akan jadi juga. Meski ini tak bisa disalahkan ke Jokowi saja karena hasil sebelumnya.”

Kemudian pengesahan RUU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat juga jadi bagian komitmen Jokowi. RUU ini,  meskipun masuk Prolegnas, tetapi inisiatif DPR. “Ini masuk dalam komitmen Nawacita, harusnya jadi inisiatif pemerintah.”

Saat ini, katanya,  tantangan besar bagaimana mengembalikan kondisi setelah sekian lama negara alpa. Masyarakat adat, harus menjadi subyek hukum dalam penyelenggaraan negara. Tercatat, peta wilayah adat, keberadaan juga diketahui negara.

Abdon berharap, setelah kongres, AMAN tak lagi kembali ke era konfrontasi. Dia berharap, hubungan masyarakat adat dan negara bisa lebih baik dan damai.

“Studi terakhir Kadin membuktikan biaya besar harus dikeluarkan para pengusaha untuk meredam konflik. Membayar polisi, menyuap preman, dan lain-lain untuk bisa meredam konflik. Belum lagi beban hidup. Mengorganisasi demo dan lain-lain itu semua butuh biaya. Belum lagi biaya harus dikeluarkan pemerintah yang didemo,” katanya.

Arimbi Haroepoetri , Steering Committee Kongres Masyarakat Adat Nusantara mengatakan, bangsa Indonesia lahir dari masyarakat adat.

Selama ini, katanya, ada salah kaprah kepada masyarakat adat yang selalu identik terbelakang.  Bahkan dulu ada lembaga negara mengatakan masyarakat adat sebagai perambah hutan. Kala kebakaran hutan, katanya, langsung menyalahkan masyarakat adat.

“Penyingkiran dan penghancuran sistematis kepada masyarakat adat, menyangkut semua, mulai pengetahuan tradisional dimatikan, pengetahuan mengenai obat-obatan, benih, pertanian, segala macam. Bahkan termasuk keyakinan agama leluhur. Bagaimana mereka disingkirkan dan dianggap kafir.”

Pemerintah, kata Arimbi,  harus mengakui kekayaan intelektual masyarakat adat dan menghormati eksistensi mereka.

 

Perempuan adat

Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan AMAN mengatakan, tantangan terbesar bagi perempuan dan pemuda adalah bisa masuk dalam proses pengambilan keputusan. Baginya, kongres masyarakat adat kelima ini momentum besar. Kongres ini, kali pertama Perempuan AMAN muncul sebagai organsiasi.

Lewat kongres ini, dia ingin mengkonsolidasikan para perempuan adat supaya suara dan hak bisa terlihat baik internal gerakan masyarakat adat sendiri maupun negara.

“Ketika wilayah adat diambil alih paksa, bukan hanya tanah dan hutan hilang. Ini soal kehidupan generasi mendatang juga akan hilang. Tak akan punya tempat, pengetahuan tak bisa ditransfer kepada generasi muda.”

 

Dukungan pemerintah

Usep Setiawan, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengatakan, perjuangan masyarakat adat di Indonesia tak mungkin terlepas dari perjuangan agraria.

“Presiden Jokowi sudah jelas sejak awal pencalonan dalam Nawacita, bahwa reforma agraria jadi salah satu program strategis jika terpilih. Ini dibuktikan dengan berbagai program terkait redistribusi dan legalisasi tanah oleh pemerintah saat ini,” katanya.

Bahkan,  dalam rencana kerja pemerintah, reforma agraria dijabarkan dalam program-program prioritas seperti penyelesaian konflik agraria.

“Komunitas adat yang terkonsolidasi di AMAN tentu mitra strategis bagi pemerintah.”

Dalam aspek regulasi, KSP terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat. Juga mendorong pembahasan segera RUU PPMHA.

“Kita bersyukur RUU PPMHA masuk salah satu prioritas. Kami bersama AMAN harus bahu membahu memastikan RUU PPMHA ini substansi seperti apa. Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap amsyarakat adat dalam segala segi mesti tercakup disitu termasuk hak-hak atas tanah, hutan dan SDA lain.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,