Perampasan sumber kehidupan warga seperti petani, dan nelayan, berdampak paling besar terhadap perempuan. Terlebih, petani dan nelayan perempuan belum mendapat pengakuan politik dan minim tersentuh program perlindungan maupun pemberdayaan.
“Perempuan benar-benar harus diperjuangkan haknya. Mudah-mudahan pemerintahan makin maju, makin tahu kalau perempuan bisa berjuang, bukan laki-laki tok,” kata Giyem, perempuan petani pegunungan Kendeng dalam aksi International Womens’ Day di Jakarta, Rabu (8/3/17). Hadir juga dalam aksi ini kelompok musik antara lain Marjinal dan Simfoni.
Giyem, perwakilan perempuan petani yang kehilangan terancam kehilangan hak pengelolaan pangan dan sumber sumber air karena kehadiran PT. Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
“Sebenarnya perempuan sama laki-laki sama saja cuma nggak tahu kenapa semua pejabat yang dipilih laki-laki. Belum tentu kalau laki-laki itu semua benar justru banyak perempuan yang mendirikan kebenaran,” katanya.
Dia kecewa terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menerbitkan kembali izin lingkungan meski telah dimentahkan Mahkamah Agung.
Industri ekstraktif masif seperti perusahaan tambang, sawit, tebu dan proyek infrastruktur jalan, bandara sampai reklamasi pantai maupun penguasaan sumber mata air merampas ladang dan hutan sumber kehidupan perempuan.
Kala petani perempuan berhadapan dengan alih fungsi lahan, perampasan tanah, penyeragaman bibit, hingga konflik agraria yang mengusir mereka dari sumber kehidupan, saat bersamaan, perampasan penghidupan perempuan pesisir pun terjadi.
Perempuan nelayan terdorong masuk skema pemiskinan terstruktur yang dilakukan negara. Dampak terberat ditanggung perempuan nelayan, bukan hanya kehilangan akses sumber penghidupan keluarga nelayan, juga pengelolaan wilayah pesisir yang adil dan berkelanjutan.
“Kita melihat selama 14 tahun ada Kementerian Kelautan dan Perikanan, sampai hari ini belum ada pengakuan politik terhadap posisi dan peran perempuan nelayan,” kata Arieska dari Solidaritas Perempuan.
Dalam UU Perlindungan Nelayan, katanya, posisi perempuan masih jadi bagian rumah tangga nelayan.
“Artinya, menihilkan sebenarnya perempuan punya peranan sangat penting disektor perikanan,” kata perempuan yang mendampingi nelayan perempuan Muara Angke ini.
Dia mencontohkan, mereka mempersiapkan keperluan pra tangkap dan menjaga rumah saat suami melaut. Di beberapa daerah ada perempuan melaut. “Memang pembagian peran di masyarakat kita seolah pesisir adalah wilayah perempuan, tengah laut wilayah laki-laki. “
Ketika peran perempuan tak diakui atau kontribusi tak dilihat dalam rumah tangga nelayan, mereka jadi tak diperhitungkan dalam berbagai program pemberdayaan maupun perlindungan, misal asuransi nelayan.
Dia bilang, banyak proyek mengancam wilayah pesisir, mulai dari penambangan pasir hingga reklamasi. “Ketika proyek mau jalan tak pernah ada analisis terpilah gender.”
Peran perempuan lebih berat, misal perempuan mengelola keuangan rumahtangga. “Ketika reklamasi menurunkan pendapatan penghasilan, nelayan perempuan harus berpikir keras bagaimana harus menutupi kebutuhan sehari-hari karena harus bayar sekolah anak dan lain-lain,” katanya.
Berdasarkan penelitian Solidaritas Perempuan, nelayan perempuan di pesisir bekerja lebih 17 jam sehari. “Ini tak sehat untuk reproduksi mereka.”
Tuntutan Komite Aksi IWD 2017 terdiri dari berbagai elemen perempuan lintas sektor kepada pemerintah:
1. Mengakui peran perempuan dalam politik, melibatkan dan mengakomodir kepentingan perempuan dalam berbagai forum pengambilan keputusan, khususnya mengenai kepentingan politik dan kehidupan perempuan. |