Kabupaten Pulau Taliabu di Provinsi Maluku Utara sangat kaya akan potensi laut. Sayangnya, potensi ini tidak dimaksimalkan karena akses yang terbatas. Kurangnya fasilitas pengawasan membuat daerah ini rawan bagi aktivitas illegal fishing dan destructive fishing.
Azis Abdul Rahman, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Taliabu, ditemui di kantornya di Bobong, Pulau Taliabu, pada awal Februari kemarin bercerita tentang keterbatasan instansi yang dipimpinnya, dimana segalanya masih serba darurat. Daerah ini baru mekar menjadi kabupaten sejak tiga tahun lalu, terpisah dari Kabupaten Sula.
“Ini masih serba darurat. Gedungnya saja masih pinjaman. Data-data pun masih sementara dikumpulkan. Fasilitas pengawasan di laut seperti speedboat juga masih terbatas dan kadang harus berbagi dengan instansi lain,” katanya.
Selain itu, Menurut Azis, meski kaya akan potensi laut namun nelayan di Taliabu masih sangat terbatas dalam hal sarana tangkap dan budiaya.
“Kapal-kapal masih sedikit kapasitasnya dan itu pun masih sangat terbatas jumlahnya. Sebagai daerah pesisir dengan potensi perikanan yang cukup besar kita tak punya sarana pabrik es ataupun cold storage. Kemarin ada bantuan dari Kementerian Desa, cuma saya lihat kapasitasnya kecil dan tidak terlalu efektif,” ungkapnya.
Azis menyayangkan kurangnya perhatian pusat terhadap kondisi kelautan dan perikanan di Taliabu. Justru yang banyak berperan selama ini adalah Kementerian Desa, yang selain memberikan bantuan berupa pabrik es juga keramba untuk ikan kerapu dan lobster.
“Mungkin karena kondisi kementerian yang agak lesu juga. Katanya ada perampingan di beberapa direktorat sehingga kemudian berdampak juga pada penganggaran ke daerah,” tambah Azis.
Terkait masih banyaknya kasus illegal fishing dan destructive fishing, Azis tak menyangkal jika selama ini masih banyak laporan dari warga, meskipun kemudian pelakunya tak bisa dijangkau karena keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
“Kita ada banyak laporan, banyak yang lihat, tapi kan kemudian masyarakat tak bisa apa-apa juga. Kita juga masih sulit jangkau. Kehadiran kapal-kapal tanpa izin ini memang sangat mengganggu. Kadang katanya ada yang berbendera Filipina tapi ada juga kapal asing tapi berbendera Indonesia, cuma nelayan kan sudah tahu.”
Menghadapi situasi ini DKP Taliabu kemudian banyak berkordinasi dengan kepolisian. Ada instansi terpadu yang terbentuk terkait pengawasan ini, meski lagi-lagi terkendala pada fasilitas.
“Kasus di Kabupaten Sula kemarin bahkan Kapolresnya hilang ketika sedang mengejar kapal asing dengan fasilitas canggih. Nasib Kapolresnya belum jelas sampai sekarang. Kini mereka tidak berani.”
Meski demikian, dengan segala keterbatasan ini DKP Taliabu tetap berupaya memberikan dukungan pada nelayan dan warga di pesisir. Selain pembinaan untuk budidaya ikan kerapu, mereka juga membantu untuk budidaya rumput laut. Ada pemberian bantuan berupa bibit, tali dan tempat penjemuran. Sedang diusahakan juga pembinaan bagi ibu-ibu nelayan untuk usaha kerupuk rumput laut di beberapa kecamatan.
Potensi dan tantangan perikanan
Berdasarkan data kelautan dan perikanan Taliabu tahun 2016, di Pulau Taliabu saat ini terdapat sekitar 2937 rumah tangga nelayan, yang tersebar di delapan kecamatan. Sebagian besar berupa perikanan laut dengan populasi terbesar di Kecamatan Taliabu Barat. Sebagian besar masih menggunakan perahu tradisional atau sampan sehingga kapasitasnya pun sangat terbatas.
Menurut Ismail Tiwu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap, DKP Kabupaten Pulau Taliabu, jika merujuk pada data yang ada, dari total armada yang ada yaitu 2.938 armada sebanyak 61,16 persen atau sekitar 1.797 masih merupakan kapal tanpa motor (sampan). Sebanyak 36,96 persen atau 1.806 armada adalah perahu dengan mesin tempel atau katinting.
“Belum ada kapal yang cukup besar, rata-tata di bawah 5 GT sementara kondisi cuaca di sini cukup luar biasa, apalagi pada musim-musim tertentu. Gelombang air kadang sangat tinggi dan tidak stabil sehingga nelayan kesulitan menangkap ikan. Untunglah di sini ada dua musim, yaitu selatan dan utara, sehingga nelayan bisa menyiasati dalam hal memilih lokasi penangkapan ikan yang lebih baik. Bisa pindah-pindah lokasi sesuai musim,” tambah Ismail.
Untuk produksi ikan tangkap, merujuk data per Juli 2016, komoditas utama tangkapan nelayan berupa gurita dengan total tangkapan 92.729 kg, menyusul ikan tuna sebanyak 30.350 kg, tenggiri papan sebanyak 30.000 kg dan udang windu sebanyak 15.000 kg. Ikan kerapu hidup cukup besar mencapai 6.350 kg, teripang sebanyak 3779 kg dan ikan sarden sebanyak 5675 kg.
“Dari total tangkapan sekitar 247 ribu ton sebagian besar berada di Kecamatan Taliabu Barat mencapai 58,3 persen dari total kabupaten atau sekitar 144 ribu kg,” tambah Ismail.
Sayangnya, menurut Ismail, seluruh ikan tangkapan tersebut masih dijual dalam bentuk gelondongan dan mentah. Belum ada industri khusus untuk pengolahan ikan menjadi makanan jadi.
“Makanya kemarin, untuk meningkatkan nilai tambah nelayan, kami mengajak sejumlah nelayan dan penyuluh mengikuti pelatihan pembuatan bakso di Pacitan Jawa Timur. Mereka juga belajar membuat soles tuna pedas di tempat yang sama. Kita ajak penyuluh agar bisa melatih nelayan-nelayan di daerah dampingannya masing-masing.”
Selain itu, DKP Taliabu juga tengah berupaya mengembangkan inudstri rumah tangga berupa kerupuk rumput laut, meskipun masih dalam skala terbatas.
“Kita masih uji coba, kemasan pun masih sederhana. Nantinya kami juga akan mengajak mereka belajar ke Lombok untuk pengolahan rumput laut menjadi dodol dan bagaimana mengemas produk secara lebih baik.”
Rumput laut dan keramba memang menjadi dua sektor andalan Taliabu untuk sektor budidaya. Budi daya ikan keramba sendiri berupa kerapu dan lobster. Ada juga budi daya abalone dengan produksi mencapai 3,9 ton. Di tahun 2016 lalu total produksi seluruh sektor budidaya ini mencapai 414,6 ton.
Untuk budidaya rumput laut, sentranya di Kecamatan Taliabu Barat Laut, Taliabu Barat dan Lede. Total produksinya mencapai 408 ton di tahun 2016 yang diharapkan terus meningkat seiring semakin banyaknya bantuan dari Pemda.
Mempertegas pernyataan Kadis DKP Taliabu sebelumnya, Ismail menjelaskan kerentanan yang dialami perairan Pulau Taliabu terkait masih maraknya aktivitas illegal fishing dan destructive fishing. Upaya penindakan dilakukan masih berbasis pelaporan masyarakat yang terkadang terlambat karena akses informasi yang sulit. Speedboat yang digunakan juga hanya satu buah dengan kapasitas dan kecepatan yang terbatas.
“Namun dengan keterbatasan kita tetap anggarkan sekitar Rp163 juta per tahun untuk pengawasan per bulan. Biasanya kalau ada laporan masyarakat kita langsung ke lokasi. Kemarin kita sempat menggagalkan upaya penjualan penyu di Desa Limbo, Desa Wayo dan Pulau Saho. Tahun 2015 kita juga menangkap kapal lampu dari Bitung yang menangkap ikan tanpa dokumen.”
Khusus untuk penyu, aktivitas penangkapannya cukup tinggi dan sulit dideteksi, karena biasanya warga menyembunyikan penyu hasil tangkapannya di celah-celah mangrove, menunggu pedagang pengumpul datang. Pembeli sebagian besar berasal dari Luwuk dan sebagian daerah di Sulawesi Tengah lainnya.
“Permintaan penyu cukup besar karena dijadikan konsumsi wajib di pesta-pesta dan di ritual adat. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah per ekornya, tergantung besarnya.”