Warga Indonesia Hidup di Daerah Rawan Bencana

 

 

Indonesia, negara rawan bencana, bahkan tak sedikit penduduk tinggal di kawasan ini. BNPB mencatat, 148,4 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi, lima juta tsunami, 1,2 juta penduduk rawan erupsi gunung api, 63,7 juta jiwa rawan banjir, dan 40,9 juta jiwa tinggal di rawan longsor.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sampai Januari 2017 saja, bencana sudah 304 kali, dengan korban meninggal dan hilang lebih 25 jiwa, menderita dan mengungsi 178.743 jiwa dan kerusakan permukiman 2.251 unit. Jumlah itu berupa banjir, tanah longsor, gelombang pasang atau abrasi, gempat bumi, kecelakaan transportasi, dan puting beliung.

“Setiap tahun negara mengalami kerugian Rp30 triliun akibat bencana,” kata Willem Rampangilei Kepala BNPB.

Di Indonesia,  ada 386 kabupaten/kota di zona bahaya gempa bumi sedang hingga tinggi. Ada 233 kabupaten/kota di rawan tsunami, 75 kabupaten/kota terancam erupsi gunung api. Lalu, 315 kabupaten/kota di daerah bahaya sedang-tinggi banjir, dan 274 kabupaten/kota daerah bahaya sedang-tinggi bencana longsor.

“Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Aceh lima provinsi terbanyak terpapar bencana 2016,” katanya.

Sepanjang 2016, katanya, bencana terbanyak di Jateng 639 kali, diikuti Jatim 409 kejadian, Jabar 329 kali, Kaltim 190 kali dan Aceh 83 kali.

Sedang sebaran kejadian bencana per kabupaten/kota tertinggi di Cilacap 100 kali, Magelang 56 kali, Wonogiri 56 kali, Banyumas 53 kali, dan Temanggung 50 kali.

Willem mengatakan, tren bencana terus meningkat dari tahun ke tahun. “Tahun 2016 terjadi 2.384 bencana, 92% didominasi banjir, longsor dan puting beliung. Bencana tahun itu naik 1.732 atau 38% dari 2015.”

Penyebab kenaikan bencana ini, katanya, antara lain, laju degradasi lingkungan lebih cepat daripada pemulihan, pembangunan kurang memperhatikan aspek kerawanan bencana, dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim (anomali) cuaca serta aspek tata ruang yang belum berbasis kebencanaan.

Untuk itu, kata Willem, perlu penanggulangan bencana guna meminimalkan korban jiwa dan kerugian. Ada tiga poin utama dalam penanggulangan bencana, yakni, menjauhkan masyarakat dari bencana, menjauhkan bencana dari masyarakat, dan hidup harmonis dengan bencana.

 

Tata kelola air

Pakar Teknik Sumberdaya Air Universitas Gajah Mada (UGM), Budi Santoso Wignyosukarto, mengatakan, penanggulangan banjir salah satu bagian pengelolaan sumberdaya air.

Pengelolaan sumberdaya air dalam satu daerah aliran sungai ataupun satu wilayah sungai, katanya,  harus terpadu (integrated water resources management). Terpadu sejak air hujan jatuh ke bumi, katanya, meresap ke tanah, menguap, mengalir di permukaan dari hulu sampai ke hilir, hingga tiba di muara sungai dan bercampur air laut.

“Satu kejadian di salah satu bagian, baik hulu maupun hilir, akan berpengaruh ke bagian lain hingga banyak sektor saling terpengaruh,” katanya, baru-baru ini.

Dia mencotohkan, Jakarta, walaupun sudah menormalisasi sungai, tetapi bagian hulu, limpasan hujan tak terkendali, ataupun Jakarta tak dapat mengendalikan ekstraksi air tanah hingga penurunan, banjir akan tetap terjadi.

Keadaan ini, katanya, akan diperparah saat elevasi muka air, tempat pembuangan air sungai, di pantai utara Jakarta, makin lebih tinggi dari muka tanah Jakarta Utara. Kondisi ini dampak penurunan muka tanah berlebihan atau kenaikan muka air laut, efek perubahan iklim.

Akibatnya, kapasitas pembuangan sungai-sungai di Jakarta ke laut makin kecil, kecuali dibantu pompa.“Jadi, penyelesaian banjir Jakarta harus dipikirkan bersama oleh berbagai sektor. Kita harus bekerja sama agar terbebas dari penderitaan tergenang air, terhambat kegiatan ekonomi, dan lain-lain,”katanya.

Menurut dia, banjir dan kekeringan seperti dua sisi mata uang. Kalau suatu saat limpasan air terlalu besar terjadi banjir, berarti air meresap makin sedikit. Cadangan air dalam tanah juga makin sedikit. Untuk itu, perlu keterpaduan antara upaya konservasi air, pemanfaatan air dan pengendalian banjir.

Kombinasi tanggul dan pompa, yang dikenal sebagai konsep polder, katanya, dapat dipakai mengatasi banjir di beberapa tempat dengan elevasi muka air tanah lebih rendah dari laut.  Pada polder-polder itu proses pengelolaan air dipisahkan dari daerah yang mempunyai muka tanah lebih tinggi dari muka air laut.

Daerah sangat landai seperti Jakarta, katanya, energi yang mengalirkan air ke muara ditentukan elevasi muka air di hulu dan laut, serta kemiringan sangat kecil.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,