Buaya Muara Dievakuasi dari Rumah Warga, Lalu?

Buaya muara (Crocodylus porosus) milik Tirto Sudarmo, 69, warga Desa Panusupan, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) itu hanya dikandangkan di samping rumahnya. Satu sisi kandang adalah tembok rumah, sedangkan ketiga sisi lainnya adalah pagar dari kayu. Kandang tersebut sama sekali tidak representatif, apalagi lokasinya berada di kawasan pemukiman padat.

Sudarmo sudah memelihara sejak setahun terakhir. Ia mengatakan kalau buaya muara tersebut diberikan sebagai hadiah ulang tahun. “Karena diberi, maka saya pelihara di sini. Kandang saya buat di samping rumah dan dikasih semacam lubang untuk tempat air. Kandangnya paling ukuran sekitar 1,5 m x 3 meter saja dengan dipagar rapat. Jadi, selama setahun terakhir buaya juga tidak ke mana-mana karena kandangnya kuat,” ungkap Sudarmo, Kamis (02/03/2017) lalu.

Dia mengatakan kalau untuk memelihara buaya memang harus berhati-hati dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Biasanya, makanan buaya yang saya pelihara adalah ayam dan ikan. Selama satu minggu, setidaknya membutuhkan biaya sekitar Rp75 ribu hingga Rp100 ribu,”jelasnya.

 

 

Ternyata semakin lama, ukuran buaya bertambah besar dan semakin membutuhkan dana yang tidak sedikit. “Terus terang, saya takut, apalagi di sini kandangnya kecil dan berada di tengah pemukiman penduduk. Apalagi, semakin besar buaya, maka pakan juga kian banyak. Saat ini saja ukuran panjang tubuhnya mencapai 1,5 meter dan bobotnya mencapai 110 kg atau 1,5 kuintal. Karena itulah, saya mencari informasi untuk menyerahkan satwa tersebut. Apalagi, ternyata buaya muara merupakan salah satu hewan yang dilindungi. Makanya, kemudian saya menyerahkan kepada instansi yang berwenang yakni Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jateng,” kata Sudarmo.

Menurutnya, ia ikhlas menyerahkan karena untuk keamanan warga sekitar dan dirinya juga semakin berat biaya pemeliharaan. “Kebetulan petugas BKSDA langsung datang begitu saya bersedia menyerahkan,”ujarnya.

Salah seorang petugas BKSDA Jateng wilayah Konservasi II Dedy Supriyanto mengungkapkan untuk menangkap seekor buaya dari rumah tersebut membutuhkan waktu lebih dari satu jam. “Terus terang saja, petugas BKSDA kan tidak memiliki peralatan lengkap. Hanya peralatan sederhana, kayu sama tali. Jadi harus benar-benar cermat jika ingin melakukan penangkapan. Butuh waktu untuk menangkap buaya tersebut. Begitu tertangkap, yang paling penting adalah matanya kemudian ditutup agar tidak semakin liar jika dibawa. Kami membawanya menggunakan mobil bak terbuka ke Unit Penangkaran Buaya di Desa Dawuhan Kulon, Kecamatan Kedungbateng, Banyumas,” jelas Dedy.

Ia mengungkapkan sebelumnya juga ada beberapa buaya yang telah dititipkan di Unit Penangkaran Buaya di Dawuhan Kulon itu. Kalau ditotal dengan milik Sudarmo, maka sudah ada empat ekor buaya yang dititipkan ke penangkaran setempat. BKSDA menerima hewan dan sitaan dari warga.

 

Seorang petugas tengah mengecek buaya di lokasi penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas. Foto : L Darmawan

 

Koordinator Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Rahmat Hidayat mengungkapkan bahwa sebelumnya, BKSDA Jateng membawa buaya muara cukup besar dari Demak. Buaya berjenis kelamin betina tersebut memiliki panjang hingga 3,1 meter dengan bobot sekitar 300 kg. Buaya muara tersebut dievakuasi dari Pondok Pesantren (Ponpes) Mbah Misbah di Desa Temu Roso, Kecamatan Krasak, Kabupaten Demak.

“Sewaktu dievakuasi, buaya tersebut dibawa lewat jalan darat menuju ke penangkaran di Desa Dawuhan Kulon. Selama dalam perjalanan pada malam hari, buaya tersebut disiram air beberapa kali. Sewaktu diturunkan saja, ada enam orang yang menggotong, karena berat,” jelasnya.

Rahmat menambahkan jika Unit Penangkaran Buaya di Desa Dawuhan Kulon tersebut cukup representatif. Ada sejumlah kolam yang dimiliki pengelola, menyesuaikan dengan ukuran buaya. Unit penangkaran di Desa Dawuhan Kulon tersebut cukup representatif. Meski berada di sekitar pemukiman warga, namun aman. Sebab, di sekeliling penangkaran dibangun tembok tinggi dan di dalamnya ada semacam kandang-kandang. Ada kolam berukuran 10×6 meter, 8×5 meter dan 5×4 meter. Masing-masing kolam dilengkapi dengan pagar pengaman.

“Buaya muara yang dievakuasi dari Demak tersebut sengaja dilepaskan ke kolam supaya berkembang biak. Sebab, di dalam lokasi penangkaran ada buaya jantan. Unit Penangkaran Buaya di Dawuhan Kulon ini di bawah pengawasan BKSDA Jateng. Apalagi, ada dua orang ahli penangkaran buaya muara di tempat tersebut,”ungkap Rahmat.

 

Seorang petugas tengah mengecek buaya di lokasi penangkaran di Desa Dawuhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas. Foto : L Darmawan

 

Sementara pemilik Unit Penangkaran Buaya Fatah Arif Suyoko mengatakan kalau saat sekarang sudah ada enam ekor buaya muara yang ada di penangkaran setempat. “Kami dipercaya oleh BKSDA untuk melakukan penangkaran. Dari enam ekor buaya muara, empat di antaranya merupakan titipan BKSDA. Sedangkan dua ekor lainnya saya beli dari sebuah penangkaran di Jawa Barat,”ujarnya.

Fatah mengatakan kalau dirinya awalnya hobi memelihara buaya. Namun, karena buaya merupakan hewan yang dilindungi, maka kalau memelihara harus melewati izin berupa penangkaran. Hal itu diatur dalam UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta PP No 7 tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. “Akhir tahun lalu, saya mengantongi izin penangkaran, sehingga buaya muara yang dipelihara di penangkaran sini tidak melanggar hukum,”kata Fatah.

Kini, Unit Penangkaran Buaya di Dawuhon Kulon, Kedungbanteng itu menjadi salah satu tempat penitipan buaya BKSDA hasil sitaan atau hibah warga. Sebab, tempat penitipan buaya di Jateng cukup terbatas jumlahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,