Bukan Lokasi Potensi Terbesar Panas Bumi, Mugiono: Jangan Buru-buru Nyasar Kawasan Konservasi

 

 

Potensi panas bumi di Indonesia melimpah. Ia tersebar membentuk jaringan ring of fire sepanjang 7.500 KM dan lebar 50-200 KM mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi utara hingga Maluku. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan potensi panas bumi sampai 29.543,5 MW tersebar di 330 titik, baru dimanfaatkan 1.513,5 MW atau 5,12%. Potensi panas bumi terbesar ada di kawasan alokasi penggunaan lain (APL) selain kawasan hutan produksi, lindung bahkan konservasi. Belakangan, kontroversi muncul karena terkesan banyak ingin menyasar kawasan konservasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun tampak serba salah, antara khawatir kawasan konservasi dan mendukung pengembangan energi panas bumi.

Is Mugiono, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK mengatakan, sebenarnya lebih mendorong pengembangan panas bumi di APL terlebih dulu, jangan terburu-buru masuk kawasan konservasi.

“Kita maunya kalau yang di APL ada, jangan buru-buru masuk ke area konservasilah. Itu poinnya. APL itu kan sangat luas. Mengapa buru-buru masuk ke kawasan konservasi? Tapi kalau itu sudah maunya paling tinggi di situ ya monggo. Tapi di APL sangat banyak,” katanya .

 

Baca juga: Mau Bikin Pembangkit Panas Bumi, PT Hitay Danai Ilmuan UGM Kaji Zona Kappi, Begini Hasilnya

 

Merujuk data KESDM, katanya, potensi panas bumi di kawasan konservasi lebih kecil dibandingkan hutan lindung dan APL. Total potensi distribusi panas bumi di konservasi ada 46 titik (6.157 MW), hutan lindung 56 titik (6.391 MW), hutan produksi 50 titik (3.893 MW) dan APL 145 titik (12.176 MW).

“Jelas lebih rendah dibandingkan APL. Artinya, kita bisa bermain-main dengan data ini, sebenarnya yang banyak panas bumi ini dimana sih? Kok konservasi ini dikejar sampai aturan diubah? Ini jadi kajian kita. Ini bukan data kita, tapi ESDM. Poinnya, yang di hutan konservasi itu tak sebesar APL. Ini sebenarnya potensi yang mesti kita cermati,” katanya.

Menurut dia, potensi panas bumi di kawasan konservasi berada di delapan taman nasional yakni, Taman Nasional Gunung Leuser, Batang Gadis, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Halimun Salak, Ciremai, Rinjani dan Bogani Nani Wartabone. Juga ada di tiga taman wisata alam, yakni, Dieng, Danau Buyan/Tamblingan dan Ruteng.

 

Dilema zona inti

Baru-baru ini hangat jadi bahan perbincangan rencana pengembangan panas bumi di  zona inti Taman Nasional Gunung Leuser Kappi, Gayo Lues Aceh oleh PT Hitay Panas Energy. Banyak kalangan mengkhawatirkan bisa mengganggu kehidupan satwa liar dan ekosistem di wilayah itu. Hingga kini, katanya, masih dibahas intensif.

“Hitay di Leuser dari ESDM itu sudah diizinkkan melihat-lihat. WKP (wilayah kerja panas bumi-red) itu yang menentukan bukan KLHK. Kita mendapat tugas karena WKP ada di kawasan konservasi. Ketika berada di lindung dan produksi itu dibahas planologi, ketika di konservasi dibahas KSDEA.”

Untuk  Hitay, katanya, WKP sudah keluar dari KESDM. Sekarang proses penyelidikan dan ternyata sumber berada di zona inti. “Ini yang sekarang sedang kita bahas. Itu nanti akan dibikin kajian dulu.  Yang jelas tata karma panas bumi di kawasan konservasi boleh, baik taman nasional, taman wisata alam dan tahura asal di bloking atau zona pemanfaatan. Bagaimana jika berada di zona inti? Itu persoalannya, kita menghadapi persoalan itu,” ucap Mugiono.

Mugiono mengatakan pembahasan mengenai hal tersebut harus melalui seranggakain tahapan. Tak bisa dikerjakan sendiri oleh KLHK.

“Harus ada konsultasi publik. Jadi nanti bagaimana kalau berlanjut? Harus ada UKL UPL, Amdal atau KLHS itu yang bisa menjawab. Tapi ini kan masih dalam fase penyelidikan meskipun informasinya memang sumber panas buminya berada di zona inti.“

 

PLTP Kamojang. Foto: Setkab.go.id

 

Dukungan KLHK

Sebenarnya, guna pemanfaatan panas bumi di kawasan hutan, pada 19 Desember 2011,  KESDM dan Kementerian Kehutanan membuat nota kesepahaman. Berbagai aturan diperbaharui. Dalam perjalanannya, UU Nomor 27 /2013 tentang panas bumi juga revisi jadi UU 21/2014.

“Perubahan UU panas bumi itu memberi peluang memanfaatkan panas bumi dengan terminologi jasa lingkungan. Kita cukup lama menggarap regulasi itu,” katanya.

KLHK juga membuat beberapa kebijakan mendukung pemanfaatan panas bumi seperti revisi PP 28/2011 jadi PP 108/2015 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Dalam revisi itu masuk ketentuan mengenai pemanfaatan jasa lingkungan untuk panas bumi. Lalu menerbitkan Permen LHK Nomor 46/2016 tentang pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi pada kawasan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.

Dalam permen LHK itu, telah terbit izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi tahap eksploitasi kepada PT Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Salak pada zona pemanfaatan Taman Nasional Halimun Salak seluas 228,69 hektar dengan kapasitas 377 MW. Izin serupa juga kepada PT Indonesia Power, juga di kawasan pemanfaatan Taman Nasional Halimun Salak seluas 13,725 hektar dengan kapasitas 180 MW.

 

Panas bumi eksisting pakai ‘baju’ jasa lingkungan

Saat ini, katanya,  ada pembangkit listrik panas bumi beroperasi di hutan konservasi karena terjadi perubahan status kawasan. Untuk kasus-kasus ini, mereka bisa pakai aturan jasa lingkungan buat memanfaatkan panas bumi di kawasan konservasi—setelah perubahan status.

Dia mencontohkan, Chevron, awalnya di hutan lindung karena ada perubahan status, masuk zona konservasi. Begitupula,  Indonesia Power di Kamojang, kini status di cagar alam. Padahal, berdasarkan ketentuan, eksploitasi panas bumi hanya boleh di zona pemanfaatan taman nasional, taman wisata alam atau di tahura.

“Dengan penerbitan aturan-aturan itu, artinya kita akan membajui ini. Kita menerapkan suatu aturan perundangan tidak dari awal tetapi kita membajui izin yang sudah ada di lapangan karena terjadi perubahan. Kita bungkus izin jadi jasa lingkungan karena aturan main sudah ada,” katanya.

Untuk pengurusan izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi Pertamina Geothermal Energy di Kamojang berkapasitas 235 MW dan Chevron Geothermal Energy di Cagar Alam Papandayan kapasitas 270 MW, sedang dalam kajian KLHK soal perubahan fungsi sebagian cagar alam itu.

Ketika ada perubahan fungsi kawasan seperti cagar alam menjadi taman wisata alam, kata Mugiono, akan didahului evaluasi fungsi oleh tim teknis terdiri KSDAE, perguruan tinggi dan lain-lain. Proses ini, katanya, biasa cukup lama karena harus melibatkan stakeholder seperti ketua tim dari LIPI.

 

Energi ramah lingkungan

Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK mengatakan, pemanfaatan panas bumi masih rendah padahal termasuk energi ramah lingkungan. Pada 2025, diharapkan bauran energi sektor panas bumi bisa 8%. “Kami memandang ini positif sekali, ramah lingkungan.”

Meskipun begitu, dalam pemanfaatan panas bumi tetap harus ada izin lingkungan dan mematuhi segala aturan, misal upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL), Amdal dan tetap mengacu Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Nur Masripatin, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK menyoroti soal pengembangan panas bumi yang sering terbentur pendanaan belum memadai. Dalam beberapa tahun belakangan, katanya, investasi di sektor ini justru alami peningkatan.

Namun, katanya, kala potensi ada di kawasan konservasi harus sangat hati-hati. “Harus bisa mengamankan area itu.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,