Dua Tahun Tanpa Kabar, Proyek NCICD Teluk Jakarta Akhirnya Berlanjut Lagi

Setelah tertunda selama hampir dua tahun, proyek pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta dipastikan akan kembali dilanjutkan pada 2017 ini oleh Pemerintah Indonesia. Kepastian itu muncul, setelah Kementerian Koordinator Kemaritiman mengumpulkan tiga menteri yang berkaitan dengan proyek tersebut.

Ketiga menteri tersebut, adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono.

Tiga menteri tersebut, pada Kamis (09/03/2017) kumpul bersama untuk membahas rencana proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN). Proyek tersebut berkaitan erat dengan proyek reklamasi yang juga dilaksanakan di Teluk Jakarta.

 

 

Sejak pembangunannya dimulai pada 2014, perkembangan proyek Tanggul Laut Raksasa berjalan sangat lambat hingga hanya mencapai panjang 4,5 kilometer saja di sisi wilayah Muara Kamal, Pluit, dan Kalibaru. Pembangunan tersebut, pada tahun yang sama kemudian dihentikan oleh Pemerintah Pusat karena Bappenas melakukan kajian kembali proyek tersebut.

Bambang Brodjonegoro seusai mengikuti pertemuan bersama, mengakui bahwa proyek NCICD kembali dilanjutkan mulai tahun ini. Tetapi, proyek tersebut untuk sekarang akan fokus pada pembangunan tanggul sepanjang 20 kilometer.

“Keberadaan tanggul tersebut sangat penting nantinya, karena untuk mencegah banjir rob datang di wilayah Jakarta Utara. Lokasi tanggul juga disebar di titik-titik kritis. Tadi juga sudah ditunjukkan mana saja wilayah Pantai Utara Jakarta yang tingkat penurunan tanahnya paling dalam,” ujar dia.

Lebih lanjut Bambang mengungkapkan, pembangunan tanggul penting untuk disegerakan, karena itu akan mencegah banjir rob dan penurunan permukaan tanah yang ada di bibir pantai. Karena itu, tanggul di pantai Jakarta yang sekarang sudah ada sepanjang 340 meter harus segera ditambah lagi hingga total mencapai 20 km.

Untuk membangun tanggul sepanjang itu, Bambang menyebut, Pemerintah memerlukan dana sebesar Rp9 triliun. Dana tersebut dijanjikan akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.

“Kita targetkan pembangunannya bisa selesai pada 2018 mendatang. Untuk pembiayaan, DKI seharusnya bisa mengatasinya, karena jumlahnya tidak terlalu besar,” jelas dia.

 

Gambar desain pulau buatan reklamasi berbentuk garuda dan tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Foto : bappedajakarta.go.id

 

Selain membicarakan tentang tanggul sepanjang 20 km, Bambang mengatakan, pihaknya meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperbaiki distribusi air bersih di seluruh wilayah DKI. Karena, tanpa perbaikan, distribusi air bersih tetap tidak tersalurkan dengan merata dan itu berdampak pada penggunaan air tanah di seluruh Jakarta.

“Jika air tanah terus diambil, maka penurunan muka air tanah semakin tidak bisa dicegah. Makanya kita minta DKI untuk perbaiki distribusi air bersih ke wilayahnya,” tutur dia.

Jika tanggul sepanjang 20 km nantinya dinilai berhasil menekan laju penurunan permukaan air tanah di Jakarta, Bambang mengungkapkan, proyek pembangunan NCICD bisa saja ditunda dan atau dibatalkan.

“Kita sekarang fokus mengatasi banjir rob di Jakarta saja. Itu dulu fokusnya. Nanti baru ke tahapan berikut, yakni pembangunan tanggul raksasa,” sebut dia.

 

Kajian NCICD

Sementara itu Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono dalam kesempatan sama mengungkapkan, sebelum proyek NCICD dilanjutkan lagi, akan dilakukan studi kelayakan feasibility study (FS) lebih dulu oleh tim yang kompeten. Kajian tersebut, mencakup pembangunan tanggul raksasa atau giant sea wall yang menuai pro dan kontra.

“Proyek ini dikaji lagi, karena manfaatnya banyak. Tanggul laut ini bukan saja berfungsi untuk mengurangi banjir rob, melainkan untuk perbaikan lingkungan, environment juga,” ucap dia.

Dari kajian tersebut, Basuki mengatakan, nantinya akan ada rekomendasi untuk proyek reklamasi Teluk Jakarta yang juga menuai pro dan kontra. Hasil kajian tersebut nantinya akan mengungkap perbandingan antara pembangunan tanggul raksasa dengan integrasi 17 pulau hasil reklamasi, dan juga integrasi dengan pulau yang sudah ada saja.

 

Reklamasi Teluk Jakarta. Foto: KLHK

 

Untuk proyek NCICD sendiri, menurut Basuki, Kemen PUPR sengaja membentuk tim khusus yang terdiri dari Direktorat Jenderal  Sumber Daya Air, Ditjen Cipta Karya, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW), dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang).

“Untuk NCICD ini, kita libakan bantuan dua negara, yaitu Korea dan Belanda. Masing-masing negara fokusnya berbeda. Korea itu membantu dalam uji kelayakan, dan Belanda membantu non teknis dan pembiayaan,” tandas dia.

 

Maladministrasi Gubernur Jakarta

Di tempat berbeda, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) mengadukan pelanggaran administrasi oleh Gubernur DKI Jakarta kepada Ombusdman Republik Indonesia. Pengaduan itu berkaitan dengan maladministrasi dalam proyek reklamasi Pulau C dan Pulau D. Ada enam dugaan alasan pokok pelanggaran utama yang menjadi inti pelaporan yang dilayangkan pada Kamis (9/3/2017).

Adapun, enam alasan tersebut adalah pelanggaran proses pembangunan yang tidak sejalan dengan Perda Tata Ruang dengan membangun dua pulau yang tergabung. Iitu melanggar Pasal 69 ayat (1), Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2007.

Kedua, terbitnya Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Peraturan tersebut melanggar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

 

Sejumlah nelayan menyegel Pulau G, salah satu pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka menyegel pulau buatan tersebut karena menolak reklamasi Teluk Jakarta yang merugikan mereka, Foto : Sapariah Saturi

 

Keempat, Gubernur DKI Jakarta bertindak sewenang-wenang karena Teluk Jakarta merupakan Kawasan Strategis Nasional sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Padahal dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, c, Ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengatur kewenangan dalam penetapan, perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang dari kawasan strategis nasional berada di tangan Pemerintah Pusat sebagai pihak yang berwenang dalam menerbitkan perizinan.

Kelima, menerbitkan perizinan tanpa mendasarkan pada Peraturan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) sebagai kewajiban UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah UU Nomor 1 Tahun 2014. RZWP-3K menjadi arahan pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.

Keenam, pembangunan berbagai rumah dan ruko untuk kalangan ekonomi diatas Pulau C dan Pulau D telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,