Melihat Masyarakat Adat Kulawi-Marena Merawat Hutan (Bagian 1)

 

 

Bolika ngana tomua ta na buhe ue na, nemo rabolika ngana tomua to na bai ue na… (Wariskanlah kepada anak cucumu sumur yang penuh air, jangan kau wariskan sumur yang kering). Pepatah to Kulawi.

Suatu pagi pada pertengahan 2007, Martoni, warga Desa Marena, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, bersiap menuju hutan.

Kaka iparnya, Ferdy Lumba, meminta Martoni lakukan tradisi perladangan warga Kulawi di Marena, sebelum membuka lahan padi ladang: penyiangan, pengeringan dan pembakaran.

Menjelang siang, saat asyik mencincang ranting untuk pembakaran, tiba-tiba dia kedatangan patroli polisi hutan, utusan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL).

“Siapa yang suruh kamu buka lahan di sini?” tanya kepala patroli.

“Ini lahan saya punya kaka ipar,” jawab Martoni.

“Siapa kakak iparmu?” kata petugas berseragam polhut lagi.

“Pendeta Ferdy,” jawab Martoni.

Perdebatan terjadi. Petugas patroli minta Martoni hentikan kegiatan dan mulai menginterogasi sambil menekankan lahan yang dibuka untuk tanam padi ladang ini bagian TNLL.

“Berkembanglah ini dia punya pemahaman bahwa saya menantang aturan. Seorang pendeta kok mau buka lahan yang dilarang, itu taman nasional. Ipar saya diinterogasi, ditakuti, diancam sampai mereka mengeluarkan letusan dan memang berbunyi kita dengar di sini di kampung,” kata Ferdy Lumba kepada saya awal Maret lalu.

Letusan itu sontak membuat kaget warga Marena yang tak jauh dari lokasi. Ferdy mengingat jelas letusan itu. “Saya saksi hidup kejadian itu,” katanya.

Ferdy masih jelas mengingat Martoni menghampirinya menjelang siang setelah kejadian. Mendapat cerita Martoni,  Ferdy mengumpulkan sejawatnya di lembaga adat.

Tak hanya ketua dan anggota lembaga adat, Ferdy minta beberapa lembaga swadaya masyarakat, Awam Green dan LBH Bantaya, mendampingi mereka.

Kesimpulan mereka, ancaman tak bisa dibiarkan. Mereka lantas memutuskan perlu peradilan adat untuk mengklarifikasi bahwa pembukaan lahan bukan di taman nasional, namun kawasan hutan adat masyarakat Marena.

Kemudian, dibuatlah dua peradilan adat. Pertama, semacam praperadilan, lembaga adat minta polhut dan Martoni hadir. Intinya, mempertanyakan alasan polhut mengeluarkan tembakan di hutan.

“Kami ada temuan. Temuan kami, seorang yang sedang membuka lahan, mencincang kayu di wilayah taman nasional jadi kami proses. Kami periksa. Dia mengaku hanya disuruh, yang menyuruh dia ternyata iparnya sendiri yang adalah pendeta. Jadi kami turun ke lapangan untuk melihat,” kata Ferdy menirukan ucapan polhut, yang tak membantah mengeluarkan tembakan.

Perdebatan terus terjadi. Petugas patroli berkeras menjalankan tugas memproses warga yang mereka sebut, menyerobot lahan taman nasional. Sementara lembaga adat dan pendeta Ferdy, yang kelak menjadi sekretaris lembaga adat, bertahan dengan argumen membuka lahan di hutan adat yang mereka miliki turun temurun.

Belum dapat penyelesaian, seminggu kemudian lembaga adat menggelar sidang kedua. Kali ini dihadiri Kepala BBTNLL saat itu, Agus Priambudi sebagai penanggungjawab kegiatan patroli.

Mulanya, kata Ferdy, TNLL, tetap berkeras warga menyerobot. Dengan kesaksian dua saksi lain, dari kepolisian dan babinsa, TNLL tersudut.

Kedua saksi senada menilai tindakan polhut mengeluarkan tembakan sebagai ancaman yang menyalahi prosedur tetap (protap).

“Itu zona pemanfaatkan kami. Kalau tak percaya boleh kita lihat ke lapangan, ada sungai yang membelah dan jadi batas TNLL dan hutan adat kami,” ucap Ferdy.

Karena makin tersudut, Agus akhirnya mengakui kesalahan anggota dan meminta maaf. Belakangan, TNLL mengubah pernyataan mereka, mengeluarkan tembakan untuk menguji selongsong peluru yang lama tak terpakai– satu hal yang tak bisa mereka lakukan di kota (Palu, Kantor BBTNLL-red). Sesuai hukum adat Kulawi-Marena, perdamaian bisa setelah jatuh sanksi.

“Hukum kami berat. Mengeluarkan ancaman sama dengan pembunuhan berencana. Itu hukum adat kami disini. Karena itu nyawa jadi harus dikembalikan nyawa, yang takut tadi dikembalikan supaya dia kembali tak takut lagi, tidak trauma, melalui proses peradilan ini.”

 

Hutan adat Marena berada di hulu atau di atas pegunungan. Foto: Della Syahni

 

Lembaga adat Kulawi-Marena mengenal dua jenis sanksi, ringan dan berat. Sanksi berat pada TNLL, yakni 20 dulang (semacam nampan dari kuningan), dua lembar kain adat dan dua kerbau.

Agus keberatan. Sanksi materi dinilai terlalu berat. Melalui dialog dan tawar menawar, disepakati denda adat jadi kesepakatan antara BBTNLL dan masyarakat adat Kulawi-Boya (dusun) Marena soal pengelolaan sumber daya alam di kawasan hutan. Kala itu, masih belum jadi desa definitif dan masuk wilayah Kabupaten Donggala.

Sebenarnya, adat Kulawi tak mengenal konversi denda. Mengingat kesepakatan ini akan membawa manfaat lebih besar untuk masyarakat Kulawi, lembaga adat menyetujui.

Singkat cerita, ditandatanganilah kesepakatan. Bagian terpenting dalam kesepakatan menyatakan sebagian TNLL merupakan huaka (kawasan adat) masyarakat Kulawi, Marena seluas 732,10 hektar.

TNLL dan masyarakat adat sepakat bersama-sama dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di kawasan beririsan. Batas-batas huaka, dalam kesepakatan dinyatakan akan mendapat penegasan di lapangan, dilakukan bersama BTNLL dan masyarakat adat.

Masyarakat adat bertanggungjawab melindungi SDA yang ada dalam huaka dan dapat menjatuhkan sanksi adat pada siapapun yang melanggar huaka. Pemantauan dan patroli bersama secara periodik.

Momen penandatanganan dibuat meriah. “Kita buatkan makan adat besar-besaran,” kata Ferdy.

Kesepakatan 15 Agustus 2007 ini ditandatangani langsung Kepala BBTNLL Agus Priambudi dan Ketua Lembaga Adat Boya Marena saat itu, Yohanes Hamaele, disaksikan Ketua Lembaga Adat Desa Bolapapu, Ntjaulu Lamanu dan Kepala Desa Bolapapu, Yusak Lae.

Meskipun begitu, kesepakatan ternyata belum sepenuhnya membuat masyarakat adat berlega hati.  Tak lama setelah penandatanganan, Kepala BTNLL pindah tugas ke TN Ujung Kulon.

“Berganti pimpinan berganti kebijakan. Hal-hal yang sudah disepakati tak terlalu berjalan baik,” kata Nixen A. Lumba, Kepala Desa Marena.

 

Cokelat, salah satu produk di Komunitas Mrena. Foto: Della Syahni

 

 

***

Sejak 1995, masyarakat Kulawi-Marena, yang hidup di hutan, antara taman nasional, hutan produksi terbatas dan lahan HGU Perusahaan Daerah Sulawesi Tengah (PD.Sulteng) ini, berpikir punya wilayah sendiri untuk pemukiman dan sumber penghidupan.

Orang Marena adalah bagian rumpun besar masyarakat adat Kulawi, sub etnis Kulawi Moma. Kata Marena berasal dari Porenaa, yakni tempat penyebaran kerbau untuk mencari makanan.

“Awalnya tempat ini dibuka untuk penggembalaan kerbau,” kata Ketua LBH Bantaya, Martje Leninda, pendamping masyarakat.

Melalui dampingan, Bantaya, berkantor di Palu,  Marena, kini masuk wilayah administratif Kabupaten Sigi, sesuai Peraturan Daerah Sigi No 28/2013 seluas 1.806,5 hektar berada pada ketinggian 563 mdpl.

Desa Marena, sekitar 89 km dari Kota Palu, dapat dicapai dengan perjalanan kurang lebih tiga jam dengan kendaraan roda empat. Desa ini dihuni 92 keluarga dengan 342 jiwa.

Masyarakat adat Kulawi, Marena menyandarkan penghidupan dari hasil hutan, terutama kakao atau coklat.

“Tiga bulan terakhir produksi kakao menurun karena diserang hama penggerek. Kalau sudah begini masyarakat beralih mencari rotan,” kata Ferdy, sekarang Sekretaris Lembaga Adat.

Tak heran dari 1.806 hektar wilayah Desa Marena, 1.441, 5 hektar hutan adat, yang 732 hektar beririsan dengan TNLL.

Desa ini berbatasan, di utara dengan Desa Pleroa dan Desa Toro, selatan dengan Dusun Ue Jono dan Desa Oo. Lalu, di timur dengan Desa Toro dan Desa Lawua serta di barat dengan Desa Winatu.

Bupati Sigi mengeluarkan keputusan No 189-014/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kulawi di Marena. Tak hanya mengakui wilayah adat desa dan MHA, juga peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa di wilayah adat yang berhubungan dengan masalah sosial maupun pengelolaan sumber alam.

Dalam pemanfaatan ruang tradisional, Ngata atau Desa Marena membagi hutan dalam beberapa zona yakni wana ngkiki, wana, pangale, oma, pampa dan taolo/ dampolo.

Wana ngkiki merupakan hutan rimba larangan. Wana merupakan hutan yang tak diolah jadi lahan pertanian.

Area ini berfungsi sebagai kawasan tangkapan air dan hanya mengambil hasil hutan non kayu seperti rotan, getah, damar, bahan obat-obatan dan wewangian. Ciri fisik pohon di area ini berdiameter besar dan rapat. Kepemilikan bersifat komunal dan terletak di hulu, atau pegunungan.

Pangale, adalah hutan yang pernah diolah jadi lahan pertanian dan telah ditinggalkan selama puluhan tahun lalu jadi hutan kembali. Selain tempat pemanfaatan hasil hutan termasuk kayu, kawasan ini jadi cadangan lahan pertanian. Kepemilikan privat dan hukum berlaku bersifat larangan atau pantangan.

Oma, adalah bekas ladang yang sengaja diistirahatkan untuk waktu paling lama 25 tahun. Setelah itu akan jadi pangale.

Oma terbagi tiga jenis berdasarkan waktu istirahat, yakni oma ntua (16-25 tahun), ciri pohon besar dan tanah subur; oma ngura 3-15 tahun, pohon kecil didominasi tumbuhan perdu, dan oma ngkuku kurang tiga tahun dengan ciri ditumbuhi alang-alang, perdu dan rumput.

Lalu pampa,  iakebun yang cenderung datar dan tak jauh dari pemukiman. Sebelumnya, wilayah ini oma karena letak strategis jadi kebun.

Taolo/ dumpolo adalah kawasan dengan larangan ketat, dengan alasan apapun tak boleh diolah. Bedanya, taolo ini kawasan miring di satu sisi rawan longsor dan banjir. Sementara dumpolo,  miring di kedua sisi dan bertemu pada satu titik. Kepemilikan kawasan ini komunal dan berlaku hukum pantangan. (Bersambung)

 

Lahan pertanian Komunitas Marena. Foto: Della Syahni

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,